Sabtu, 21 Mei 2011

NASIONALISME RELIGIUS: IDENTITAS WAWASAN KEBANGSAAN UMAT ISLAMINDONESIA*

 Oleh: Anhar**

I.       Pendahuluan

Negara bangsa (Nation State) akhirnya menjadi pilihan mayoritas mutlak umat Islam Indonesia. Pilihan ini diambil setelah melalui dinamika politik yang rumit. Kerumitan dimaksud tergambarkan dengan jelas pada sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebelum proklamasi kemerdekaan.

Pada perjalanan berikutnya, terutama pada masa praktik demokrasi liberal, konflik ideologis tentang dasar negara muncul kembali dengan sengit. Ada tiga ideologi yang bersaing, yaitu Islam, Nasionalis dan Sosialis. Kelompok pengusung ideologi Islam yang berhadapan dengan kelompok nasionalis menempati porsi perdebatan paling besar. Realitas selanjutnya, perdebatan dalam sidang-sidang Majelis Konstituante itu tidak menemukan titik temu. Hal inilah yang menyebabkan Soekarno mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD1945 dan sekaligus membubarkan Konstituante.


Sesuatu yang mengherankan kemudian khususnya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tokoh-tokoh umat Islam di panggung politik Nasional tidak lagi mengusung ideologi Islam sebagai ideologi Negara kecuali hanya sebagai slogan politik oleh segelintir orang yang biasa disampaikan untuk mengundang simpati rakyat pada musim kampanye Pemilu. Bahkan sejak era reformasi 1998, ideologi Islam sebagai ideologi bangsa dipandang tidak aktual lagi untuk diusung dan diwacanakan.[1] Mengapa demikian? Pertanyaan inilah yang akan dicari jawabannya dalam makalah ini.

Makalah ini pertama-tama akan membahas panjang lebar perjalanan historis umat Islam merumuskan wawasan kebangsaan, yang dari sana akan diambil butir-butir untuk menjelaskan pembahasan berikutnya yakni sintesis nasionalis ‘neutral agama’ (nasionalis sekuler) dan Islam, baru dilanjutkan dengan nasionalisme religius, umat Islam dan masa depan bangsa. Makalah ini diakhiri dengan simpulan tulisan yang ditempatkan pada bagian penutup.




II.    Perumusan Wawasan Kebangsaan: Perspektif Historis

Secara formal, kebangsaan Indonesia di perdengarkan pertama kali pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.[2] Namun, jika dirujuk masa-masa yang lebih jauh, benih-benih kebangsaan Indonesia (Nasionalisme Indonesia) itu telah ada pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Pasca Majapahit, wilayah Nusantara terbagi-bagi kepada wilayah kekuasaan kesultanan atau kerajaan Islam. Berbarengan dengan itu, Belanda masuk ke Indonesia dengan dalih perdagangan pada 1596, dan kemudian sejak 1602 melakukan penjajahan sistematis (imperialis) khususnya pada abad ke-17 dan 18.[3] Penjajajahan sistematis itu dimulai ketika VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang didirikan pada Maret 1602 mulai melaksanakan kegiatannya yang tidak saja pada usaha perdagangan, tetapi juga  kegiatan politik di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara.[4] Di satu sisi, penjajahan sangat merugikan Nusantara, tetapi penjajahan memberi dampak kepada bersatunya kerajaan-kerajaan Islam untuk suatu negara bangsa, yakni Indonesia.[5]

Pada awal abad ke-19, kekuasaan kesultanan praktis tidak berdaya lagi menghadapi kekuatan-kekuatan koloni Belanda.[6] Wajah baru pergerakan melawan imperialis Belanda bermunculan dalam bentuk pergerakan keagamaan dan intelektual yang dipelopori oleh anak-anak muda terdidik (kelompok intelektual). Berbarengan dengan itu, situasi global, terutama di neger-negeri Islam yang mengalami penjajahan Barat, sudah lebih dulu mencari bentuk perlawanan baru melalui gerakan intelektual. Bahkan, Mesir, Aljazair, umat Islam di anak benua India, dan lain-lain telah melakukan langkah-langkah perlawanan massif yang memunculkan nasionalisme baru yang belakangan sangat efektif melawan kolonialisme. Dinamika global dimakusd ternyata berpengaruh terhadap gerakan-gerakan perlawanan baru di Nusantara.

Pada awal abat ke-20, tumbuh organisasi-organisasi sosial keagamaan dan pendidikan, yang memberi dampak kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia dan juga perlawanan terhadap imperialisme Belanda.[7] Awalnya adalah pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, kemudian disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia. Perkembangan selanjutnya lahir organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor tahun 1909, dan di Solo 1911, Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat tahun 1911, Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1912, Persatuan Islam (Persis) di Bandung tahun 1920-an, Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya tahun 1926, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung Bukittinggi tahun 1930, dan partai-partai politik seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padangpanjang tahun 1932 yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.[8]

Sungguhpun gerakan pendidikan dan sosial keagamaan ini tumbuh dalam wadah umat Islam, namun realitasnya gerakan tersebut memiliki pengaruh dan peran dalam mempersiapkan suatu Indonesia yang merdeka. Ideologi politik yang menyemangati gerakan-gerakan Islam ini adalah pembebasan Nusantara dari penjajahan Belanda yang nota bene adalah kaum kafir.

Sementara itu, hampir dalam waktu yang bersamaan, kolonial Belanda menjalankan kebijakan politik etis. Suatu bentuk kebijakan politik yang memberi ruang kepada bumi putra, terutama kalangan priyayi dan bangsawan untuk menikmati pendidikan. Hal ini dilakukan Belanda dengan cara mendirikan sekolah-sekolah formal seperti HIS, MULO, STOVIA, dll.[9]

Pendidikan yang diberikan oleh Belanda tersebut pada gilirannya membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang mengalami penindasan, kemiskinan dan kebodohan selama bertahun-tahun di bawah koloni Belanda, pada saatnya mendorong semangat dan perjuangan mereka untuk mengambil peran dalam perjuangan bagi kebebasan (kemerdekaan) bangsa Indonesia dari penjajahan. Gerakan yang terorganisir didirikan, seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya.[10] Gerakan-gerakan keagamaan Islam dan organisasi-organisasi kaum terpelajar inilah selanjutnya yang membangun karakter nasionalisme bangsa dalam pengertian modern.[11] Namun, nasionalisme yang dikembangkan oleh gerakan dan organisasi Islam dan kaum terpelajar dimaksud baru dalam pengertian etik, yakni membangun visi, karakter dan paham kebangsaan. Buktinya, gerakan atau organisasi dimaksud tidak diarahkan untuk berhadapan dengan Belanda dipanggung politik. Dengan demikian, peran yang dimainkan baru sebatas penyadaran dan pendidikan politik bagi masyarakat terjajah.

Dalam waktu bersamaan, sebagian tokoh muda melihat bahwa nasionalisme etik perlu dirubah menjadi nasionalisme dalam pengertian politik. Tokoh muda muslim yang secara langsung mengambil peran yang demikian adalah HOS Tjokroaminoto. Hal ini dilakukannya ketika H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan Sarekat Dagang Islam (SDI) kepadanya pada bulan Mei 1912.

HOS Tjokroaminoto mengubah nama dan sifat organisasi serta memperluas ruang geraknya.[12] Setelah berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI), ia pun merubah orientasi organisasi yang dipimpinnya itu menjadi organisasi politik pelopor nasionalisme Indonesia. Pada dekade pertama, SI mengejewantah menjadi organisasi politik besar yang merekrut anggota dari berbagai kelas dan aliran yang ada kala itu. Pekerjaan ini dengan mudah dilakukan, karena ideologi bangsa ketika itu belum beragam. Ideologinya satu, yakni persatuan dan anti-kolonialisme. Sedangkan visi perjuangan kebangsaannya adalah pembebasan bangsa dari penjajahan.[13]

SI berupaya memperjuangkan lahirnya pemerintahan yang berdaulat bagi penduduk Indonesia yang bebas dari kolonial Belanda. Namun dibelakang hari, cita-cita yang besar ini tidak dapat digarap oleh SI. Hal ini sebagai akibat perpecahan yang terjadi ditubuh organisasi yang dihuni oleh anggota yang plural tersebut yang disebabkan oleh perbedaan ideologis dan visi serta misi perjungan, yakni Islam, Komunisme, dan belakangan Nasionalisme “netral agama”.[14]

Pekembangannya kemudian, pertentangan ideologis justeru semakin ramai dengan munculnya golongan Nasionalis “sekuler” atau “neutral agama” di tubuh SI. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi pergerakan Nasional. Konflik ideologis tersebut membuat SI semakin hari mengalami kemerosotan, sementara partai-partai nasionalis sekuler berkembang dengan pesat. Dengan demikian, pada 1920-an ada tiga jenis ideologi yang mengemuka, yaitu Islam, Komunisme, dan Nasionalis “sekuler” atau Nasionalis “netral agama”.

Sejak SI pecah, dalam waktu yang relatif panjang, konflik ideologis tidak dapat didamaikan. Hanya saja menjelang 1930-an, beban konflik ini berkurang, karena PKI dinyatakan oleh Belanda sebagai partai terlarang dan tokoh-tokohnya diasingkan ke Digul. Hal ini dilakukan Belanda, karena PKI melakukan pemberontakan di Jawa Barat pada 1926 dan di Sumatera Barat pada 1927.[15]

Meskipun dinamika perjuangan kebangsaan mengalami masa-masa krusial, namun semangat ideologi persatuan dan anti-kolonialisme tidak pernah mati. Buktinya, walaupun selalu berakhir dengan kegagalan, tetap ada usaha-usaha mempersatukan kembali partai-partai politik yang beragam aliran ideologi tersebut. Hambatan melakukan integrasi partai politik ini terutama karena sikap dan tindakan Belanda yang tidak memberi ruang gerak bagi gerakan kebangsaan dan tidak bersedia mengadakan dialog.

Dalam konteks hubungan Islam dengan kenegaraan atau nasionalisme, masa-masa ini adalah fase dialektika pemikiran yang penuh ujian dan tantangan. Tesis tokoh-tokoh Islam (terutama HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hassan, dan M. Natsir) tentang integrasi keislaman dan kebangsaan (atau nasionalisme) yang dipertahankan selama ini, ditantang dengan keras oleh golongan Nasionalis “neutral agama”. Mereka menuduh Islam sebagai “biang kerok” perpecahan di tubuh SI, dan H. Agus Salim dituduh menjerumuskan SI menjadi partai pendeta yang menelantarkan kepentingan sosial dan ekonomi rakyat demi agama.[16] Tidak hanya itu, tuduhan yang dilontarkan merambah ke soal agama murni, seperti poligami dan ibadah Haji, bahkan sampai ke soal sentimen agama. Tentang sentiment agama, mereka mengatakan bahwa Islam Arab sebagai suatu bentuk imperialisme yang tidak kalah jelek dari imperialisme Belanda.[17]

Tokoh-tokoh umat Islam di panggung politik merespon segala tuduhan itu. Tokoh yang paling intens memberi respon adalah HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hassan, dan M. Natsir. Sebagai contoh, respon H. Agus Salim yang termuat dalam harian Hindia Baroe yang terbit pada awal 1925. Salim mengatakan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara ini sebagai kekuatan pembebas yang positif dan konstruktif. Islam menurut Salim mengajarkan prinsip persamaan dan persatuan dikalangan rakyat, meskipun benteng feodalisme yang sudah mengakar tidak dapat dirubuhkan oleh Islam secara tuntas. Lebih jelasnya Salim berkata, “Persatuan dibawanya, persamaan dididiknya, derajat orang banyak diangkatnya tinggi, sungguhpun sukar sangat merobohkan pagar-pagar pembagian kasta, bawaan agama dulu itu.”[18] Dengan demikian, Salim berpandangan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia ingin menciptakan suatu masyarakat yang demokratis, di mana harga diri dan martabat manusia tidak ditentukan oleh ikatan darah, suku dan koneksi, tapi semata-mata oleh capaian pribadi masing-masing sebagai makhluk yang merdeka.[19]

Meskipun perjuangan dipanggung politik mengalami benturan keras oleh karena perbedaan ideologi, namun tokoh-tokoh umat Islam tidak kehilangan semangat dalam memperjuangkan suatu Indonesia yang merdeka. Tahun 1937, organisasi Islam bersatu dalam sebuah konfederasi, MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia). Dua tahun kemudian, tepatnya 1939, partai-partai politik membentuk sebuah federasi yang bertujuan membangun sinergi partai dalam memperjuangkan kemerdekaan. Federasi partai itu bernama GAPI (Gabungan Politik Indonesia). GAPI mengeluarkan seruan politik agar Indonesia berparlemen. Dengan cara itu, maka akan ada wakil bangsa yang secara legal dan formal memperjuangkan kepentingan bangsa dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, GAPI juga mengeluarkan maklumat yang melarang pemuda Indonesia ikut serta dalam pertahanan rakyat yang diorganisir Belanda, dan juga melarang mendonorkan darah bagi tentara kolonial.[20] Kelahiran GAPI tentu suatu titik terang dan dapat dipandang sebagai sintesa kebuntuan perjuangan sebagai akibat konflik ideologis.

Gebrakan GAPI ini semakin mempertegas sikap politik bangsa yang menentang penjajahan Belanda.  Sementara Belanda sedang dihadapkan kepada masalah global, yakni Perang Dunia II, tokoh-tokoh GAPI berhasil membangun komitmen bangsa memperkuat daya penekan politik terhadap kolonial Belanda, yang sudah tentu berdampak terhadap melemahnya otoritas dan moral politik kaum penjajah. Dalam kaitan dengan konflik ideologis yang terjadi, perlu ditegaskan di sini, bahwa GAPI tidak berhasil menjadi wahana meredam konflik ideologis dimaksud, meskipun dalam wadah GAPI, partai-partai politik merapatkan barisan.[21]

Soekarno sebagai icon pergerakan kebangsaan, pada awal 1940-an mencoba masuk ke dalam wacana perdebatan ideologis tersebut. Ia melontarkan pemikiran-pemikirannya dengan maksud memberi pencerahan bagi tokoh-tokoh Islam tentang hubungan Agama dan Negara sehingga konflik ideologis dapat redam.[22] Dengan cara ini Soekarno mempertunjukkan sikapnya yang membela kaum Nasionalis, sekali gus juga, ia dipastikan berpandangan bahwa umat Islamlah sesungguhnya “biang kerok” berbagai konflik ideologis dimaksud.[23]

Sebagai contoh, dalam manajalah Pandji Islam, Soekarno menulis: “…bagaimana Tuan mengerjakan Tuan punya ideal itu di negeri yang tuan mau adakan demokrasi di situ dan di mana penduduk sebagian tidak beragama Islam, sepertinya Turki, India, Indonesia, di mana miljunan orang beragama Kristen atau agama lain, dan di mana kaum intelektuil umumnya tidak berfikir Islamitis”.[24]

Lalu Soekarno bertanya:

Kalau mereka tidak terima konstitusi Islam, apakah mau paksa saja kepada mereka, dengan menghantam Tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka mesti ditundukkan kepada kemauan Tuan itu? Ai, Tuan mau main dictator, mau paksa mereka dengan senjata bedil dan meriam? Kalau mereka tidak mau tunduk pula, bagaimana? Tuan tokh tidak mau basmi mati mereka itu habis-habisan secindel abangnya karena zaman sekarang adalah zaman moderen, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu.[25]

Bagi Soekarno, di negeri seperti Indonesia yang plural, ada pilihan antara “persatuan staat-agama, tetapi zonder (tanpa) demokrasi, atau demokrasi, tetapi staat dipisahkan dari agama”. Ia berpendapat bahwa ajaran Islam dapat saja mempengaruhi undang-undang, tetapi harus melalui suara terbanyak di parlemen. Kalau mayoritas wakil rakyat yang terpilih bukan muslim, itu berarti “Tuan punya rakyat belum rakyat Islam!”[26]

Namun, dalam banyak kesempatan lain, Soekarno memuji Kemal Attaturk yang berekperimentasi membangun politik Turki dengan memisahkan agama dari Negara. Ia berharap, Turki menjadi model bagi Indonesia merdeka.

Soekarno, tidak saja mendapat serangan (kritik) dari tokoh-tokoh  politik muslim seperti M. Natsir, tetapi juga dari Naddlatul Ulama. Dalam Berita Nahdlatoel Oelama,  No. 20, 15 Agustus 1940 dinyatakan sebagai berikut:

Ir. Soekarno mengira-ngirakan tjara berlakoenja tjita-tjita oemat Islam jang menginginkan staat Islam itoe begini:

Ada…malaikat toeroen dari langit menoejoe roemah salah seorang Kiai totok.

Dengan kekoeatan malaikat ini, si Kiai merentjanakan satoe grondtwet oentoek Indonesia. Soekarno kewatir, kalau-kalau Kiai ini menuliskan di dalam fasal satoe atau fasal doeanja: Bahwa staat Indonesia adalah staat Islam.

Saudara kita orang Bali dipanggil oleh Kiai kita diatas, ditanja: Maoe terima, ataukah tidak? Kalau tidak, inilah…bemmm senapang sang Kiai berdentoem!

Sesoedah grondwet itoe “beres”, dan moesoeh-meosoehnja soedah habis dibedil semuanja, jang mana, itoe grondwet tidak berbeda djaoeh dari Minhajeol Qawim atau sjarah Zoebad, dalam mana dipaparkan sampai terang tentang…nadjis meoghallazhah, najis muchaffafah, dan bagaimana tjaranja mengedarkan…gaharoe dan kemenjan, dan mana yang afdal: Soedekah atau misik; model sorban minister minister dan joebah Qadli, dan tidak diloepakan “kewajibannja” agha-agha (pendjaga harim) dan tjara-tjaranya memandikan dan mengafankan… Soekarno.Kiai perantjang grondwet “ultra-modern” itoe laloe oendang Kiai Totok sahabatnja boeat dinobatkan menjadi Chalifah dan beberapa orang mendjadi waziernja.

Sesoedah masing² doedoek didjabatnja, rentjana moelai diatoer! toko² besar mesti ditoetoep, sebab semuanja itoe, meloepakan manusia pada Zikroe’llah. Tampar² (tali²) pandoe mesti diganti dengan tasbih, troempetnya digantikan dengan siwak dan tidak boleh diloepakan tiap² station spoor mesti sedia pendoepaan, tiap² spoor datang mesti kemenjani, dan dibatjakan Chizboelbahar, oentoek keselamatannja enz enz. Itoelah staat Islam kata Soekarno![27]

Meskipun kritikan itu berisi nada gurauan, tetapi sesungguhnya itu adalah bentuk kritik yang keras yang dialamatkan oleh Nahdlatul Ulama kepada Soekarno. NU menuduh Soekarno hendak mengenyampingkan umat Islam dari cita-cita kenegaraan Indonesia merdeka. Tentang pernyataan Soekarno supaya umat Islam memperjuangkan cita-cita kenegaraannya melalui parlemen, NU memberi respon sebagai berikut:

Djikalaoe Soekarno tidak bitjara diatas awan ideal, dan hendak bitjara diatas bumi kenjataan, boemi reëel, ia reëel dan sekali lagi reëel hendaklah Soekarno memperhatikan sikap oemat Islam didalam Kongres Ra’yat Indonesia tempoh hari.  Sekalipoen Indonesia berisi 90% oemat Islam, namoen tidak ada satoe wakil Islam jang menoentoet soepaja Parlement jang ditjita-tjitakan itoe parlement Islam. Bahkan dikala membicarakan bendera persatoean, tidak ada jang mengemoekakan toentoetan soepaja bendera itoe bendera…Islam.[28]

Pada 1942, dinamika politik mengalami perubahan. Jepang datang ke Indonesia setelah berhasil mengusir Belanda dengan kekuatan bersenjata dari bumi Indonesia. Pada mulanya, masyarakat Indonesia menganggap Jepang sebagai “dewa” penyelamat atau penolong. Hal ini terjadi karena janji muluk Jepang yang mengatakan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Perkembangannya kemudian, Jepang mulai mepertontonkan keganjilan-keganjilan. Misalnya pemaksaan kepada masyarakat Indonesia untuk memberi penghormatan dengan cara membungkukkan badan ke arah Kaisar Jepang pada waktu-waktu tertentu, mobilisasi sumbangan dana dan tentara rakyat untuk pertahanan, yang nota bene adalah persiapan Jepang untuk melawan tentara sekutu, dan sebagainya.

Kenyataan ini menyadarkan anak-anak bangsa, bahwa Jepang sesungguhnya adalah imperialis baru yang lebih tidak beradab dari Belanda. Meski demikian, satu hal penting yang perlu dicatat bahwa kedatangan Jepang memberi energi baru bagi partai-partai Islam yang sebelumnya mengalami kemunduran. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan Nasionalis “sekular”, dan mengenyampingkan pemimpin tradisional (raja dan bangsawan lama). Jepang berpendapat bahwa organisasi-organisasi Islamlah yang sebenarnya mempunyai massa yang patuh, dan dengan pendekatan agama, penduduk Indonesia mudah dimobilisasi.[29]

Pandangan inilah yang mendasari kebijakan politik Jepang yang memperkenankan organisasi-organisai Islam meneruskan kegiatannya, sementara organisasi-organisasi non-keagamaan tidak mendapat perhatian Jepang.

Tahun 1943 MIAI dibubarkan oleh Jepang karena dianggap tidak loyal, kemudian diganti dengan lembaga politik yang justru lebih kapabel dan loyal kepada Jepang, yaitu Masyumi (Madjilis Syuro Muslimin Indonesia). Lembaga ini menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya saja, Jepang membatasi varian muslim yang boleh menjadi anggotanya. Realitasnya hanya Muhammadiyah dan NU yang diperbolehkan menjadi anggota Masyumi. Tentu saja kebijakan politik Jepang ini membuat organisasi sosial keagamaan keagamaan yang lain merasa tidak senang. Meskipun Jepang menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok keagamaan besar dan memfasilitasi pendirian lembaga politik, tetapi umat Islam hanya mendapat sedikit keuntungan selama pendudukan Jepang.[30]

Dalam konteks ideologi politik, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu tahun 1945, perbedaan antara pendukung ideologi Islam dengan Nasionalis sekular tetap menganga lebar. Hal ini tentu diakibatkan oleh dikotomi Islam-nasionalis yang dipelihara oleh Jepang, terutama tindakan Jepang yang membuat front-front tentara yang berbeda afiliasinya. Hizbullāh dan Sābilillāh berafiliasi ke ormas Islam, sedangkan tentara nasional (PETA) dikuasai oleh nasionalis yang “neutral agama”.[31] Namun perlu dicatat, persamaan pendapat yang terdapat di kalangan tokoh nasionalis Indonesia ― dari Soekarno hingga Mohammad Hatta, dari Supomo hingga Ki Hadjar Dewantara ― lebih mementingkan “kebersamaan”, kolektivisme, prinsip kekeluargaan dan gotong-royong dari pada individualisme, intelektualisme, materialisme dan demokrasi parlementer model Barat, serta keyakinan bahwa kebijaksanaan (kearifan) tradisional Indonesia bisa digunakan sebagai penunjuk jalan  untuk memilih hal-hal yang baik yang bisa diserap dari dunia Barat.[32]

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, tahun 1945 terjadi perdebatan hangat mengenai: Haruskah Indonesia mengambil seluruh batas-batas wilayah Negara Hindia Belanda? Kepala negaranya nanti, apakah seorang presiden atau raja atau imam? Negara itu sebaiknya merupakan negara Kesatuan atau Federasi? Lalu, bagaimana dengan minoritas keturunan Tionghoa atau Arab?[33]

Dari sekian topik perdebatan itu, yang paling seru dan berdampak pada jurang pemisah antara kelompok Islam dan Nasionalis adalah tentang integrasi Islam dalam Republik. Menurut Saifuddin Zuhri, Negara nasional bagi pendukung Negara Islam dipandang sebagai inkarnasi Kerajaan Majapahit, sedangkan bagi pendukung negara sekular, negara Islam adalah sama dengan Arab Saudi yang melakukan potong tangan bagi pelaku pencurian.[34]

Patut dicatat bahwa, meskipun mengalami perdebatan seru tetapi perdebatan dimaksud senantiasa mengerucut kepada tujuan terbentuknya sebuah negara merdeka dan berdaulat. Pada bulan April 1945, di dalam “Panitia 62” untuk persiapan kemerdekaan (Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai atau BPUPKI) yang ditugaskan menyusun Undang-Undang Dasar bakal Republik, masalah bentuk negara kembali diperdebatkan. Dalam institusi BPUPKI inilah untuk pertama kali Soekarno meletakkan dasar-dasar bakal negara Indonesia, sebagaimana diperlihatkan nanti.

Menurut kesaksian Kiai Masykur, umat Islam memberi sumbangan yang besar terhadap definisi Pancasila.  Menurutnya, sebuah diskusi yang panjang terjadi akhir Mei 1945 antara Soekarno dengan tiga pemimpin muslim, yaitu Kiai Wahid Hasyim, Kiai Masykur dan Kiai Kahar Muzakkir. Berikut transkripsi kisahnya:

…di rumahnya Mohammad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.

-Lantas Bung Karno Tanya: ‘Ada apa?’

-‘Kita ini ingin dasar Islam, tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak pecah?’

-Bung Karno katakana: ‘Coba kita Tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini?’

-Yamin mengatakan: ‘Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan. Minta keselamatan, minta apa begitu.’

-Lantas Bung Karno katakana: ‘Nah! Ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan,’ Kata Bung Karno, ‘Kalau begitu, negara kita dari dulu itu sudah ketuhanan! Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman ketuhanan. Mufakat? Bangsa ketuhanan? Tulis! Tulis! Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?’

-Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau waktu makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai² kalau sama² menemani.’

-Kalau begitu, ‘kata Bung Karno, ‘bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang perikemanusiaan. Satu sama lain suka menolong. Kerjasama, perikemanusiaan.’

-Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita…: ‘Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah putrid Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya,  kalau salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya, benar, benar ini memang.

-Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: ‘Siapa dulu…?

-Kahar Muzakkir lontarkan: ‘Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang, dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan yang baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi.’

Lantas, sampai kepada orang Indonesia itu dulu, orang Jawa itu dulu, suka memberikan apa² sama tetangganya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini, kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini, kan begitu. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah, minta garam pada tetangga… ini diusulkan oleh Bung Karno… Ini namanya tolong-menolong. Gotong Royong. Lantas ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai kepada ada lima itu. Begini, akalu ada apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain Tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dikatakan oleh Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita dulu itu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya mufakatan, kalau mau menamakan anaknya dinamakan siap mufakatan, yang diambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakana musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa itu dulu, kalau diminta apa², minta apa² dikasihkan. Sampaian minta apa, biar disini habis diberikan. Solidaritas sosialnya. Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban zakat, kita memberikan sama fakir-miskin, yang kaya memberikan ke fakir miskin, jadi sampai kesimpulan lima itu. Kesimpulan lima tadinya mau ditambah, tapi kita umat Islam mengatakan, rukun Islam itu lima, jadi lima ini saja bisa dikembangkan satu per satu, tetapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima. Ramai… dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai subuh. Ini dijadikan oleh Bung Karno Pancasila, menjadikan penggantinya dasar Islam Negara. Kita umat Islam mengatakan kalau dasar Islam itu isimnya diambil, kalau Pancasila itu musamahnya yang diambil… Sila² itu musamahnya Islam. Lima ini kita umat Islam, ini sebagai musamahnya, isi Islam, isim Islam, musamahnya, Pancasila. Saya, Wahid Hasyim…

-Lantas Bung Karno katakan: ‘Mau saya usulkan, Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau!’ (Kiai Masykur ketawa imitasi Bung Karno), ‘Awas!’

Kita tak boleh bantah. Lantas diusulkan Bung Karno itu. Lima sila itu. Saya piker waktu itu dengan kawan², Pak Yusuf Hasyim apa, kalau dasar Islam belum tentu menjalankan Islam. Kadang² negara ada tokoh² Islam, atau prakteknya tidak Islam. Ini kita ambil musamahnya, isimnya kita tinggalkan.[35]

Dalam perbincangan tersebut di atas, nampak bahwa ketiga pemimpin muslim lebih mementingkan pemikiran tentang persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan banyak suku bangsa yang tersebar di ribuan pulau dari pada memaksakan syariat. Kelihatan bahwa mereka lebih mementingkan pendekatan “substansialis” dari pada “skripturalis” atau literalis. Artinya lebih mementingkan nilai-nilai keislaman, dari pada simbolisme keislaman. Jika benar diskusi dimaksud berlangsung seperti yang dikisahkan Kiai Masykur, berarti Pancasila benar-benar tampak sebagai perpaduan konsep nasionalisme dan Islam.[36]

Namun dalam sidang-sidang BPUPKI selanjutnya, yakni pada tanggal 1 Juni 1945, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, menurut Hatta sesumbar melemparkan pertanyaan tentang dasar negara. Pertanyaan itulah yang selanjutnya memunculkan perdebatan sengit antara golongan nasionalis dengan Islam. Pada sidang hari pertama, Soekarno dengan panjang lebar berpidato tanpa teks merespon pertanyaan Dr. Radjiman dimaksud, yang kemudian dikenal dengan nama Lahirnya Pancasila. Dalam pidato 1 Juni 1945 yang sangat terkenal, ia mengusulkan agar negara Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yaitu: 1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme, peri-kemanusiaan, 3) Permusyawaratan, perwakilan, mufakat, 4) Kesejahteraan, 5) Ke-Tuhanan.[37]

Pidato Soekarno itu mendapat sambutan yang luar biasa dari para anggota, dan ini dipercayai sebagai tanda persetujuan. Sementara golongan Islam mengusulkan agar Islam yang dijadikan dasar negara. Pada sidang selanjutnya, yakni pada hari keempat, Pancasila secara formal dimunculkan. Dengan demikian ada dua alternatif dasar negara yang dimunculkan. Kejadian ini adalah pertama kali dalam sejarah konstitusi bangsa ini, dimana Islam berhadapan dengan Pancasila. Pergumulan antara Islam dan Pancasila selama beberapa hari berlangsung dengan tendensi yang sangat tinggi. Masing-masing mencoba bertahan pada pendiriannya, meskipun golongan Islam sebenarnya jauh dari keadaan siap secara konsepsional  untuk melakukan perdebatan konstitusional.[38] Dalam perdebatan itu, harus jujur diakui bahwa tidak ada yang menandingi konsepsi Seokarno yang dirumuskan dalam bentuk Pancasila itu.

Sebenarnya, wakil umat Islam dalam BPUPKI itu hanya berkisar 20%. Hanya saja suatu kenyataan sosiologis yang tidak dapat dibantah bahwa umat Islam di negeri ini mayoritas. Dikhawatirkan bahwa bila data sosiologis ini diabaikan, maka konflik politik yang parah akan terjadi. Oleh karena itu forum sidang BPUPKI tidak serampangan memutuskan dasar negara Indonesia, dan dicarikan suatu modus vivendi untuk mendekatkan pendirian masing-masing pihak.

Modus vivendi itu dikerjakan oleh Panitia Sembilan[39] yang diketuai oleh Soekarno dan Hatta. Panitia Sembilan dibentuk pada mulanya adalah untuk merumuskan kembali isi pidato Soekarno pada 1 Juni itu.

Setelah Panitia Sembilan bekerja keras, akhirnya sebuah solusi politik, sekalipun hanya berumur 57 hari, dalam bentuk Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dapat disepakati. Dalam piagam ini, Pancasila sebagai dasar negara telah diterima, tapi sila Ketuhanan ― yang dalam pidato Soekarno diletakkan paling akhir ― ditempatkan sebagai sila pertama, dan diikuti oleh anak kalimat: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat  strategis konstitusional ini tidak saja ditempatkan pada Pembukaan UUD 1945, tapi juga dalam pasal 29 ayat 1.[40]

Dalam perjalanan berikutnya, pihak Kristen ternyata tetap keberatan dalam menerima Piagam Jakarta, sekalipun anak kalimat setelah Ketuhanan, tidak mengikat mereka. Iklim merasa tertekan ini telah memaksa diadakan rapat mendadak antara Bung Hatta, Ki Bagus Hadikusuma, Teuku Muhammad Hasan, dan Kasman Singodimedjo di Jakarta pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Hasil rapat yang hanya sekitar 15 menit, menghasilkan kesepakatan untuk menghilangkan tujuh kata setelah Ketuhanan, tetapi atribut strategis “Yang Maha Esa” dikukuhkan sebagai penggantinya. Bung Hatta menulis, “Pada waktu itu kami menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[41] Lebih eksplisit Bung Hatta berkata:

…tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariah Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu, lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariah Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Al-Quran dan Hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.[42]

Apa yang dikemukakan oleh Bung Hatta itu kelihatannya adalah solusi cerdas terbaik bagi bangsa Indonesia. Suatu jalan yang terang dan bertanggung jawab. Sebab, kalau pun anak kalimat Ketuhanan yang tujuh kata itu dipaksakan maka dapat berakibat fatal bagi Indonesia yang baru satu hari menyatakan kemerdekaannya. Lagi pula, kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 berada di bawah naungan UUD 1945 sebagaimana yang dirumuskan dan disepakati pada 22 Juni 1945. dengan demikian, perubahan yang terjadi pada 18 Agustus 1945, sebagaimana Bung Hatta telah menyatakannya, tidak akan dapat menghapus benang merah sejarah itu. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap Pancasila barulah benar jika ditempatkan pada pelataran jejak sejarah yang faktual. Di sisi lain, perlu juga dikemukakan bahwa mengungkit-ungkit Pancasila sebagai dasar negara ― yakni Pancasila historis ― adalah perbuatan sia-sia dan hanyalah akan membawa konflik berkepanjangan. Selain itu, pandangan ceroboh yang bermaksud menggantikan agama dengan Pancasila, adalah tindakan yang sia-sia dan tidak akan pernah berhasil.[43]

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1955, Islam dan Pancasila kembali mengalami pergumulan. Dasar negara kembali diperdebatkan. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi Pemilu 1955 yang diamanahi tugas membentuk parlemen dan konstituante. Semula diharapkan, bahwa Majelis Konstituante hasil pemilu itu akan mampu membuat UUD yang permanen untuk menggantikan UUD yang pernah dimiliki (UUDS 1950). Tapi harapan itu kandas, karena para anggota konstituante ketika melakukan perdebatan mengenai dasar negara lebih banyak dikuasai oleh emosi dari pada pemikiran yang jernih.[44] Sayangnya sebelum suatu kompromi tercapai, kekuatan ekstra parlementer, yaitu militer bersama Soekarno melakukan intervensi, sehingga akhirnya Soekarno membubarkan Majelis dengan sebuah dekrit pada 5 Juli 1959.

Materi yang diperdebatkan tidak banyak berbeda dengan apa yang diperdebatkan dalam BPUPKI pada 1945. Bedanya terletak pada kenyataan bahwa anggota Majelis adalah anggota yang dipilih lewat Pemilu yang demokratis, tidak hanya diangkat atau dicomot seperti keanggotaan BPUPKI. Di samping itu jumlahnya lebih besar, yaitu sekitar 520. Selain perdebatan mengenai dasar negara yang ternyata masih tetap alot, pembicaraan mengenai materi-materi yang lain berjalan lancar.[45]

Dalam sidang Majelis Konstituante ada tiga draft yang diusulkan untuk menjadi dasar Negara, yaitu Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi. Draft yang terakhir hanya didukung oleh Partai Buruh dan Partai Murba yang memiliki anggota sangat kecil di Majelis. Oleh karena itu, yang akhirnya berhadapan alot adalah Pancasila dan Islam. Wakil-wakil Islam saat itu lebih siap dalam konsep dan argumentasi ketimbang wakil-wakil Islam pada BPUPKI, karena wakil-wakil kali ini adalah kombinasi kekuatan dunia pesantren dan dunia intelektual berpendidikan umum. Di antara tokoh-tokoh yang menonjol dari pihak Islam adalah Mohammad Natsir, K.H. Saifuddin Zuhri, Z.A. Ahmad, Osman Raliby, K.H. Syukri Ghazali, Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, K.H. Masykur, Kasman Singodimedjo, Hamka, Muhammad Taher Abubakar, dan Syamsiyah Abbas. Semenatara dari pendukung dasar Pancasila di antaranya yang terkemuka adalah Ruslan Abdulgani, St. Takdir Ali Sjahbana, Soedjatmoko, Prof. Suripto, Arnold Mononutu, Njoto, Karkono Partokusuwo, dan Suwiryo.

Gambaran perdebatan dalam sidang konstituante misalnya sebagai berikut: Mohammad Natsir mengatakan bahwa Pancasila itu adalah sekular dan netral. Bila kenetralannya hilang, maka raison d’etre-nya tidak ada lagi. Pendapat ini direspon oleh Ruslan Abdulgani dengan mengutip pendapat Kahin, bahwa “Pancasila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan Islam modern, ide demokrasi, Marxisme, dan gagasan demokrasi asli seperti yang dijumpai dalam komunalisme penduduk asli.”[46] Bantahan lain terhadap Mohammad Natsir juga datang dari Arnold Mononutu yang mengatakan bahwa Pancasila tidak benar bercorak sekular.

Penjelasan mengenai perdebatan anggota konstituante tentang kelebihan Islam dari Pancasila, A. Syafii Maarif menuliskan:

…Kasman Singodimedjo misalnya mengatakan, bahwa Pancasila itu tidak dapat dibandingkan dengan Islam, sebab Islam itu adalah serba sila. Dalam pada itu, Natsir memperingatkan umat Islam bahwa bilamana berpindah dari Islam ke Pancasila samalah artinya “melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa.” Pernyataan puitis dari Natsir ini disambut Mononutu dengan berucap: “Dari ideologi Pancasila ke negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat: melompat dari bumi, yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya sebagai manusia Indonesia yang volwaardig, ke ruang kosong, vacuum, tak berhawa.”[47]

Perdebatan alot tentang dasar negara, akhirnya hanya berlangsung sampai sidang yang berakhir 2 Juni 1959, tanpa tercapainya suatu keputusan. Hal ini berarti bahwa amanah yang diberikan kepada Majelis Konstituante untuk membuat UUD yang permanen gagal total. Pada hal sebetulnya sudah 90% pekerjaan tersebut rampung. Di tengah-tengah berlarutnya perdebatan itu, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan Konstituante serta menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian, Pancasila hasil kesepakatan Panitia Sembilan dinobatkan menjadi dasar negara, tapi dengan tetap mempertimbangkan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, dan juga merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan UUD tersebut.[48]

Berdasarkan uraian di atas, bangsa ini telah memiliki pengalaman dua babak melakukan perdebatan sengit tentang dasar Negar. Dalam kedua perdebatan itu, yang selalu berhadapan adalah Pancasila dan Islam. Menurut Maarif, sekiranya mereka berpikir seperti Hatta, maka perdebatan yang berlarut-larut itu tidak akan terjadi, dan kompromi politik akan mudah dicapai.[49]

Dalam perjalanan sejarah bangsa berikutnya, suara-suara ideologi Islam, pelan-pelan hilang dari panggung politik. Bahkan pada era reformasi ini, tidak ada satu pun partai politik Islam yang memperjuangkan negara Islam. Nampaknya, apa yang pernah terucap oleh Hatta benar-benar mengaktual dalam generasi bangsa hari ini.

III.         Sintesis Nasionalis ‘Neutral Agama’ dan Islam: Nasionalisme Religius

Perjalanan sejarah pembentukan ideologi dan wawasan kebangsaan Indonesia (Keindonesiaan) yang mengalami dinamika yang cukup pelik tersebut, menurut hemat penulis telah berhasil melahirkan suatu sintesis ideologi negara, yang khas Indonesia, yaitu nasionalisme yang berketuhanan. Istilah yang populer untuk ini adalah Nasionalisme Religius.

Nasionalisme Religius adalah sintesis Nasionalis ‘neutral agama’ dengan Islam. Disamping itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi seseuai dengan konteks kesejarahan pembentukan Nasionalisme Indonesia. Faktor dimaksud adalah kearifan tradisonal bangsa dan sosialisme-komunisme. Berdasarkan ‘ramuan’ berbagai faktor dimaksud, maka terbentuklah suatu Nasionalisme Indonesia yang berbeda dengan di tempat lahir nasionalisme yaitu Eropa Barat dan Amerika, dan bahkan ditempat lainnya.[50]

Hal lain yang membenarkan konsep nasionalisme yang ber-Ketuhanan (nasionalisme religius) tersebut adalah realitas empirik kepribadian para perumus Pancasila ― khususnya Panitia Sembilan. Selain golongan Islam, tokoh-tokoh golongan nasionalis  juga muslim (kecuali A.A. Maramis). Terhadap golongan nasionalis tersebut tentu  tidaklah adil jika mereka dituduh sebagai sekularis yang benar-benar netral agama; yang mengenyampingkan nilai-nilai agama dan keberagamaan bangsa ini. Alasannya, mereka adalah beragama Islam (muslim) yang telah menjalankan agama dan dibesarkan dalam pelataran nilai-nilai tradisional bangsa. Mereka itu adalah Soekarno, Hatta, Ahmad Subardjo dan Muhammad Yamin. Di samping itu, keempat tokoh bangsa yang disebut terakhir juga telah menunaikan ibadah Haji. Terlebih lagi, jika dilihat sosok Hatta (Wakil Panitia Sembilan), yang dikenal sebagai sosok muslim yang taat beragama. Oleh karena itu secara ekstrinsik, keislaman mereka tidak diragukan.[51] Para perumus yang lain, yaitu tokoh-tokoh muslim, tentu tidak diragukan lagi kemuslimannya. Mereka itu adalah Abikusno Tjokrosudjoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Wahid Hasyim.

Panitia Sembilan itu telah merumuskan konsep-konsep dasar yang dapat dianalogikan dengan semacam kalimatun sawa` (doktrin ideologi negara yang bersumber dari titik temu atau persamaan dari ideologi atau budaya yang berbeda) yang berfungsi menjamin kohesivitas sosial warga bangsa Indonesia yang plural.[52] Oleh karena itu, Pancasila dapat dipandang sebagai kalimatun sawā’ yang merupakan simpul-simpul nilai yang strategis yang sama-sama ada pada Islam, Nasionalis, Nilai-nilai Kearifan Bangsa, dan Sosialisme.

Keberatan pihak Islam pada masa-masa awal terhadap Pancasila, kelihatannya karena terjebak pada formalisme atau simbolisme agama,[53] ditambah dengan ketakutan tokoh-tokoh muslim dengan gebrakan Soekarno yang tertarik untuk mencontoh gerakan sekularisme politik Mustafa Kemal Attaturk di Turki pasca keruntuhan Daulah Usmaniyah.[54]

Setelah masa berlalu, barulah di era reformasi ini sejarah memperlihatkan dengan gamblang bahwa kekhawatiran tokoh-tokoh muslim itu sebenarnya tidak substantif. Sebab, Pancasila dan UUD 1945 telah menjamin kebebasan kepada setiap orang Indonesia menjalankan agama dan kepercayaannya. Artinya Negara memberikan perlindungan terhadap hak dasar memeluk suatu agama dan beribadah menurut agama yang dianut.[55] Oleh karena itu, yang pantas diwaspadai sebenarnya adalah implementasi yang menyimpang dari hak-hak keagamaan dimaksud.

Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa ketakutan yang berlebihan terhadap usulan ideologi Islam tentu berlebihan dan cenderung bersifat Islamofobia. Dikatakan demikian, karena mereka yang dengan keras menolak usulan negara Islam tidak pernah membaca secara komprehensif tentang isi syariat Islam yang berkaitan dengan kenegaraan. Realitas yang berkembang ketika itu, syariat Islam dipandang akan memasung hak-hak keagamaan non-muslim, dan implementasi hukum Islam dipandang tidak manusiawi, terutama soal potong tangan bagi pelaku pencurian.[56]

IV.       Nasionalisme Religius, Umat Islam dan Masa Depan Bangsa

Dewasa ini, nasionalisme religius adalah konsep dan karakter kebangsaan paling cocok dan relevan bagi negara Indonesia yang memiliki masyarakat plural (plural society). Sedangkan Pancasila adalah kalimah sawa` (titik temu) pluralitas agama, etnis dan budaya yang mengejewantah menjadi idelogi dan dasar negara. Sedangkan UUD 1945 adalah konstitusi dasar yang merupakan turunan senyawa Pancasila. Di atas falsafah nasionalisme seperti ini, setiap umat beragama dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta setiap etnis dan budaya dapat memainkan perannya dalam membangun bangsa.

Umat Islam sebagai warga bangsa terbesar di negeri ini memiliki kesempatan dan peluang yang terbuka lebar untuk berjihad (bersungguh-sungguh) mengisi Pancasila dengan nilai agama (atau nilai syariat Islam), dan begitu juga mengim-plisitkan nilai agama dalam penafsiran dan penerapan UUD 1945. Sumbangan dominan umat Islam dalam mengisi Pancasila akan dapat menjadikan Indonesia menjadi Muslim dalam arti etika atau substansial, bukan dalam pengertian formal atau simbolik sebagaimana keinginan masa lalu menjadi Negara Islam. Untuk menyebut contoh pengisian Pancasila dengan nilai Islam dimaksud adalah perintah Al-Qur`an tentang musyawarah (QS Ali Imrān/3: 159; Asy-Syurā/42: 38).[57] Perintah ini telah inhern dalam Pancasila dan UUD 1945 tanpa harus menyebut bahwa nilai musyawarah adalah nilai Islam.[58] Namun, upaya substansialisasi ini membutuhkan proses panjang.

Nurcholish Madjid menjelaskan:

Proses ini saya kira masih terus akan berlanjut, mudah-mudahan kadar reaktifnya semakin tidak berarti. Yang kita tunggu sekarang adalah proses pematangan (umat Islam, pen.). Insya Allah, kalau sudah diterima sebagai keyakinan yang merata untuk seluruh lapisan masyarakat, Islam akan menyatakan diri dalam perwujudan etis dan moral yang kuat. Sehingga nanti Indonesia tumbuh sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Ini bukan hanya masalah keyakinan, tapi juga keyakinan sosiologis, karena masyarakat Indonesia itu kan mayoritas Islam.[59]

Menurut Madjid, bahwa agama mayoritas di suatu bangsa, lalu menjadi basis etika bangsa itu, bukan suatu yang ganjil dan apa lagi dipandang tidak masuk akal. Di negara lain hal ini telah terjadi. Contohnya di Amerika. Madjid menjelaskan:

Civil Religion di Amerika itu sebetulnya dasarnya Kristen Protestan, yakni dari White Anglo Saxon Protestant (WASP). Di antara ide-idenya berasal dari Thomas Jefferson. Padahal ia sendiri bukan Kristen ortodoks. Dia seorang unitarianis-deis-universalis. Tuhan yang ditulis dalam deklarasi kemerdekaannya pun (kemerdekaan Amerika, pen.) adalah “The God of Nature” dan “Nature’s God”. Jadi tidak khas Kristen, karena Thomas Jefferson yang merenungkannya. Tapi begitu sampai ke masyarakat, ide itu mengalami Kristenisasi.[60]

Di bagian lain, Madjid menjelaskan:

AS adalah negera yang dipandang dari segi etisnya adalah negara Kristen yang Protestan. Malahan bisa disebut Protestan Putih dari kalangan Anglo Saxon. Tapi meskipun AS itu secara etis  itu sebuah negara Kristen, namun pada tingkat nasional, nilai-nilai dari Kristen itu diungkapkan dalam rumusan-rumusan universal, sehingga tidak lagi khusus dimengerti oleh orang Kristen, tetapi menjadi rumusan yang bisa disertai (dipahami, pen.) oleh orang lain. Artinya, walaupun itu diambil dari etika Kristen, tetapi ketika dijadikan nilai yang umum, maka orang Yahudi atau orang Katolik, atau orang Islam dapat turut menikmati. Misalnya kebebasan, hak pribadi, hak asasi, tertib hukum. Itu semua adalah pemunculan ke atas dari nilai-nilai khusus yang lahir dari agama.[61]

Oleh karena itu, Indonesia harus terus tumbuh sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Sebuah bangsa yang tumbuh dalam basis etika yang kuat akan terantar menjadi bangsa yang maju dan kuat. Masalahnya bangsa Indonesia adalah tergolong soft state; konsep baik dan buruk rada-rada kabur. Tidak ada etos furqān (pembeda antara yang benar dan yang salah). Menurut Madjid, hal ini terjadi karena cara penganutan agama sebagian besar umat Islam bersifat formal dan simbolik, yang terkungkung oleh kategori historis-sosiologis. Akibatnya simbolisme lebih dipentingkan dari pada substansi, misalnya Negara Islam atau Syariat Islam, atau embel-embel Islam lainnya. Sementara isinya tidak jarang bersifat kontraproduktif dengan nilai-nilai Islam yang benar.[62]

Substansialisasi nilai-nilai Islam yang telah diuniversalkan ― meskipun dalam ungkapan ― ke dalam Pancasila dan UUD 1945 ― adalah tantangan umat Islam masa kini dan masa datang.[63] Di sinilah dituntut kreativitas umat Islam warga bangsa ini terus-menerus, terutama kreativitas para intelektualnya. Dan ini pulalah yang menentukan corak nasionalisme bangsa di kemudian hari, yang akan menjamin kelanggengan, keutuhan dan kemajuan bangsa.

V.    Penutup

Dialektika Islam dan Nasionalisme dalam konteks sejarah konstitusionalisme  Indonesia telah melahirkan suatu nasionalisme yang berkarakter keindonesiaan, yakni nasionalisme berketuhanan (nasionalisme religius). Nasionalisme religius dimaksud adalah pengejewantahan nilai yang bersumber terutama dari Islam, nasionalisme modern, dan kearifan tradisional bangsa.

Bentuk nyata nasionalisme religius itu telah dirumuskan dalam bentuk dasar, falsafah atau ideologi negara yaitu Pancasila dan konstitusi negara yaitu UUD 1945. Sedangkan Pancasila dan UUD 1945 secara nyata adalah kalimatun sawā` (titik temu) warga bangsa yang plural yang berfungsi mengikat dan menjamin kohesivitas berbangsa dan bernegara.

Sebagai kalimatun sawā`, maka umat Islam dapat mengisi Pancasila dengan nilai-nilai Islam. Substansialisasi nilai-nilai keislaman ke dalam Pancasila dan UUD 1945 dimaksud mesti dilakukan terus-menerus. Hal demikian tentu menjadi tantangan bagi kreatifitas umat Islam, khususnya para intelektual. Upaya kreatif inilah yang akan memposisikan umat Islam dalam konteks nasionalisme Indonesia pada posisi yang proporsional dan bertanggung jawab. Wallāhu a’lam.






DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (Ed.,), Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991.

Almez (Ed.). HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangan. Jakarta: Bulan Bintang, 1952.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  Cet. 16. Jakarta: P.T. RajaGRafindo Persada, 2004.

Boland, B.J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1982.

Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya. Cet. Ke-5. Semarang: CV Diponegoro, 2007.

Feillard, Andrée. NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana. LKiS dan The Asia Foundation, 1995.

Hatta, Mohammad. Memoir. Jakarta: Tintamas, 1978.

Hizbut Tahrir Indonesia, Buletin Da’wah Al-Islam, Edisi 427/Tahun VIII, Tgl. 31 Oktober 2008,  atau www.al-islam.or.id; www.hizbut-tahrir.or.od.

Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia, 1987.

Leirissa, R.Z., (Ed.,). Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Maarif, Ahmad Syafii. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993.

Madjid, Nurcholish. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer.Cet. I. Jakarta: Paramadina, 1998.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. 9. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980.

Reid, Anthony dan David Marr (Ed.), Dari Raja Ali Haji hingga Hamka. Jakarta: Grafiti Press, 1983.

Soeharto, P. dan S. Zainul Ihsan (Ed.). Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok. Jakarta: Gunung Agung, 1982.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Perbandingan, Edisi 5. Jakarta: UI Press, 1993.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidrakarya Agung, 1981.
























BIODATA PENULIS



































Nama:Anhar, M.A.
NIP:19711214 199803 1 00 2
Pangkat/Golongan:Penata Muda/ III/c
Jabatan:Lektor dalam MK. Filsafat Umum
Tugas Tambahan:Pembantu Ketua III
Unit Kerja:STAIN Padangsidimpuan

Jl. Imam Bonjol Km. 4,5 Sihitang Padangsidimpuan, Sumut, 22733.Alamat Rumah:Perm. Sidimp. Indah Lestari Blok A-42 Padangsidimpuan Sum. Utara, 22733Telp./HP:(0634) 28750/ 0813 615 29914Karya Tulis1.“Konsep Pendidikan Islam tentang Pembentukan Manusia Berilmu,” Skripsi. 2.“Dimensi Filsafat dalam Pemahaman Agama”, Jurnal Ilmiah. 3.“Dualisme Kurikulum dalam Pendidikan Muslim”, Jurnal Ilmiah. 4.“Filsafat sebagai Induk Ilmu Pengetahuan: Deskripsi  Historis dan Maknanya”, Makalah Ilmiah. 5.“Tasauf: Asal-Usul, Maqāmat dan Ahwāl”, Makalah Ilmiah Seminar. 6.“Studi Islam dalam Peta Pengetahuan Ilmiah”, Makalah Ilmiah Seminar. 7.“Corak Studi Islam di STAIN Padangsidimpuan”, Penelitian. 8.“Insan Kamil: Studi atas Pemikiran Tasauf Hamka”, Penelitian. 9.“Ideologi Dunia dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Sosial”, Makalah Ilmiah Seminar. 10.“Esensi Manusia sebagai Khalifah dan ‘Abd”, Makalah Ilmiah Seminar. 11.“Kepribadian Muslim yang Inklusif, Toleran dan Berakhlak Mulia”, Makalah Seminar. 12.“Profil dan Peta Pendidikan Kota Padang-sidimpuan”, Penelitian. 13.“Konsep Manusia Bahagia menurut Hamka”, Tesis. 14.“Civil Society dan Masyarakat Madani: Analisis Konseptual dan Perbandingan”, Makalah Ilmiah. 15.“Falsafah dan Kearifan Islam tentang Alam: Menguak Pesan Dakwah tentang Pelestarian Lingkungan”, Jurnal Ilmiah. 16.“Kebahagiaan dalam Perspektif Al-Farabi dan Al-Gazali: Deskripsi Teoritis dan Perbandingan”, Jurnal Ilmiah. 17.“Padangsidimpuan sebagai Kota Pendidikan: Antara Cita dan Fakta.” Artikel pada Koran Kiprah Sumut. 18.“Nasionalisme Religius: Identitas Kebangsaan Umat Islam Indonesia”, Tulisan Ilmiah. 19.“Karakteristik Kepemimpinan Mahasiswa: Sebuah Survey Empirik”, Makalah Seminar. 20.“Perempuan di Arena Politik: Tinjauan Islam”, Makalah Seminar. 21.“Piagam Madinah: Substansialisasi Nilai-nilai Islam dalam Masyarakat Plural”, Jurnal Ilmiah. 22.“Islam dan Keterbukaan”,  Makalah Ilmiah Seminar

Padangsidimpuan, 14 September 2009

Penulis,

Anhar, M.A.






* Makalah disampaikan pada 9th Annual Conference on Islamic Studies di Surakarta dari tanggal 2 s.d. 5 Nopember 2009.




**Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Padangsidimpuan. Tinggal di Perumahan Sidimpuan Indah Lestari Blok A-42 Pal-IV PK Padangsidimpuan, Sumatera Utara. E-mail: nasution.anhar@yahoo.co.id




[1]Pengecualian adalah pada kelompok-kelompok tertentu umat Islam yang berada diluar wilayah politik, seperti HTI (Hizbut Tahrir Indoensia). HTI sampai saat ini tetap konsisten pada wacana khilafah. Lihat misalnya Buletin “Al-Islam” yang diterbitkan oleh HTI yang hampir pada setiap edisi mingguannya (terbit setiap hari Jum’at) menyerukan pentingnya penegakan kembali Khilafah Islamiyah. Lihat misalnya Hizbut Tahrir Indonesia, Buletin Da’wah Al-Islam, Edisi 427/Tahun VIII, Tgl. 31 Oktober 2008,  atau www.al-islam.or.id; www.hizbut-tahrir.or.od.




[2]Isi Sumpah Pemuda yang sangat terkenal itu sebagai berikut: “Kami pemuda Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, bangsa Indonesia; Berbahasa satu, bahasa Indonesia”.




[3]Taufik Abdullah (Ed.,), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), hlm. 189.




[4]Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm. 71.




[5]Sebagai contoh adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  Cet. 16 (Jakarta: P.T. RajaGRafindo Persada, 2004), hlm. 225.




[6]Kekuasaan kesultanan itu, bukan berarti bubar. Di Sumatera, kesultanan Aceh tetap berdiri, demikian pula kesultanan Yogyakarta di Jawa dan kesultanan Banjarmasin di Kalimantan.Hanya saja secara politik tidak lagi berdaya berhadapan dengan kolonial Belanda. Lihat Taufik Abdullah (Ed.), hlm. 179; R.Z. Leirissa (Ed.,), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 204 dan 227.




[7]Katalisator terkenal gerakan kebangkitan dan pembaruan ini adalah Jamaluddin al-Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasi. Yatim, hlm. 257.




[8]Yatim, hlm. 258. Untuk penjelasan yang lebih komprehensif dapat dibaca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980).




[9]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidrakarya Agung, 1981), hlm. 25-27.




[10]Yatim, hlm. 258.




[11]Ibid.




[12]Almez (Ed.), HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangan¸ (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), hlm. 94.




[13]Orientasi politik SI dengan jelas tergambarkan dalam pidato HOS Tjokroaminoto pada Kongres Nasional Sarekat Islam yang berjudul “Zelfbestuur” tahun 1916 di Bandung. Ia berkata, “Tidak pantas lagi Hindia (Indonesia-pen.) diperintah oleh Negeri Belanda, bagaikan tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya. Tidak pada tempatnya, menganggap Hindia sebagai seekor sapi perahan yang hanya diberi makan demi susunya. Tidaklah pantas untuk menganggap negeri ini sebagai tempat kemana orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan dan sekarang sudah tidak pada tempatnya lagi bahwa penduduknya, terutama anak negerinya sendiri, tidak mempunyai hak turut bicara dalam soal-soal pemerintahan yang mengatur nasib mereka.” Dikutip oleh Badri Yatim dari HOS Tjokroaminoto, “Zelfbestuur”, dalam P. Soeharto dan S. Zainul Ihsan (Ed.), Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 11. Lihat juga Yatim, hlm. 259.




[14]Sarekat Islam (SI) barangkali akan mengalami masa kejayaan yang agak panjang, sekiranya ia tidak cepat digerogoti oleh Marxisme, saingan ideologi terberat bagi Islam waktu itu. Islam yang tidak punya pergantungan politik global pada periode itu tampaknya cukup kewalahan menghadapi aksi dan panetrasi Marxism eke dalam tubuh SI yang memang gencar dan sistematis itu. HOS Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdul Muis lebih bersikap defensive dalam menghadapi isu-isu politik yang dilancarkan Semaun, Darsono, Alimin dan tokoh-tokoh kiri lainnya. Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 115.




[15]Yatim, hlm. 261.




[16]Anthony Reid dan David Marr (Ed.), Dari Raja Ali Haji hingga Hamka, (Jakarta: Grafiti Press, 1983), hlm. 59.




[17]Noer, hlm. 39.




[18]Ma’arif, hlm. 161.




[19]Ibid.




[20]Andrée Feillard, NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (LKiS dan The Asia Foundation, 1995), hlm. 19.




[21]Noer, hlm. 290.




[22]Yatim, hlm. 263.




[23]Pendapat yang ditulisnya di berbagai media massa, direspon oleh M. Natsir. Sehingga terjadi polemik panjang antara Soekarno dan M. Natsir di media massa kala itu. Polemik antara dua tokoh nasionalis itu, oleh Deliar Noer digambarkan sebagai dialog antara cita-cita Barat (Soekarno) dan cita-cita Islam (M. Natsir). Polemik tersebut tidak menemukan jalan tengah. Noer, hlm. 313.




[24]Noer, hlm. 306.




[25]Panji Islam, No. 29, 22 Juni 1940, sebagaimana dikutip Noer, hlm.307.




[26]Panji Islam, No. 29, 22 Juni 1940, sebagaimana dikutip Noer, hlm.308.




[27]Berita Nahdlatoel Oelama, No. 20, 15 Agustus 1940, hlm. 1/278, sebagaimana dikutip Feillard, hlm. 25-26.




[28] Berita Nahdlatoel Oelama, No. 20, 15 Agustus 1940, hlm. 278, sebagaimana dikutip Feillard, hlm. 26-27. Meskipun perdebatan itu seru, namun ketika Muktamar, NU tetap memilih Soekarno sebagai calon presiden. Dalam pandangan mereka ketika itu, dan sebagian besar orang Jawa Timur, bahwa Soekarno bersikap demikian adalah dalam rangka menarik simpati golongan nasionalis “netral agama” (sekuler). Hati Seokarno menurut mereka, sesungguhnya sangat dekat dengan Islam. Feillard, hlm. 28.




[29]Yatim, hlm. 263.




[30]Meski sedikit keuntungan, namun dapat dicatat beberapa hal baru, misalnya sejak 1944, setiap keresidenan dapat membuka Kantor Urusan Agama (Syumuuka), hingga Pengadilan Agama semakin menjangkau kehidupan desa. Secara menyeluruh, umat Islam baik yang modernis, maupun yang tradisionalis mendapat banyak pengakuan, posisi, dan terutama pengalaman di bidang pemerintahan. Feillard, hlm. 29.




[31]Ibid.




[32]Ibid., hlm. 30.




[33]Ibid.




[34]Ibid., hlm. 31.




[35]Feillard, hlm. 32-35.




[36] Ibid., hlm. 35.




[37]B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), hlm. 21-22.




[38]Indikator dari ketidaksiapan ini dapat dibaca dalam dokumen perdebatan itu yang umumnya bersifat defensif. Tokoh-tokoh yang muncul dari pihak Islam justru datang dari lingkungan pesantren, sedangkan figur seperti H. Agus Salim tidak dapat berbicara. Maarif, hlm. 192-193.




[39]Untuk melihat perimbangan kekuatan dalam Panitia sembilan ini, dapat disebutkan bahwa dari golongan Nasionalis adalah Soekarno, Hatta, A.A. Maramis (Kristen), Ahmad Subardjo, dan Muhammad Yamin. Dari golongan Islam adalah Abi Kusno Tjokrosudjoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan Wahid Hasjim. Jika dilihat dari data agama, kecuali A.A. Maramis, semuanya muslim, dan sudah menunaikan ibadah Haji. Salah satu tokoh nasionalis itu, Moh. Hatta adalah orang yang sangat agamis. Oleh karena itu, menyebut mereka sebagai sekular tulen, nampaknya tidaklah tepat. Lihat Ibid., hlm. 193.




[40]Ibid., hlm. 194.




[41]Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1978), hlm. 457.




[42]Ibid.




[43]Maarif, hlm. 196.




[44]Partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, PTII) dalam Pemilu 1955 hanya berhasil meraih meraih suara kurang dari 45%. Undang-undang Pemilu yang didasrkan kepada UUDS 1950 menuntut bahwa suatu UUD baru menjadi sah bila draft­-nya disetujui oleh paling kurang 2/3 anggota yang hadir dalam rapat. Dengan ketentuan ini sebenarnya suatu perjuangan konstitusional yang bertujuan menciptakan suatu negera Islam atau negera berdasarkan Islam secara eksplisit menjadi tidak mungkin. Begitu juga untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar negara, sebab partai-partai pendukungnya ― antara lain PNI, PKI, PSI, PIR, Partai Katholik, Parkindo, dan lain-lain ― hanya mengantongi lebih sedikit dari 50%. Jadi sejak semula sebenarnya sudah dapat diperhitungkan bahwa tanpa suatu kompromi politik, Majelis Konstituante akan berakhir dengan kegagalan.  Ibid., hlm. 196-197.




[45]Maarif, hlm. 197.




[46]Ibid., hlm. 197-198.




[47]Ibid., hlm. 198.




[48]Ibid.




[49]Lihat Hatta, hlm. 457.




[50]Dalam kenyataan sosiologis, nasionalisme tiap bangsa itu sesungguhnya memiliki karakteristik masing-masing. Nasionalisme Perancis misalnya, sejak awal adalah Nasionalisme yang benar-benar sekuler. Sedangkan nasionalisme Amerika adalah nasionalisme yang bersubstansi Kristiani, khususnya Kristen Protestan dari golongan Anglo Saxon. Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1998), hlm. 172, 186.




[51]Maarif, hlm. 193.




[52]Madjid berucap, “ …seyogianya sebagai Muslim kita memang harus terbuka dan lapang dada terhadap pencarian titik temu itu.

Dari sudut ini Pancasila adalah kalimah sawa`. Kesalahan beberapa orang itu karena melihat Pancasila sebagai alternatif terhadap Islam, Kristen, Cina, kemudian ingin membuat jalan. Titik temunya adalah kepentingannya membuat jalan yang bagus. Ini titik temu antar kita. Baca Madjid, hlm. 111.




[53]Ibid., hlm. 109-110.




[54]Attaturk memang melakukan gerakan besar-besaran sekularisme di Turki, sebagai upayanya membangun kembali Turki dari keterpurukan. Ia pun tak segan-segan mencontoh secara membabi buta sekularisme Eropa, tidak saja dalam bidang institusi politik tetapi juga agama dan kebudayaan. Dalam bidang agama dan kebudayaan, misalnya ia mengganti hukum syariat yang mengatur perkawinan dengan huku Swiss; pendidikan agama ditiadakan di sekolah-sekolah; ia melarang wanita dan laki-laki Turki menggunakan busana agama; ia menyerukan supaya menukar kalimat-kalimat Azan dengan bahasa Turki, dan lain sebagainya. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. 9 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 151-153.




[55]Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 1 dan 2, secara eksplisit disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.




[56]Maarif, hlm. 198.




[57]Lihat Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Cet. Ke-5, (Semarang: Penerbit Diponegoro, 2007), hlm. 71 dan 487.




[58]Madjid, hlm. 109.




[59]Ibid.




[60]Ibid.




[61]Ibid., hlm. 172.




[62]Ibid., hlm. 110.




[63]Sebagai bahan perbandingan dapat dicermati Piagam Madinah (Mişāq al-Madaniyah) yang dilahirkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang berfungsi sebagai konstitusi yang mengikat bagi warga Madinah yang plural. Dalam piagam itu, Nabi SAW meletakkan konsep-konsep yang universal yang diterima dan disepakati oleh semua komunitas yang ada di Madinah. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Perbandingan, Edisi 5, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 10-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar