Senin, 19 Oktober 2020

INTEGRASI ILMU: APAKAH DOSEN-DOSEN PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN MASIH BERPARADIGMA POSITIVISTIK?

 


Paradigma keilmuan adalah hal yang tidak ilmiah dalam dunia ilmiah. Ritzer menyatakan, "A paradigm is a fundamental image of the subject matter within a secience" (paradigma adalah pandangan atau asumsi dasar tentang subjek kajian ilmu dalam sains). Selanjutnya menurut Ratzer, dalam masyarakat ilmiah, paradigma adalah asumsi-asumsi fundamental yang mengikat suatu kelompok masyarakat ilmiah yang selanjutnya menjadi ciri khas pembeda suatu masyarakat ilmiah yang satu dengan lainnya. Masyarakat ilmiah positivistik berbeda dengan masyarakat ilmiah pos positivistik. Mestinya komunitas ilmiah PTKIN juga memiliki paradigma keilmuan yang berbeda dengan paradigma keilmuan Barat. 

Paradigma (secara bahasa: mode of thought atau mode of thinking) adalah semacam keyakinan metafisik yang mendasari kajian ilmu pengetahuan. Keyakinan ini tentu tidak dapat diukur dan diuji kebenarannya menggunakan kaedah ilmiah yang telah disepakati kaum ilmuan.

Paradigma Positivistik

Dosen-dosen perguruan tinggi keagamaan (UIN, IAIN, STAIN) berparadigma yang mana? Apakah masih berparadigma positivistik? Paradigma positivistik dibangun oleh Agust Comte dan kawan-kawan. Paradigma ini lahir sebagai protes dan kekecewaan berat mereka terhadap dominasi gereja dalam menentukan kebenaran. Comte akhirnya meletakkan agama sebagai tahap paling rendah perkembangan masyarakat. Lihat skema Comte berikut:


Dengan skema demikian, maka bagi Comte dan kawan-kawan, tahap positivisme adalah tahap perkembangan masyarakat paling tinggi. Itulah sebabnya, mengapa mereka menegaskan bahwa nilai-nilai teologis dan metafisis harus dibuang dari ilmu pengetahuan (sains). Sementara pada abad-abad sebelumnya (terutama di dunia Islam abad ke-7 hingga abad ke-13) nilai-nilai teologis dan metafisis ini bagian fundamental dari ilmu pengetahuan. Lihat bagaimana secara koheren/konsisten para ilmuan Muslim era klasik (Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dll.) tetap menempatkan 'ilmu ilahiy/'ulum ad-diniyah pada struktur paling tinggi ilmu pengetahuan.

Dampak Buruknya adalah...

Mereka mereduksi manusia sedemikian jauh hingga disamakan dengan binatang dan benda-benda empirik lainnya. Aspek-aspek psikis manusia mereka pahami tak lebih dari penomena medan listrik yang dikendalikan oleh otak manusia. Seorang Profesor matematika Muslim negeri ini, meskipun ia mengaku sudah naik haji, pernah berkata bahwa hati (qalb) manusia itu tak lebih dari sinyal-sinyal listrik yang terantar dari otak dan mempengaruhi dada manusia. Lebih parah lagi beberapa dosen Muslim menyamakan konsep fitrah dengan teori tabula rasa John Locke (filosof Inggris pendahulu August Comte).

Inilah antara lain, mengapa Malik Badri (intekektual Muslim Sudan yang lahir 1932) menyebut bahwa ilmu pengetahuan kita (beliau mencontohkan psikologi) berada di liang biawak. Pada saatnya tinggal disergap dan jadi santapan biawak.***

_____________________________________

Gambar: Pimpinan/Senat FTIK, 2017. (Dari kiri: Muhammad Nizar Rangkuti, Anhar Nasution, Sahadir Nasution, Lelya Hilda, Zulhimma, Rayendriani Fahmei Lubis, Abdul Sattar Daulay, Ali Asrun Lubis)


3 komentar:

  1. Karna istilah teoantropoekosentris sudah menjadi paradigma integrasi keilmuan di IAIN Padangsidimpuan maka harus banyak publikasi yang memperbincangkannya agar kuat impresinya untuk di index google

    BalasHapus
  2. Setuju sekali adinda Doktor Habibi. Semoga semakin populer di kalangan komunitas akademik.

    BalasHapus
  3. Memang benar komunitas ilmiah PTKIN juga memiliki paradigma keilmuan yang berbeda dengan paradigma keilmuan Barat. 

    BalasHapus