Sabtu, 21 Mei 2011

FALSAFAH DAN KEARIFAN ISLAM TENTANG ALAM: Menguak Pesan Dakwah tentangPelestarian Lingkungan


Abstrak

Islam adalah ajaran yang sempurna. Salah satu bagian ajaran Islam tersebut adalah pesan-pesan yang bermakna dalam tentang pelestarian lingkungan. Sebagian besar pesan-pesan tentang pelestarian lingkungan itu berbobot filosofis dan sufistik yang tinggi, yang dapat dirumuskan menjadi world view (pandangan dunia) muslim tentang alam semesta.

Point-point penting pandangan dunia dimaksud adalah pertama, alam bukanlah kepunyaan manusia tetapi ciptaan dan milik Allah. Kedua, alam memiliki keseimbangan dan keteraturan (sunnatullāh). Keteraturan itu ditundukkan kepada manusia sebagai khalīfah Allah. Ketiga, dalam pengelolaan dan penikmatan alam, manusia harus bertindak secara moral (atas dasar taqwa). Keempat, Islam mewajibkan manusia untuk mengkaji dan memahami tanda-tanda Allah (āyāt) di alam. Point-point di atas mesti mendasari pesan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan. Pesan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan, dapat disimpulkan pada tiga hal: Pertama, Upaya kongkret pelestarian lingkungan (da’wah bi al-hāl) yang diorientasikan kepada visi pelestarian lingkungan yakni alam sebagai tempat sujud, sebagai rumah suci dan sebagai ayat-ayat Allah. Suatu visi pelestarian yang propetis, Ilahiah, yang merupakan kongkritisasi kehendak Ilahi di bumi.

Kedua, Upaya jihad intelektual (pemikiran dan konseptual) dalam pelestarian lingkungan (da’wah bi al-lisan). Yakni elaborasi konsep-konsep al-Quran dan Sunnah yang bersepadu dengan konsep-konsep saintifik untuk pelestarian lingkungan.

Ketiga, Pengejewantahan sikap atau idealisme untuk konsisten (istiqāmah) menolak setiap ajakan dan tindakan yang merusak alam (da’wah bi al-qalb).

Kata-kata Kunci:

Pelestarian Lingkungan, Dakwah Islam, Falsafah dan Kearifan Islam, Da’wah bi al-Hāl, Da’wah bi al-Lisan, Da’wah bi al-Qalb.

I.                   Pendahuluan

Islam adalah agama rahmatan lil’ālamīn. Di dalamnya terkandung pesan atau ajaran tentang berbagai hal. Di antaranya, Islam mengandung pesan yang penuh makna tentang alam. Pesan-pesan dimaksud akan mudah ditemukan dalam ayat al-Qur`an dan Hadis Nabis Saw. Secara garis besar, ayat dan hadis dimaksud berisi petunjuk tentang cara pandang seorang muslim terhadap alam, pemanfaatan alam dan bagaimana memelihara alam.

Makalah ini mencoba menguak pesan falsafah dan kearifan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan. Kajian ini diharapkan berguna sebagai sedikit usaha dalam mengatasi masalah lingkungan yang semakin problematis pada era ini. Makalah ini akan dimulai dengan pembahasan tentang pandangan Islam tentang alam, dilanjutkan dengan pembahasan problematika lingkungan, baru kemudian dibahas pesan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan. Simpul dari kajian ini, akan ditempatkan pada bagian penutup.

II.                Pandangan Islam tentang Alam

Alam adalah ciptaan Allah[1], bukan ada dengan sendirinya, seperti pandangan para filsuf materialis atau suatu kejadian buruk yang terjadi atas Brahma yang Absolut, sebagaimana dalam wawasan kosmis Hindu.[2] Alam diciptakan melalui suatu proses penyempurnaan. Di dalam ayat al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-A’raf/7 ayat 57, dan Yunus/10 ayat 3, bahwa Allah menciptakan langit  dan bumi dalam enam masa, dan ketika itu Allah SWT bersemayam di atas ‘arsy, sedangkan ‘arsy berada di atas air.[3]

Pernyataan ayat ini menggambarkan bahwa kejadian langit dan bumi melalui suatu proses yang ditetapkan. Proses ini, menurut Ibn Rusyd dimulai dari air.[4] Ayat inilah yang kemudian mengantarkan sebagian filsuf muslim sampai kepada pandangan bahwa alam diciptakan dari sesuatu yang sudah ada, yaitu air. Pandangan ini bertolak belakang dengan kaum teolog (mutakallimīn) yang memiliki pandangan cretio ex nihilio, yakni menciptakan dari sesuatu yang tidak ada.[5] Meskipun para ilmuan muslim masa lalu berbeda pendapat tentang proses penciptaan alam, namun mereka sepakat mengatakan bahwa alam adalam ciptaan, bukan ada dengan sendirinya.

Alam yang terbentang sangat luas, adalah suatu cosmos, bukan chaos. Pandangan ini telah ada pada masa filsuf Yunani Kuno.[6] Wahyu al-Qur`an, meskipun dengan paradigma yang berbeda, ternyata juga menegaskan demikian (al-Furqān/25: 2; Abasa/80: 19).[7] Al-Qur`an menyebut penciptaan alam beserta berbagai penomena alamiah di dalamnya sebagai āyāt. Di antara ayat al-Quran yang menyatakan demikian adalah sebagai berikut:

Artinya:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur`an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhan-mu menjadi Saksi atas segala sesuatu?[8]

Ayat biasa diterjemahkan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah atau petanda Allah. Dalam bagian lain al-Qur`an dinyatakan demikian:

Artinya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan  siang dan malam terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (Āli Imrān/3: 190-191).[9]

Oleh karena penciptaan alam dan berbagai penomena alamiah adalah ayat Allah, maka memahaminya akan memantapkan keyakinan kepada keesaan Allah SWT. Pemahaman seperti ini tentu tidak ada pada wawasan kosmik Yunani kuno. Oleh karena itu, wawasan kosmik Islam adalah pengejewantahan dari wawasan tauhid, yakni suatu wawasan yang menempatkan Allah sebagai eksistensi paling utama dan menjadi asal dan tujuan akhir seluruh ciptaan atau makhluk.[10] Juga menjadi tempat bergantung seluruh makhluk.

Alam demikian sempurna. Tidak ada jurang pemisah di alam. Tidak ada obyek atau kejadian di alam ini yang berupa kebetulan. Segala kejadian terjadi dengan sebab-akibat yang dapat diperkirakan. Menurut Ismail R. al-Faruqi, bisa jadi kejadian sebab-akibat itu tidak diketahui, tetapi ia ada, dan pertaliannya dengan sesuatu atau kejadian adalah sungguh nyata.[11]

Susunan alam bukanlah sekedar susunan sebab dan akibat material, susunan ruang dan waktu dan kategori teoritis lainnya. Alam adalah suatu kenyataan yang bertujuan, dan segala sesuatu di alam mempunyai fungsi memenuhi tujuan, dan karena itu ikut memberi dampak bagi kesejahteraan dan kesetimbangannya. Dari sebutir kerikil di lereng bukit, plankton dipermukaan laut, kuman di perut kayu, hingga galaksi dan matahari, ikan paus dan gajah ― segala sesuatu kelahiran dan pertumbuhannya, hidup dan matinya; memenuhi tujuan yang telah digariskan Tuhan. Semuanya tunduk kepada kehendak Tuhan.[12] Semua makhluk bergantung satu sama lain, dan seluruh penciptaan berjalan karena keselarasan sempurna di antara bagian-bagiannya. Dalam Al-Qur`an surat ke-65 ayat 3 disebutkan bahwa segala sesuatu ditetapkan Allah ukurannya.[13]

Alam bagi muslim sebagai masjid (tempat sujud). Sebagai masjid, maka alam adalah tempat menghambakan diri kepada Allah SWT. Sujud adalah tanda kedekatan seorang hamba kepada sang Khaliq. Sujud dilakukan dengan cara menundukkan kepala dengan cara mencium tanah sebagai lambang berendah diri dihadapan Allah SWT. Sujud juga akan mengantarkan hati manusia untuk menyadari asal penciptaannya, yakni tanah. Sujud akan memancarkan kesadaran tentang hakikat diri manusia yang berasal dari hakikat yang hina (tanah) dan mulia (ruh). Sujud juga akan memancarkan kesadaran akan kesemestaan, karena ketika sujud, manusia benar-benar berinteraksi penuh dengan alam (tanah) yang menjadi asal penciptaan jasadnya. Sujud dapat pula mengantarkan seseorang untuk mencintai tanah, tempat berdiri kokoh manusia dan berbagai binatang dan tanaman.

Doktrin Islam juga mengajarkan bahwa alam adalah rumah suci. Rumah suci artinya tempat hunian yang suci. Ia suci, karena memang tanpa cacat (al-Mulk/67: 3-4).[14] Alam begitu teratur, indah, apik dan rapi. Alam dengan hukum-hukumnya yang seimbang. Di alam, semua makhluk mendapatkan kebutuhannya. Allah SWT telah mengaturnya demikian (al-Baqarah/2: 29).[15] Semua ciptaan mendapatkan rezkinya di alam. Alam telah melimpahkan berbagai kenyamanan dan kesenangan bagi hidup manusia. Alam telah ditundukkan kepada manusia (Luqmān/31:20).[16] Agar manusia senantiasa hidup nyaman di dalamnya, manusia tentu mesti menjaga hukum-hukumnya. Allah menyebutnya sebagai sunnatullāh. Jika sunnatullah dilanggar, maka alam bisa berubah menjadi tempat yang tidak nyaman. Hal ini ditandai dengan munculnya bencana alam. Oleh karena itu, manusia harus menjaga hukum-hukumnya, hidup dengan baik dalam keseimbangannya. Hal inilah yang diingatkan Allah agar manusia tidak melampaui batas.

Alam ini adalah rumah sementara atau persinggahan manusia. Ibarat suatu perjalanan yang panjang, alam adalah tempat transit manusia sebelum melanjutkan perjalanan menuju tujuan terakhir yang abadi yakni kehidupan akhirat. [17] Selama di dunia, manusia tidak boleh lengah, yang menyebabkan ia keluar dari ketakwaan. Allah SWT mewajibkan manusia untuk meninggalkan amal atau karya terbaiknya di bumi, sehingga dapat menjadi amal jariah baginya. Karya atau amal yang paling baik itu adalah karya atau amal yang dapat memberi kemaslahatan kepada manusia lain dalam waktu yang panjang. Dengan begitu, setiap muslim sesungguhnya memiliki wawasan nilai untuk senantiasa meninggalkan amal atau karya yang lestari di bumi.

III.       Problematika Lingkungan Hidup

Keadaan lingkungan hidup manusia saat ini sudah memprihatinkan. Bencana yang lebih besar diperkirakan akan muncul jika manusia tidak segera kembali memperhatikan hukum-hukum keseimbangan alam (sunnatullāh). Berbagai bencana yang muncul seperti kekeringan, ketidakstabilan suhu panas bumi, polusi yang meningkat serta berbagai masalah yang ditimbulkannya seperti sunami, banjir, longsor, gempa bumi dan sebagainya adalah akibat dari rusaknya keseimbangan di alam. Hal inilah yang diingatkan Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur`an surat ar-Rum ayat 41:

Artinya:

Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena  perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).[18]

Ancaman bagi lingkungan hidup manusia dapat digambarkan berdasarkan ancaman memprihatinkan akan bahaya yang dipastikan akan datang. Saat ini, berton-ton karbon doiksida dibuang ke atmosfir, jutaan spesies makhluk hidup telah punah/mati, padang pasir sahara bertambah luas, panas bumi yang semakin   meningkat. Prediksi ilmiah mengatakan bahwa ancaman bahaya kelaparan dunia sudah mengintai di depan mata, bahaya kekeringan akan makin hebat, jutaan manusia akan mengalami krisis energi dan air. Jika prediksi ini benar-benar terjadi, maka bumi ini tidak lagi menjadi tempat atau hunian yang layak bagi manusia dan makhluk lainnya.[19]

Mengapa hal ini terjadi? Mengapa bumi, dari yang tadinya tempat yang menyenangkan bagi manusia, kini diambang mala petaka besar? Berbagai hipotesis telah dirumuskan untuk memberi jawaban pertanyaan tersebut. Telah banyak pertemuan dilakukan, mulai dari pertemuan lokal, Nasional dan Internasional. Pada tingkat Internasional, telah dilaksanakan dua kali Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi)[20], disamping forum Internasional lainnya seperti Perjanjian Kyoto, Protokol Montreal dan Pertemuan Bali.  Dari berbagai forum dimaksud telah banyak dirumuskan usulan-usulan kongkrit penyelamatan planet bumi ini. Di sampaing itu, banyak pula usulan-usulan konseptual yang dihasilkan.

Secara umum, berbagai usulan itu berkisar pada follow up yang operasional dan teknis penyelamatan lingkungan alam (bumi).[21] Usulan teknis dan operasional dimaksud seperti pengurangan emisi gas rumah kaca oleh Negara-negara maju, penumbuhkembangan energi elternatif yang memiliki dampak polusi lebih kecil, menghindari pembakaran hutan di Negara-negara yang memiliki cadangan luas hutan, menggalakkan konservasi alam, dan sebagainya.

Pada tataran yang filosofis dan sufistis, para pakar juga menyampaikan berbagai pandangan konseptual untuk tawaran bagi pemecahan problem lingkungan alam. Sebagai contoh, para filsuf perennial menawarkan konsep perubahan cara pandang terhadap alam. Jika sains yang sedang  berkembang (sains Barat) mendasarkan dirinya kepada filsafat positivistik, yang memandang alam sebagai rival atau sesuatu yang harus ditundukkan dan selanjutnya dieksploitasi, maka mereka menawarkan cara pandang terhadap alam yang lebih holistik dengan cara menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional (agama) dalam memandang alam.[22] Akar masalah krisis lingkungan tersebut, menurut mereka berakar pada pandangan yang distortif terhadap alam. Alam harus dipandang sebagai sahabat, rumah suci dan tempat menghambakan diri kepada Tuhan. Alam tidak untuk ditundukkan, tetapi dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Dunia dibangun dengan indah, sehingga menjadi hunian yang sehat, aman dan damai.[23]

Para ahli mistisisme atau tasauf menawarkan konsep aktualisasi nilai-nilai spiritual dalam menyelamatkan bumi ini. Aktualisasi nilai-nilai spiritual dimaksudkan adalah pengejewantahan nilai-nilai ketuhanan tentang penciptaan alam, sehingga manusia menyadari dengan baik bagaimana Tuhan membimbing dia untuk berinteraksi dengan alam raya ini. Para sufi dan ahli mistis berkeyakinan bahwa agama-agama menyimpan nilai-nilai yang luhur yang dapat dipegang ketika manusia berinteraksi dengan alam sekitarnya. Nilai-nilai luhur dimaksud akan merubah cara pandang manusia terhadap alam, yang sekaligus juga merubah prilakunya ketika berinteraksi dengan alam.[24]

IV.        Pesan Dakwah Islam tentang Pelestarian Lingkungan

Dalam tulisan ini, pesan dakwah Islam dimaksudkan adalah falsafah dan kearifan Islam dalam melakukan seruan untuk pelestarian lingkungan. Atau lebih tepatnya misi Islam tentang pelestarian lingkungan, yang dapat dijadikan acuan para da’i (penyeru) pelestarian lingkungan dengan pendekatan kearifan dan falsafah.

Secara garis besar, penyampaian pesan dakwah Islam, tak terkecuali tentang topik pelestarian lingkungan dapat dibagi kepada da’wah bi al-hāl, da’wah bi al-lisan dan da’wah bi al-qalb.[25]

Pada bagian ini, penulis mencoba menjelaskan pesan dakwah dengan pendekatan falsafah dan kearifan Islam berkenaan dengan da’wah bi al-hal, da’wah bi al-lisān dan da’wah bi al-qalb tentang pelestarian lingkungan.

1.      Da’wah bi al-Hāl dalam Pelestarian Lingkungan

Sebagai agama terakhir dan sempurna, Islam menekankan bahwa tindakan (‘amal) dalam pelaksanaan misi Islam adalah paling berguna dibanding dengan upaya-upaya konseptual atau sikap abstain (da’wah bi al-qalb) untuk menyelesaikan sesuatu. Dalam konteks pelestarian lingkungan, Islam memandang bahwa tindakan-tindakan nyata bagi penyelamatan masa depan bumi harus menjadi prioritas. Oleh karena itu, pada prinsipnya Islam sependapat dengan hasil-hasil pertemuan lokal, nasional dan internasional, yang merekomendasikan tindakan kongkret tentang pelestarian lingkungan. Hanya saja Islam memiliki kearifan dalam bertindak-nyata melestarikan lingkungan. Di antara butir-butir kearifan dimaksud sebagai berikut: Pertama, setiap upaya nyata pelestarian lingkungan didasarkan kepada kesadaran akan amanat kekhalifahan manusia. Sebagai khalifatullāh fi al-ard (khalifah Allah di bumi)[26], maka setiap tindakan manusia merupakan manifestasi ilahiah. Dengan demikian, setiap upaya kongkret yang diperbuat harus karena keridaan Allah SWT. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan bagi Islam adalah amanat Ilahi. Jika tidak dipertanggungjawabkan maka akan memiliki konsekuensi keakhiratan.

Di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa alam adalah milik Allah SWT, dan manusia diberi izin sementara waktu untuk memakmurkannya. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan manusia harus senantiasa memperhatikan hukum-hukum keseimbangan yang telah diletakkan oleh Allah di jagat raya ini. Pengingkaran terhadap hukum-hukum ini sama dengan pengingkaran terhadap Kitab Allah yang tertulis (wahyu). Dikatakan demikian, karena penciptaan alam semesta beserta penomena di dalamnya disebut juga sebagai ayat-ayat Allah. Islam mengajarkan penghormatan terhadap alam, bahkan dianjurkan menciumnya ketika bersujud sebagai ritual penghambaan (beribadah) kepada penciptanya, Allah SWT. Konsekuensinya, tindakan yang sia-sia terhadap alam seperti keserakahan, eksploitasi berlebihan, pengelolaan hutan yang sembarangan, dan lain sebagainya merupakan pembangkangan terhadap Allah SWT .[27]

Kedua, setiap upaya nyata pelestarian lingkungan adalah penghambaan diri (ibadah) kepada Allah SWT. Seorang muslim mesti memandang pelestarian lingkungan sebagai investasi akhirat bagi dirinya. Islam mengajarkan bahwa tindakan yang berdampak permanen terhadap generasi manusia dan alam akan menjadi ‘amal jariah (amal yang terus mengalirkan pahala) kepada pelakunya. Dengan demikian, seorang muslim yang melakukan tindakan pelestarian lingkungan, ia berpeluang besar mendapatkan ampunan Tuhan dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.[28] Jadi penyelamatan alam sesungguhnya adalah manifestasi ketundukan dan kepasrahan kepada Allah SWT.

Ketiga, setiap tindakan pelestarian alam harus senantiasa melakukannya dengan orientasi rahmatan lil ‘ālamīn (rahmat bagi alam semesta). Sebagai contoh, seorang muslim tidak diajarkan melakukan konservasi alam dengan merusak ekosistem alam, membakar hutan, bahkan merusak keindahan alam. Seorang muslim diharuskan memiliki kesadaran bahwa di hutan hidup komunitas binatang yang perlu mendapat perlindungan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar seorang muslim tidak menunjukkan keserakahannya ketika mengambil hasil hutan, mengusir komunitas hewan, apa lagi melakukan illegal logging (penebangan liar).

2.      Da’wah bi al-Lisan dalam Pelestarian Lingkungan

Da’wah bi al-lisān artinya dakwah dengan kekuatan pikiran, yakni berdakwah dengan kekuatan argumen atau penalaran. Apakah penalaran lisan atau tulisan. Seorang muslim mesti juga terlibat secara konseptual dalam pelestarian lingkungan. Keistimewaan konsep-konsep Islam adalah kekayaan dan keunggulan konsepnya karena merujuk kepada dua sumber ilmu secara integral, yakni wahyu Ilahi dan sains. Jawaban-jawaban Islam yang saintis akan memberi arah yang sempurna, integral dan propetik. Jawaban tersebut tentu meniscayakan kesejatian pembangunan lingkungan. Dikatakan demikian karena konsep dan pemikiran yang disampaikan muncul dari kedalaman spiritual dan ketajaman rasional seorang muslim.

Pendekatan da’wah bi al-lisān dalam pelestarian lingkungan secara garis besar dapat dikelompokkan kepada dua model pendekatan. Pertama, pendekatan ilmiah rasional yang ditujukan kepada para elit pengambil kebijakan dan kepada para pemikir dan aktivis lingkungan. Seorang muslim yang berada pada atau memiliki link dengan kelompok elit ini harus dengan berani dan lugas menyampaikan konsep-konsep falsafah dan kearifan Islam tentang pelestarian lingkungan. Salah satu bagian terpenting disampaikan adalah kearifan (tradisi Islam, Islamic tradition) tentang pemeliharaan lingkungan. Inti dari tradisi Islam dimaksud adalah integrasi wawasan spiritual dalam cara pandang sains Islam. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh Barat. Di Barat, spiritualisme bersifat pragmented jika dihadapkan dengan sains. Akibatnya, penyelesaian Barat tidak menyentuh akar paling dalam dari masalah lingkungan, yakni sikap dan cara pandang terhadap alam. Selama ini, Barat memiliki sikap dan cara pandang yang antagonistik terhadap alam.[29] Di satu sisi, alam bagi Barat adalah harus ditundukkan, tetapi di sisi lain, Barat menyadari perlunya penyelamatan kriris lingkungan.

Selama ini, konsep-konsep penyelamatan lingkungan adalah dominasi Barat, yang lahir dari paradigma pikir yang terpisah bahkan menentang “tradisi”, yakni paradigma sekularistik yang memandang alam sebagai rival yang harus ditundukkan.[30] Meskipun belakangan ini, telah nampak perubahan pendekatan terhadap alam, namun pada tataran filosofis, Barat belum beranjak dari pandangan dasar yang tidak bersahabat terhadap lingkungan.

Kedua, pendekatan ilmiah-tradisional, yakni pendekatan da’wah bi al-lisān yang ditujukan kepada masyarakat di lapisan bawah. Pendekatan seperti ini tetap berporos ilmiah tetapi dibungkus dengan bahasa tradisional. Lebih jelasnya, seruan dan ajakan dengan pendekatan kultural dalam pelestarian lingkungan. Seorang penyeru (aktivis dakwah) mesti menguasai terma-terma budaya dan wawasan kultural masyarakat yang diseru. Hal ini sebagai pengejewantahan ajaran al-Qur’an tentang pentingnya menyampaikan ajakan dengan “bahasa kaum” atau bahasa dan cita rasa adat dan budaya masyarakat.

Selama ini, terma-terma yang dilontarkan terlalu jauh dari jangkauan bahasa masyarakat bawah. Akibatnya, ajakan pelestarian lingkungan itu tidak efektif mempengaruhi masyarakat. Lebih aneh lagi --- sebagaimana ditunjukkan oleh suatu survey --- masyarakat bawah memandang idiom dan terma krisis lingkungan sebagai isu kelas menengah ke atas (isu orang modern dan kota).[31] Dengan persepsi demikian, maka mereka menganggap dirinya tidak perlu berperan serta pada upaya pelestarian lingkungan. Bahkan sebagian besar di antara mereka memandang dirinya sebagai orang yang tidak pernah merusak alam. Mereka merasa sebagai bagian yang mengintegral dengan alam.[32]

Seorang penyeru tentu harus menentukan cara terbaik dalam memilih ‘bahasa’ yang digunakan. Jika bahasa penyelamatan hutan tidak efektif disampaikan, maka dapat mengambil bahasa yang lain. Salah satu topik yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka misalnya tentang sanitasi, pengelolaan sampah dan pemanfaatan air bersih.

Jika bahasa yang digunakan tidak berkait dengan problem atau masalah spesifik mereka, sebagaimana yang mereka rasakan, maka mereka akan sangat mungkin menolak. Masyarakat akan mungkin sekali mengatakan, “Jangan ajari kami cara mengatasi masalah kami.” Oleh karena itu, menentukan ‘bahasa’ yang dipandang tepat, akan  sangat tergantung kepada sejauh mana seorang aktivis dakwah mengetahui dan menyelami jiwa masyarakat. Kegagalan pada bagian ini akan berdampak terhadap gagalnya misi dakwah.

3.      Da’wah bi al-Qalb dalam Pelestarian Lingkungan

Da’wah bi al-qalb adalah dakwah dengan sikap. Hal ini adalah pilihan terakhir, jika da’wah bi al-hāl dan da’wah bi al-lisān tidak mampu dilakukan. Dakwah dengan sikap adalah dakwah dengan menunjukkan sikap antipati terhadap tindakan perusakan lingkungan. Seorang muslim dapat menempuh cara ini jika ia tidak mampu melakukan tindakan pisik dan upaya konseptual atau “seruan” dalam penyelamatan lingkungan.

Hadis Rasulullah SAW berbunyi:

Jika kamu melihat kemungkaran maka lenyapkanlah dengan kekuatan pisikmu, jika kamu tidak sanggup, maka hadapi dengan lisanmu, tetapi jika dengan lisan pun kamu tidak sanggup, maka hadapi dengan hatimu (sikap abstain). Sikap abstain ini adalah selemah-lemah iman.[33]

Pada tingkat tertentu, sikap anti pati terhadap perusakan lingkungan dapat menjadi pressure terhadap orang-orang yang merusak lingkungan. Apa lagi jika sikap anti pati dilakukan dengan terorganisir. Bahkan, cara ini dapat menjadi bentuk protes yang arif tapi efektif untuk menghentikan tindakan perusakan lingkungan. Pressure seperti ini menurut hemat penulis dapat bernilai da’wah bi al-hāl.

Pada kasus-kasus tertentu, masyarakat dapat diajak untuk tidak proaktif atau bersikap abstain terhadap ajakan orang ‘kota’ mengelola lingkungannya terutama hutannya. Kerusakan bahkan hampir punahnya tanah atau hutan adat, salah satunya karena sikap permisif masyarakat terhadap kedatangan orang ‘kota’ yang dengan bebas mengelola hutan adat mereka.

Para aktivis dakwah penting memiliki keterampilan dan kemampuan dalam memberdayakan masyarakat, membangkitkan semangat dan ideologi mereka,  serta mendorong partisipasi mereka, agar mereka memiliki perhatian yang cukup terhadap lingkungannya. Dalam konteks da’wah bi al-qalb, idealisme masyarakat harus dibangkitkan agar pada suatu saat mereka dapat melancarkan protes pasiv terhadap upaya perusakan lingkungan mereka.[34]

V.           Penutup

Di akhir tulisan ini, penulis membuat simpulan sebagai berikut:

1.      Islam mengajarkan cara pandang yang religio-kosmis tentang alam. Simpul utama pandangan Islam adalah penekanan bahwa alam dan segala isinya adalah ciptaan Allah dan Allah telah menetapkan hukum-hukum di dalamnya (sunnatullāh). Sunnatullah itu sendiri adalah ayat Allah, yakni tanda-tanda kebesaran Allah. Pandangan ini menegaskan bahwa mengetahui alam sesungguhnya mengetahui penciptanya, Allah SWT. Inilah simpulan dasar-dasar paradigma kosmis yang harus dipahami oleh seorang aktivis dakwah muslim.

2.      Pesan dakwah Islam tentang pelestarian lingkungan, dapat disimpulkan pada tiga hal:

Pertama,upaya kongkret pelestarian lingkungan (da’wah bi al-hāl) yang diorientasikan kepada visi pelestarian lingkungan yakni alam sebagai ciptaan dan milik Allah yang diamanahkan kepada manusia untuk memakmurkannya. Suatu visi pelestarian yang propetis, Ilahiah, yang merupakan kongkritisasi kehendak Ilahi di bumi.

Kedua,upaya jihad intelektual (pemikiran dan konseptual) dalam pelestarian lingkungan (da’wah bi al-lisān). Yakni elaborasi konsep-konsep al-Quran dan Sunnah yang bersepadu dengan konsep-konsep saintifik untuk pelestarian lingkungan.

Ketiga, upaya menunjukkan sikap atau idealisme untuk konsisten (istiqāmah) menolak setiap ajakan dan tindakan merusak alam (da’wah bi al-qalb).

Wallāhu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Al-Madāris al-Falsafiyah. Kairo: al-Maktabah al-Misriyah, 1965.

Al-Faruqi, Ismail R. Islam dan Kebudayaan. Bandung: Mizan, 1989.

Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, “Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan”, dalam Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut al-Qur`an. Bandung: Mizan, 1991.

Dep. Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Semarang: CV Diponegoro, 2007).

Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: P.T. Tintamas, 1980.

LSM API, “Hasil Survey LSM Asosiasi Independen Petani Indonesia, Tahun 2007.

Murdiyarso, Daniel. “Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim”, Kompas, Jakarta, 2003.

Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred, (Edinburg: Edinburg University Press, 1981)

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

--------. Menjelajah Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Hasti Tarekat. Bandung: Mizan, 1995

P.T. Raju, The Great Asian Religion. New York: The Macmillan Co., tt.

“Ratifikasi Perjanjian Kyoto1997” dalam http://www. voanews.com/In-donesian/archive/2002-09/a-2002-09-01.cfm

Shariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1989)

“Wawancara” dengan Sigrid Nökel, “Krisis Lingkungan adalah Krisis Spiritual”, dalam http://id.qantara.de/webcom/show.

Wora, Emanuel. Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, tt.
Psp., 26 Agt 2009








*Anhar adalah Lektor dalam mata kuliah Filsafat Umum pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan.




[1]Banyak ungkapan ditemukan di dalam al-Quran yang menyatakan bahwa alam adalah ciptaan Allah, bukan terjadi dengan sendirinya. Misalnya lihat dalam surat al-Mulk/67: 3-4; an-Naml/27: 88, al-An’ām/6: 14, dll).




[2]Lihat P.T. Raju, The Great Asian Religion, (New York: The Macmillan Co., tt), hlm. 5-6.




[3]Lihat Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Diponegoro, 2007), hlm. 157 dan 208.




[4]Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Madāris al-Falsafiyah, (Kairo: al-Maktabah al-Misriyah, 1965), hlm. 45.




[5]Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 50-51.




[6]Herakleitos (540-480 SM) berpendapat bahwa dunia ini memiliki hukum, yaitu logos.  Logos juga menguasai diri manusia. Hukum dalam alam yang besar tidak berbeda dengan hukum dalam alam yang kecil (diri manusia). Pendapat ini menjelaskan bahwa bagi Herakleitos, alam jagat ini beraturan (cosmos) bukan sesuatu yang  berantakan (chaos). Lihat Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: P.T. Tintamas, 1980), hlm. 16.




[7]Dep. Agama RI, hlm.  359 dan 585.




[8]Dep. Agama RI, hlm. 482. (Fussilat/ 41:53).




[9]Departemen Agama RI, hlm. 75.




[10]Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 48.




[11]Ismail R. Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 49.




[12]Dalam surat Āli Imrān/3: 83 dinyatakan sebagai berikut: “Maka mengapa mereka mencari agama yang lain selain agama Allah, padahal apa yang ada di langit dan di bumi berserha diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan? Dep. Agama RI, hlm. 60.




[13]Departemen Agama RI, hlm. 558. Lihat Ismail R. al-Faruqi, hlm. 54.




[14]Dep. Agama RI, hlm. 562.




[15]Ibid., hlm. 5.




[16]Ibid., hlm.  413.




[17]Ibid., hlm. 131, 404, 510. (Surat al-An’ām/6: 32; al-Ankabūt/29: 64; Muhammad/47: 36).




[18]Dep. Agama RI, hlm. 408.




[19]Ekosistem alam kini berada dalam keadaan yang amat labil, karena terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya, baik yang direncanakan maupun tidak. Efek rumah kaca sebagai akibat makin banyaknya gas karbon dioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar, mislanya deodorant dan aerosol. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat berguna untuk melidungi kehidupan dari serangan ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon, bisa mengakibatkan bencana bagi kesehatan manusia maupun makhluk lainnya. Tanah-tanah produktif di Dunia Ketiga berubah menjadi gurun dengan kecepatan yang mencengangkan. Setiap tahunnya, enam juta hektar tanah produktif berubah menjadi gurun. Lihat Haidar Bagir dan Zainal Abidin, “Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan”, dalam Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains menurut al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 8.




[20]Tahun 1992 dilaksnakan KTT Bumi tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Brazilia. Tujuan utama konvensi ini adalah menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfir pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Daniel Murdiyarso, “Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim”, Kompas, Jakarta, 2003. Pada 2002, KTT Bumi dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan. KTT ini memfokuskan pembahasan pada urgensi ratifikasi perjanjian Kyoto1997 mengenai naiknya suhu bumi. Para delegasi sepakat menyetujui sebuah deglarasi mendukung perjanjian Kyoto. Baca http://www. voanews.com/Indonesian/archive/2002-09/a-2002-09-01.cfm




[21]Baca http://www.mail-archive.com/iplhi@terranet.or. id/msg00027.html




[22]Bede Griffiths, sebagaimana dikutip Emanuel Wora, mencoba mengungkapkan beberapa pola kebangkitan filsafat perenial, yang disebutnya sebagai pola-pola abad baru dalam kehidupan manusia kontemporer. Pola-pola itu antara lain: adanya sebuah relasi yang baru dengan alam; adanya suatu perasaan kebersatuan (sense of communion) dengan seluruh semesta yang luas; dan munculnya suatu bentuk komunitas manusiawi yang baru. Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius),  hlm. 62.




[23]Bandingkan dengan  Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 1.




[24]Menurut Seyyed Hossein Nasr sebagaimana dijelaskan oleh Sigrid Nökel, sejak zaman pencerahan Eropa, manusia sayangnya mengingkari tatanan yang seimbang (Tuhan, manusia, alam) dan menggantinya dengan tatanan antroposentric yang menempatkan manusia sebagai poros utama. Dan karena kurangnya hubungan dengan tatanan yang lebih tinggi (Ilahiyah), tatanan antroposentric itu memberikan kebebasan kepada manusia untuk menguras alam. Lihat   http://id.qantara.de/webcom/show. “Wawancara” dengan Sigrid Nökel, “Krisis Lingkungan adalah Krisis Spiritual”.




[25]Hal ini sesungguhnya didasarkan kepada salah satu hadis Nabi yang bermakna sebagai berikut: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka enyahkanlah dengan kekuatan pisikmu (bi yādih), jika kamu tidak sanggup maka dengan kekuatan lisanmu (bi lisānih), dan jika masih juga kamu tidak sanggup, maka dengan hatimu (bi qalbih). Hal terakhir ini (dengan hati) adalah selemah-lemah iman.” Lihat  Sahīh Muslim, Kitab 1 Hadis 78; Sunan Abi Daud, Kitab 2 Bab 239; Sunan at-Tirmizī, Kitāb 38, Bab 6; Sunan Nasā`i, Kitab 47, Bab 17; Sunan Ibnu Mājah, al-Muqaddimah, Bab 9.




[26]Dep. Agama, hlm. 6.




[27] Dep. Agama RI, hlm. 129. (al-An’ām/6: 11-12).




[28]Kaitkan misalnya dengan ayat, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” Dep. Agama RI, hlm. 67. (Āli Imrān/3: 133).




[29]Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: C.V. Rajawali, 1989), hlm. 53-54.




[30]Filsafat alam (kosmologi) Kristen mengaggap alam sebagai ciptaan Tuhan yang suatu kali pernah sempurna, tetapi setelah dinodai oleh “kejahatan”, maka menjadi jahat. Noda penciptaan, secara ontologism, adalah akibat dari drama penyelamatan Tuhan, inkarnasi-Nya pada diri Yesus, penyaliban dan kematiannya. Setelah drama itu, secara teoritis, Kristen berpendapat bahwa pemulihan kembali tidak dapat terjadi pada penciptaan. Selanjutnya pendapat itu menganggap penciptaan sebagai jatuhnya dosa, dan alam sebagai kejahatan.

Pandangan yang hampir  sama juga menyelimuti era pencerahan (renaissance) Eropa dan humanismenya. Manusia dianggap sebegitu hebat dan kuat, sampai manusia dipandang menyamai Tuhan. Alam adalah sesuatu yang tidak memiliki makna teleologis, dan oleh karena itu harus ditundukkan. Ismail R. Al-Faruqi, hlm. 47-48.




[31]Survey dilaksanakan di dua tempat di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Pasaman, yaitu wilayah desa yang dikenai perambahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Ketika mereka ditanya, misalnya mengapa sungai di wilayah mereka makin kecil, mereka menjawab bahwa hal itu ulah orang-orang kota. Mengganti hutan tropis menjadi kelapa sawit bagi sebagian besar masyarakat tradisional adalah ‘perusakan’ lingkungan tempat tinggal mereka. Hasil Survey LSM Asosiasi Independen Petani Indonesia, Tahun 2007.




[32]Sebagian alasan masyarakat tradisional memang benar. Realitasnya yang datang membabat hutan mereka adalah nota bene orang-orang kota, yang tanpa mereka ketahui asal-usulnya. Mereka dalam kenyataannya secara terpaksa menerima hutannya ‘dimasuki’ orang-orang modern kota.

Masyarakat tradisional sesungguhnya memiliki cara pandang yang khas tentang lingkungannya. Mereka memiliki kearifan tradisional dalam berhadapan dengan bencana di lingkungannya. Sebagai contoh, mereka memperlakukan hutan dengan penuh penghormatan. Misalnya melihat hari baik ketika akan merambah hutan untuk kebun, memanjatkan do’a kepada Sang Pencipta, dan lain-lain.




[33]Lihat catatan kaki nomor 25.




[34]Bandingkan dengan Ali Shariati, hlm. 195-196.

1 komentar: