Sabtu, 21 Mei 2011

PUSAT-PUSAT KEILMUAN PALING AWAL DI NUSANTARA: Deskripsi HistorisHalaqah dan Sentra Keilmuan Lain

Oleh: Anhar

A.     Pendahuluan

Secara historis pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dikatakan demikian karena aktifitas penyebaran Islam, pada hakikatnya juga merupakan aktifitas pendidikan Islam. Pendidikan sendiri diartikan sebagai usaha sadar untuk mendewasakan manusia yang ditandai dengan perubahan positif pola pikir, sikap dan prilaku peserta didik. Dalam konteks pendidikan, sesungguhnya para penyebar (muballig) Islam telah melakukan misi pendidikan, yakni melakukan transinternalisasi nilai-nilai keislaman kepada penduduk Nusantara.




Halaqah merupakan perwujudan instutusi pendidikan Islam yang paling awal di dunia Islam, tak terkecuali di Nusantara. Halaqah adalah suatu bentuk pendidikan yang mudah dilakukan dan tidak membutuhkan sarana dan prasarana yang rumit.

Makalah ini akan mencoba menjelaskan secara historis-sosiologis halaqah dan sentra keilmuan lain sebagai perwujudan paling awal institusi pendidikan Islam di Nusantara dengan mengambil kasus pada kerajaan Samudera Pasai, Aceh dan Banten. Namun sebelum masuk ke fokus kajian, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dan sejarah lahirnya halaqah.



B.     Pengertian dan Sejarah Lahirnya Halaqah

Halaqah atau halqah artinya lingkaran. Kalimat halqah min al-nas (حلقة من الناس) artinya kumpulan orang yang duduk.[1] Menurut istilah halaqah diberi definisi sebagai berikut:

1.      Halaqah adalah proses belajar mengajar yang dilaksanakan murid-murid dengan melingkari guru yang bersangkutan. Biasanya duduk dilantai serta berlangsung secara kontinu untuk mendengarkan seorang guru membacakan dan menerangkan kitab karangannya atau memberi komentar atas karya orang lain.[2]

2.      Suatu proses pendidikan dimana murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah lingkaran murid dengan posisi wajah murid menghadap kepada guru.[3]

3.      Hasan Alwi mendefinisikan halaqah sebagai cara belajar atau mengajar dengan duduk di atas tikar dan posisi melingkar.[4]

Halaqah sudah ada sejak masa awal Islam. Halaqah dimaksud pertama kali dilakukan di mesjid. Nabi sendiri lebih banyak melakukan tugas mendidik umat melalui halaqah di mesjid yang menyatu dengan rumah beliau pada waktu-waktu yang dipilih. Hal demikian sebagaimana disebutkan oleh Bukhari dalam kitab sahihnya  sebagai berikut:

Ibn Mas’ud meriwayatkan:
كان – رسول الله صلى الله عليه و سلم -  يتخولنا بالموعظة في الأيام كراهة السأمة علينا[5]

Artinya: Nabi SAW membuat sela-sela dalam ceramah pada hari-hari tertentu demi menghindari kebosanan.

Dalam halaqah dimaksud, Nabi SAW menyampaikan materi ilmu yang beragam. Namun yang paling diutamakan oleh Nabi adalah mengajarkan al-Qur`an. M. Alawi al-Makki mengatakan:

Pada majelis-mejelis halaqah kenabian dipelajari ilmu-ilmu dasar beserta kaidah-kaidahnya, seperti berbagai macam fadhilah, wawasan pemikiran, akhlak, tradisi yang baik, dan faedah-faedahnya yang besar, yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Kami akan menuturkan sebagian dari apa yang dipelajari para sahabat pada halaqah agung yang mulia tersebut. Dan tidak diragukan lagi, sesungguhnya ilmu dasar terpenting di situ adalah al-Qur`an al-Karim.[6]

Dalam perkembangan berikutnya, halaqah tidak lagi hanya diselenggarakan di mesjid. Umar bin Khattab ketika menjadi amir al-mu`minin menginstruksikan para pembantunya membangun kuttab (rumah-rumah belajar) sekaligus mengangkat pegawai untuk mendidik dan mengajari anak-anak tatak rama dalam hidup.[7]

Di Madinah, pada abad ke 14, halaqah masih menjadi institusi pendidikan yang dominan. Ibnu Bathuthah melaporkan bahwa menjelang akhir 728 H/ 1326 M bahwa dia mengamati pada malam hari kegiatan keilmuan yang diselenggarakan di Masjid Nabawi, dimana ulama dan murid-murid membentuk halaqah, lengkap dengan al-Qur`an dan kitab-kitab lain sebagai sumber belajar.[8] Begitu juga di Makkah, halaqah menjadi praktik umum, sebagaimana disaksikan Ibnu Bathuthah di Madinah. Azyumardi Azra menjelaskan:

Catatan-catatan lebih belakangan tentang Masjid al-Haram, seperti yang diberikan al-Fasi, bersaksi bahwa halaqah tetap dipertahankan sebagai metode utama proses belajar-mengajar. Halaqah biasanya diselenggarakan di pagi hari setalah shalat Shubuh, ‘Ashr, Maghrib dan Isya`. Selama siang hari kegiatan pendidikan pindah ke madrasah-madrasah di sekitar masjid.[9]

Alasan lain bahwa kegiatan pendidikan pada masa selanjutnya tidak lagi kondusif jika tetap dilakukan di mesjid, karena fungsi ibadah sebagai fungsi utama mesjid terganggu oleh karena semakin banyaknya halaqah ilmu dalam berbagai bidang. Ahmad Syalabi menjelaskan:

Sejak masa awal Islam, banyak orang berminat untuk mempelajari Islam. Semakin lama, semakin banyak orang menghadiri pertemuan untuk belajar ilmu (halaqah ‘ilm). Dari setiap halaqah terdengar suara dari seorang guru yang memberikan pelajarannya dan dari suara-suara peserta didik yang bertanya dan saling berdebat. Maka terjadilah suara yang gemuruh dari halaqah-halaqah itu. Sedikit banyak hal itu menimbulkan gemuruh suara yang mengganggu pelaksanaan ibadah sebagaimana mestinya. Dengan demikian, masjid menjadi sulit dijadikan tempat ibadah dan tempat belajar sekaligus.[10]

Berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan, banyak ilmu tidak lagi sepenuhnya dapat diajarkan di mesjid. Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan makin pesat. Pada abad keempat hijriah gerakan pemikiran berkembang dengan pesat. Pada saat itu, perdebatan dan pertikaian mengenai agama di kalangan masyarakat Muslim memang cukup dahsyat. Akibatnya, masjid tidak dipertimbangkan lagi sebagai tempat utama pendidikan.[11]

Dalam suasana seperti ini muncul semakin beragam bentuk-bentuk lembaga pendidikan, di antaranya madrasah, kuttab, dar al-hikmah, dar al-‘ilm, bimaristan, dan sebagainya. Halaqah memang tetap bertahan, tetapi tidak lagi menjadi institusi utama pendidikan Islam.[12]

C.     Institusi Pendidikan Halaqah dan Sentra Keilmuan Lain di Nusantara

Dalam tradisi intelektual klasik Islam, kegiatan keilmuan dekat dengan lingkungan istana. Bahkan dalam banyak kasus, istana khalifah atau sultan bagian dari aktivitas ilmiah. Fenomena seperti ini juga menjadi fenomena umum di kerajaan Islam Melayu-Nusantara. Pada mulanya berlangsung di Sumatera Bagian Utara, yaitu di Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam, kemudian hal yang sama juga berkembang di kerajaan Islam Melayu-Nusantara lainnya, seperti di Palembang, Banjarmasin, Riau, Banten, Mataram, Malaysia, dan Berunai Darussalam.[13]

Di samping ada ilmuan yang dekat dengan lingkungan istana, terdapat juga ilmuan yang tidak memiliki afiliasi dengan Istana. Ilmuan yang disebut terakhir ini tentu lebih independen dalam kiprah keilmuan atau keulamaan.

Taufik Abdullah menjelaskan bahwa Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibnu Bathutah melaporkan bahwa ketika ia berkunjung ke Samudra Pasai pada tahun 1354 ia mengikuti halaqah yang diadakan raja setelah salat Jum’at hingga waktu Asar tiba.[14] Pada masa itu, Ibnu Batutah bertemu dengan dua orang pembesar Istana Samudra Pasai, dan juga bertemu dengan ahli fiqh dari kelompok orang-orang Timur Tengah yaitu al-Qadhi al-Syarif Amir Sayyid al-Sirazi dan Taj al-Din al-Isfahani (berasal daru Persia, Iran). Bahkan menurut keterangan Yusuf ibn Isma’il al-Nabbani dalam bukunya Jami’ Karamat al-Auliya`, bahwa al-Yafi’i, seorang Syekh Tasauf terkenal di Mekkah, berguru pada seorang al-Jawi (Melayu), yaitu Syeikh Abu Abdillah Mas’ud ibn Abdillah al-Jawi pada abad VIII Hijriyah.[15] Hal ini menunjukkan bahwa pada abad tersebut telah ada ulama Nusantara yang ahli Tasauf. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa Sultan juga terlibat dalam aktivitas keilmuan.

Hikayat-hikayat Melayu juga menceritakan adanya kegiatan intelektual di kalangan istana dan rakyat kebanyakan. Sebagai contoh, Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan adanya sejumlah pembesar dalam negeri pada masa pemerintahan Malik al-Saleh. Diantaranya, Sayyid Ali Ghiatuddin (Tun Sri Kaya) dan Sayyid Asmayuddin (Tun Baba Kaya). Keduanya menjadi guru kerajaan. Setelah Sultan Malik al-Zahir, putra Sultan Malik al-Saleh meninggal, kedua anaknya yaitu Sultan Malik al-Mahmud dan Sultan Malik al-Mansur diasuh oleh kedua pembesar tersebut. Sultan Malik al-Mahmud diasuh dan dididik oleh Sayyid Ali Ghiatuddin, sedangkan Sultan Malik al-Mansur diasuh dan dididik Sayyid Asmayuddin. Ketika Sultan Malik al-Mahmud menjadi sultan di Pasai, Sayyid Ghiatuddin diangkat menjadi perdana menteri Pasai, dan Sayyid Asmayuddin menjadi perdana menteri di Samudra.[16]

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Samudra Pasai adalah tempat studi Islam yang paling tua dengan keterlibatan kerajaan. Sementara itu di luar kerajaan, halaqah ajaran Islam diduga sudah dilakukan di koloni-koloni tempat pedagang Muslim yang singgah di berbagai pelabuhan. Halaqah ajaran Islam yang dilakukan oleh kerajaan diduga dilakukan di Mesjid Istana, khusus bagi anak-anak pembesar kerajaan. Sementara untuk masyarakat umum dilaksanakan di mesjid lainnya, di rumah-rumah guru, dan surau-surau. Halaqah inilah yang menjadi cikal bakal lembaga pendidikan Islam selanjutnya.[17]

Istana juga berfungsi sebagai tempat mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan juga berfungsi sebagai perpustakaan, di samping juga berfungsi sebagai pusat penterjemahan dan penyalinan kitab-kitab, terutama kitab-kitab keislaman.[18] Pelajaran yang diberikan di berbagai halaqah dan institusi pendidikan Islam lainnya dibagi menjadi dua tingkatan:

  1. Tingkat dasar terdiri atas pelajaran membaca, menulis, bahasa Arab, pengajian al-Qur`an, dan ibadah praktis.

  2. Tingkat yang lebih tinggi dengan materi ilmu fiqh, tasauf, ilmu kalam, dan sebagainya.[19]

Di kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda sangat memperhatikan pengembangan pendidikan, di samping tentunya keagamaan.[20] Ia sangat dekat dengan para ulama. Di antaranya yang terkenal adalah Syams al-Addin al-Samatrani (w. 1630 M), seorang sufi pengikut Hamzah Fansuri.[21] Sultan dan juga para ulama besar membangun pusat-pusat pendidikan yang disebut dayah. Nuruddin al-Raniri[22] dan Abd al-Rauf Singkel adalah di antara ulama terkenal yang mengajar di lembaga pendidikan ini. Ketika itu, Kerajaan Aceh Darussalam menjadi pusat kajian Islam di wilayah Asia Tenggara.[23] Banyak penuntut ilmu yang datang dari luar untuk belajar di lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan dayah itu. Di antaranya adalah Syaikh Burhanuddin yang berasal dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat.[24] Dayah berfungsi semacam pendidikan tinggi Islam. Karena di lembaga inilah ilmu-ilmu keislaman yang paling tinggi dipelajari oleh para penuntut ilmu. Kemajuan dalam bidang pendidikan Islam di Aceh ini menyebabkan orang menjulukinya sebagai “Serambi Mekkah”.[25]

Kerajaan Banten juga menjadi pusat pendidikan Islam,[26] terutama setelah kedatangan Syaikh Yusuf al-Maqassari (1626-1699) dari Kerajaan Goa. Syekh Yusuf menjadi daya tarik bagi para penunut ilmu dari seluruh penjuru Nusantara ― terutama tentunya wilayah Indonesia tengah ―  untuk datang ke Banten memperdalam ilmu keislaman.[27]

Di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, Banten menjadi sangat kuat berorientasi ke Mekkah. Sultan bahkan meminta pengakuan gelarnya dari Syarif Makkah,[28] dan putra mahkota sendiri pergi berhaji ke Makkah, serta Kota Banten didorong perkembangannya menjadi pusat pendidikan Islam, tempat pemuda-pemuda Muslim Nusantara berdatangan untuk menimba ilmu.[29]

Kesultanan Banten (Bantam) merupakan salah satu kerajaan Muslim paling penting di Jawa. Ketika Syekh Yusuf al-Maqassari tiba di Banten, yang sedang berkuasa adalah Abu al-Mufakhir ‘Abd al-Qadir (1037-63/1626-51), ayah dari ‘Abd al-Fattah (populer disebut Sultan Ageng Tirtayasa) yang juga berjasa besar membangun Banten menjadi pusat pendidikan Islam, yang diberi gelar Sultan oleh Syarif Makkah pada 1048/1638. Ia mempunyai minat khusus pada masalah-masalah keagamaan. Ia bahkan sering mengirimkan pertanyaan tentang keagamaan bukan hanya kepada Nur al-Din al-Raniri, tetapi juga kepada para ulama di Haramayn. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian mendorong ditulisnya karya-karya khusus para ulama yang bertujuan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.[30] Sejalan dengan hal di atas, Van Bruinessen menjelaskan sebagai berikut:

Para pengusa Banten tampaknya juga menaruh minat yang sungguh-sungguh kepada masalah-masalah akidah dan tasauf yang sangat dalam dan rumit. Sejarah Banten, sebuah karya abad ke-17, yang menceritakan tentang utusan ke Makkah yang sudah disebutkan di atas, mencatat bahwa utusan itu juga ditujukan untuk mencari pendapat atau penjelasan yang berwibawa tentang tiga teks keagamaan yang rupanya mengandung doktrin-doktrin tasauf seperti yang diuraikan oleh Hamzah Fansuri, di samping untuk meminta pengiriman seorang ahli hukum Islam yang berpengetahuan luas untuk memberikan penerangan di Banten. Utusan Banten tersebut bertemu dengan, antara lain, seorang ulama terkenal Muhammad Ali ibn ‘Alan, namun mereka tidak berhasil membujuknya untuk datang ke Banten bersama mereka.[31]

Abu al-Mufakhkhir ‘Abd al-Qadir dan anaknya Sultan Ageng nampaknya tidak saja seorang politisi yang mengendalikan kekuasaan, tetapi juga orang yang terpelajar. Dalam bidang tasauf, bahkan ia sangat tertarik mengetahui lebih dalam kontroversi-kontroversi di seputar doktrin-doktrin tasauf Hamzah Fanzuri. Buktinya dia juga berkonsultasi kepada Nur al-Din ar-Raniri, yang pada waktu itu akan meninggalkan Aceh untuk kembali ke tanah kelahirannya, Ranir di Gujarat, India. Minat yang sungguh-sungguh dari para penguasa Banten juga tercermin dalam usaha mereka menjalin hubungan yang baik dengan para ulama, baik ulama setempat, maupun asing, dan banyak di antara ulama yang mendapatkan kedudukan yang sangat berpengaruh di Istana.[32]

Sultan Ageng Tirtayasa (1053-96/1651-83) tak pelak adalah penguasa besar terakhir Kesultanan Banten. Di bawah pemerintahannya, Kesultanan mencapai masa keemasan. Pelabuhannya menjadi pusat perdagangan internasional yang penting di Nusantara. Orang-orang Banten berniaga  dengan mitra dagang dari Inggris, Denmark, Cina, Indo-Cina, India, Persia, Filipina dan Jepang. Kapal-kapal Kesultanan Banten berlayar di banyak perairan Nusantara, mewakili kekuatan dagang terakhir  dari kerajaan-kerajaan Melayu Indonesia.[33]

Sultan Ageng, sebagaimana ayahnya, menaruh minat khusus pada agama. Ia hampir sepanjang waktu ditemani para ulama. Dengan demikian, ia dapat mempertahankan reputasi Banten sebagai pusat pengetahuan dan keilmuan Islam yang penting di Nusantara.[34]

Syekh Yusuf al-Maqassari, di antara ilmuan yang paling berpengaruh di Banten, bahkan di Nusantara, selanjutnya menjadi bagian dari keluarga besar Istana karena ia menikah dengan putri Sultan Ageng.[35] Meskipun, ia hampir tenggelam ke dalam urusan politik konfrontasi dengan Belanda, ia terus mengajar murid-murid di ibukota Banten serta menulis beberapa karya. Di antara murid al-Maqassari yang paling menonjol adalah sang putra mahkota ‘Abd al-Qahhar, yang dibelakang hari justru menjadi musuh politiknya, karena ‘Abd al-Qahhar bekerja sama dengan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya ketika berhadapan dengan ayahnya sendiri, Sultan Ageng.[36]

D.    Fokus Keilmuan dan Dampaknya

Tidak diragukan lagi bahwa, tidak hanya ulama yang sibuk dalam pencarian ilmu, tetapi juga para Sultan. Hanya saja, perlu ditekankan di sini bahwa para sultan di Nusantara tidak menaruh perhatian besar terhadap pengembangan sains dan teknologi. Suatu hal yang amat berbeda dengan para khalifah pada zaman klasik Islam.[37]

Untuk menampakkan perbedaan perhatian keilmuan antara kekhalifahan zaman klasik Islam dan kesultanan Nusantara, perlu dijelaskan bahwa para khalifah zaman klasik amat menaruh perhatian kepada filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani Kuno. Gerakan penterjemahan ilmu berbahasa Grik dan studi saintis dilakukan sejak masa Dinasti Umaiyah dan mengalami puncaknya pada Dinasti Abbasiyah. Ilmu-ilmu keislaman pun berkembang dengan maju, sejalan dengan kemajuan alam pikiran filsafat umat Islam ketika itu.[38]

Kesibukan akademik dan keilmuan pada masa kesultanan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Banten, dan lain-lain sebagaimana ditunjukkan dengan sempurna oleh Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama... terkhusus pada ilmu-ilmu keislaman terutama tasauf dan tarekat. Sementara ilmu keislaman lain seperti ‘ilmu al-kalam, ‘ulum al-Qur`an, ‘ulum al-Hadis, abad pertengahan tidak banyak mendapat perhatian serius. Sementara ilmu-ilmu kealaman atau sains hampir luput dari perhatian, untuk mengatakan tidak ada sama sekali.[39]

Islam Indonesia dengan demikian tidak mewarisi tradisi filsafat dan sains. Lebih jelas lagi, Islam Indonesia lebih mewarisi tradisi tasauf dan tarekat.[40] Dalam hal ini amat berbeda dengan Iran yang mewarisi tradisi filsafat dan sains abad klasik Islam.[41] Menurut hemat penulis, kenyataan inilah yang menjadi alasan kuat untuk mengatakan mengapa Islam Indonesia agak jauh dari perkembangan sains dan teknologi.

Dengan demikian bahwa teori yang mengatakan bahwa Islam yang datang ke Indonesia adalah Islam yang damai, akomodatif dan toleran tentu benar. Hal ini sejalan dengan realitas Islam Indonesia yang akomodatif bahkan dalam hal-hal tertentu bersintesis dengan budaya lokal Nusantara. Dampak positifnya, Islam seperti ini mudah diserap oleh masyarakat yang pada mulanya penganut Hindu-Budha di Indonesia. Tetapi di sisi lain, “Islam Keakhiratan” ini tidak berdaya dukung kuat terhadap pengembangan sains dan teknologi di Nusantara.

E.     Penutup

Institusi halaqah adalah lembaga pendidikan paling tua dan tetap bertahan sejak masa paling awal Islam hingga masa kini. Halaqah, meskipun bentuknya sederhana berperan penting dalam arus transformasi ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan keislaman dalam perkembangan masyarakat Muslim. Lahirnya ulama-ulama besar Nusantara yang memiliki reputasi internasional, diantaranya Nur al-Din al-Raniri, Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Samatrani, Yusuf al-Maqassari, tidak lepas dari institusi pendidikan Islam yang disebut halaqah itu. Bahkan halaqah-halaqah ilmu di berbagai wilayah Nusantara menjadi kekuatan awal terpenting penyebaran pesan dakwah dan juga tentunya bagi perwujudan misi pendidikan Islam.

Hal menarik lainnya, keterlibatan istana atau kesultanan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Banten, dan lainnya dalam pengembangan pendidikan Islam  di antaranya melalui institusi halaqah,menjadikan umat Islam Nusantara mengalami lompatan peradaban terutama dalam ilmu-ilmu keislaman. Hal mana telah menjadi pengalaman khilafah Islamiyah zaman klasik Islam. Istana, karena memiliki kekuatan finansial dan relasi internasional, tentu dengan mudah melakukan gebrakan ilmiah dengan cepat dan unggul. Hal demikian tentu sulit dilakukan pribadi-pribadi yang tidak memiliki kekuatan finansial atau afiliasi ke Istana. Ketiga kesultanan yang disebut-sebut di atas, pada masanya menjadi pusat keilmuan yang paling penting di Nusantara. Boleh pula disebutkan bahwa kesultanan tersebut menjadi pilar utama Islamisasi di Nusantara dan berjasa besar membangun jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah. Istana, tidak saja melanjutkan  tradisi ilmiah khusus dalam ilmu-ilmu keislaman kaum Muslim zaman klasik, tetapi juga menjaga dan mempertahankan kedaulatan dar al-Islam pada wilayahnya masing-masing dari berbagai konfrontasi fisik yang dilakukan oleh kolonialis Barat.

Kegiatan keilmuan yang dominan adalah tertumpu pada tasauf dan tarekat sebagaimana yang menonjol di Makkah dan Madinah pada masa-masa itu. Sementara bidang keilmuan lain yakni sains dan teknologi hampir-hampir tidak mendapat perhatian. Kenyataan ini menurut hemat penulis menjadi jawaban mengapa Islam Indonesia miskin dengan peradaban sains dan teknologi.












DAFTAR  KEPUSTAKAAN

‘Abd al-‘Ali, Husain. At-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’. Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 1978.

Al-Ja’fi, Muhammad bin Isma’il Abu  ‘Abd Allah al-Bukhari.  Al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtashar,  Juz I, Cet. III. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H/ 1987 M.

al-Makki, M. Alawi. Usul at-Tarbiyah an-Nabawiyah. Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, 1984.

Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, tt.

Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cet. II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.

 -------. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.

Dobbin, Christine. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847. Jakarta INIS, 1992.

Erawadi. Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX. Jakarta: Badab Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama RI, 2009.

Ishak, Abdullah. Islam di Nusantara (Khususnya di Tanah Melayu). Selangor: al-Rahmaniyah, 1990.

Madjid, Nurcholish. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1998.

Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

Syalabi, Ahmad. At-Tarbiyah al-Islamiyah: Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha. Kairo Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1987.

van Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1992,

-------. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Cet. ke-3. Bandung: Mizan, 1999.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1985.







[1]A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 290.




[2]Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 49.




[3]Ibid.




[4]Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, tt), h. 383.




[5]Muhammad bin Isma’il Abu  ‘Abd Allah al-Bukhari al-Ja’fi, Al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtashar,  Juz I, Cet. III (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H/ 1987 M), h. 38.




[6]M. Alawi al-Makki, Usul at-Tarbiyah an-Nabawiyah, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, 1984), h. 25.




[7]Hal ini dilakukan Umar ketika ekspansi wilayah semakin luas. Dalam wilayah taklukan itu banyak orang non Arab (ajam) masuk Islam, yang sebagiannya adalah anak-anak. Untuk mereka inilah terutama ditujukan kuttab dimaksud. Al-Maliki, Usul, h. 33.




[8]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), h. 65.




[9]Azra, Jaringan, h. 79-80.




[10]Ahmad Syalabi, At-Tarbiyah al-Islamiyah: Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha, (Kairo Maktabah an-Nahdah al-Misriyah), 1987), h. 113.




[11]Husain ‘Abd al-‘Ali, At-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’, (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 1978), h. 182.




[12]Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 56.




[13]Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX, (Jakarta: Badab Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama RI, 2009), h. 27-28.




[14]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 104-105.  Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, (Jakarta INIS, 1992), h. 152.




[15]Erawadi, Tradisi, h. 28.




[16]Erawadi, Tradisi, h. 29.




[17]Musyrifah Sunarto, h. 105.




[18]Abdullah Ishak, Islam di Nusantara (Khususnya di Tanah Melayu), (Selangor: al-Rahmaniyah, 1990), h. 166.




[19]Musyrifah Sunanto, Sejarah, h. 106.




[20]Dalam sejarah Aceh, zaman kesultanan Aceh Darussalam, khususnya masa Iskandar Muda (1607-1636), bukan hanya dianggap sebagai priode keemasan tradisi intelektual, tapi juga periode konsolidasi Aceh sebagai “Serambi Mekkah”. Zaman ini pula diktum “ Hukum dan Adat ibarat kuku dan daging” dirumuskan. Defenisi kultural inilah yang melihat Islam sebagai landasan kebudayaan dan struktur politik, yang menempatkan sultan sebagai pusat kekuasaan dan simbol negara. Dalam konteks seperti ini, ulama adalah pengesah kekuasaan dan perumus realitas. Lebih lanjut corak hubungan ini disahkan dalam Adat Aceh suatu risalah mengenai “ideologi Aceh” dari abad XVIII. Erawadi, h. 45.




[21]Syams al-Din al-Samatrani dan Hamzah Fansuri adalah dua ulama utama yang memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan kaum Muslim Melayu-Indonesia pada paruh pertama abad ketujuh belas. Azra, Jaringan, h. 166. Sultan Iskandar Muda mendirikan beberapa masjid. Salah satu peninggalannya yang monumental adalah mesjid Bait al-Rahman. Mesjid yang telah diabadikan sebagai mesjid raya Nanggroe Aceh Darussalam. Musyrifah Sunanto, h. 107. Erawadi, h. 45.




[22]Nur al-Din Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji al-Hamid (atau al-Humayd) al-Syafi’i al-Asy’ari al-‘Aydarusi al-Raniri dilahirkan di Ranir (modern: Randir), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Lepas dari tempat kelahirannya, al-Raniri secara umum dianggap lebih sebagai seorang alim Melayu-Indonesia dari pada India atau Arab. Tahun kelahirannya tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16. dikatakan, ibunya adalah seorang Melayu, tetapi ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhrami yang mempunyai tradisi panjuang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Azra, Jaringan, h. 169.




[23]Kerajaan Samudra Pasai, Aceh dan Malaka merupakan pusat-pusat pendidikan dan pengejaran agama Islam. Dari tiga kerajaan inilah ajaran-ajaran Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulamanya serta murid-murid yang menuntut ilmu ke sana. Musyrifah Sunanto, h. 107.




[24]Kehadiran surau sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam semacam pesantren jelas berkaitan erat dengan perluasan fungsi surau dalam masyarakat Minangkabau. Cikap bakal surau, setidaknya menurut Mahmud Yunus --- pertama kali dimunculkan oleh Syaikh Burhanuddin (1066-1111 H/1646-1591 M). sekembalinya dari Kotaraja Aceh ---tempat ia belajar ilmu agama kepada Syaikh ‘Abdurrauf al-Singkili, ulama Aceh terkenal, Syaikh Burhanuddin mendirikan surau di kampong halamannya, Ulakan, Pariaman. Di surau inilah, Syaikh Burhanuddin melakukan pengajaran Islam dan mendidik beberapa murid yang menjadi ulama yang berperan penting dalam pengembangan ajaran Islam selanjutnya di Minangkabau. Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 9.




[25]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), h. 174.




[26]Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cet. II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 224-225.




[27]Syaikh Yusuf al-Makassari sebelum ke Banten telah melanglang buana dalam menuntut ilmu. Pada tahun 1644, dalam usianya yang masih sangat muda, ia berangkat ke arah barat Nusantara, tepatnya Sumatera bagian utara. Di Aceh, negeri yang pada masa itu merupakan pusat pendidikan Islam utama di Nusantara, ia berbaiat masuk sebuah tarekat, yaitu tarekat Qadiriyah. Perjalanan selanjutnya ke Yaman. Setibanya di Yaman, ia mempelajari tarekat Naqsyabandiyah melalui seorang Syaikh Arab terkenal, Muhammad ‘Abd al-Baqi. Belakangan di Madinah, ia berguru pula kepada tokoh Naqsyabandi terkenal lainnya, Ibrahim al-Kurani, tetapi ia hanya menyebut gurunya ini hanya sebagai seorang syaikh tarekat Syattariyah. Yusuf belajar kepada berbagai guru lain di Makkah dan Madinah, dan mengadakan perjalanan hingga Damaskus. Di sini ia berbaiat masuk tarekat Khalwatiyah. Seleuruhnya ia telah menghabiskan usia selama seperempat abad di Negeri Arab, dan menurut pengakuannya, ia telah mempelajari berbagai macam tarekat yang lain.

Diketahui ia kembali ke Indonesia pada tahun 1672; tidak ke kampong halamannya, Gowa --- yang pada tahun 1669 telah ditaklukkan Belanda yang bersekutu dengan kerajaan Bugis saingan Gowa, Bone --- tetapi ke Banten. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), h. 34.




[28]Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, antara lain, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar Sultan. Agaknya raja-raja tersebut beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya di Makkah, tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap bahwa Syarif Besar yang menguasai Haramain (Makkah dan Madinah) saja, yang memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Cet. ke-3 (Bandung: Mizan, 1999), h. 42.




[29]Ibid., h. 43.




[30]Azra, Jaringan, h. 213-214.




[31]van Bruinessen, Kitab Kuning, h. 250.




[32]Van Bruinessen, Kitab Kuning, h. 251.




[33]Azra, Jaringan, h. 222.




[34]Ibid., h. 232.




[35]Perlu diingat al-Maqassari dan Sultan Ageng telah bersahabat sebelum al-Maqassari berangkat ke Arabia. Jadi ketika al-Maqassari kembali dengan membawa keunggulan keilmuan, Sultan Ageng dengan segala cara, termasuk lewat tali persaudaraan, berusaha untuk menahannya di Banten. Azra, Jaringan, h. 222.




[36]‘Abd al-Qahhar, sang putra mahkota, pernah diutus menjalankan misi diplomatik ke Timur Tengah. Misi ini sudah pasti tidak terlalu sulit dilakukan, karena al-Maqassari memiliki kontak-kontak yang luas di Timur Tengah. hampir dapat dipastikan juga, al-Maqassari menyarankan kepadanya untuk singgah di Istambul, ibu kota Khilafah Turki Usmani. Ketika putra mahkota ini kembali dari Timur Tengah, dengan gelar baru “Sultan Haji”, dia segera menghimbau orang-orang Banten agar mengenaikan pakaian gaya Arab. Desakan ‘Abd al-Qahhar kepada penduduk Banten agar mengenakan pakaian Arab disebut Uka Tjandra Sasmita menjadi penyebab awal retaknya hubungan antara dia dan ayahnya, Sultan Ageng. Tetapi tampaknya, menurut Azra, penyebab yang paling mendasar dari pertentangan mereka adalah keputusan Sultan Ageng menunjuk putranya yang lain, Pangeran Purbaya, untuk menggantikannya menduduki takhta, sementara ketika penunjukan itu, ‘Abd al-Qahhar sedang naik haji. Keputusan sang ayah ini tampaknya diakibatkan kecenderungan ‘Abd al-Qahhar yang memihak Belanda; bertentangan dengan sikap ayahnya sendiri yang gigih menentang Belanda. Azra, Jaringan,  Ibid., h. 224-225.




[37]Bukti-bukti arkeologis yang mendukung argumentasi ini lihat Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Cet. II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001). Buku ini sebagian besar mendasarkan deskripsi historisnya kepada peninggalan arkeologis kerajaan Islam Nusantara. Peninggalan arkeologis dimaksud tidak membawa penulis kepada suatu kesimpulan bahwa Islam Nusantara meninggalkan jejak-jejak peradaban sains dan teknologi sebagai kelanjutan peradaban zaman klasik Islam.




[38]……………………………………..




[39]Kalaupun ada perhatian terhadap sains, hanya bisa ditunjukkan……………………….




[40]Selain Azra, Jaringan, lihat juga Martin van Bruinessen, Tarekat.




[41]Nurcholish Madjid mengatakan, Iran oleh karena mewarisi tradisi filsafat, karya-karya intelektual mereka jauh lebih produktif dan berbobot dari ilmuan Muslim Indonesia. Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), h………..


1 komentar: