Jumat, 26 April 2024

ABAD KE-7 AL-QUR'AN TELAH MEMAHAMKAN MANUSIA PARADIGMA KEILMUAN TAUHIDIY

    


Pada abad ke-7,  Al-Qur'an telah memberi bimbingan sekaligus wawasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang dapat menjadi basic philosophy dan paradigmatik dalam pengembangan ilmu dengan caranya yang sangat menarik. 

    Al-Qur`an diturunkan kurang lebih 23 tahun. Selama masa itu, Al-Qur`an memberi respon berbagai hal sisi kehidupan Arab Jahiliyah dan kaum Muslim Awal. Respon Al-Qur`an ditujukan kepada kepercayaan politeisme, kehidupan sosiologis, budaya, dan peradaban Arab Jahiliyah yang zhulumat (gelap) dan menuntunnya kepada kehidupan Islami yang diridhai dan diberkati . Al-Qur`an, tidak saja membimbing masyarakat Jahiliyah kepada kehidupan Islami, lebih jauh dari itu ---dan hal ini menjadi tujuan Al-Qur`an--- yaitu membimbing individu-individu menjadi Muslim yang paripurna (insan kamil). Dalam perspektif pembentukan peradaban, tujuan yang hendak dicapai oleh Al-Qur`an adalah tamamu makarim al-akhlaq (kesempurnaan akhlak yang mulia). Masyarakat yang memiliki "kesempurnaan akhlak yang mulia" merupakan predikat peradaban tertinggi masyarakat Muslim yang menjadi misi dan cita-cita perjuangan Rasulillah Saw.


Wawasan Ontologis

    Al-Qur`an mengajarkan kepada masyarakat Arab Jahiliyah yang kemudian menerima Islam bahwa selain Al-Qur`an yang diwahyukan secara verbal sebagai ayat-ayat Allah, makhluk manusia dan alam semesta juga disebut sebagai ayat-ayat Allah. Salah satu penjelasan Al-Qur`an yang amat menarik tentang ini misalnya surat Ali Imran ayat 190: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam benar-benar ayat (tanda-tanda Kemahabesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir (ulul albab). Sejalan dengan maksud Ali Imran ayat 190 ini, pada surat Fushshilat ayat 53, Allah SWT memfirmankan sebagai berikut:  Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami (tanda-tanda kebesaran Kami) di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Al-Qur'an) itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

    Dari penjelasan Al-Qur`an demikian inilah dapat dirumuskan bahwa ayat-ayat Allah itu bentuknya tiga macam. Pertama, ayat qauliyah, berupa kalamullah yang diwahyukan kepada Rasulillah Saw. Kedua, ayat insaniyah, yaitu dimensi psikis dan kepribadian manusia. Ketiga ayat kauniyah, yaitu langit dan bumi (alam semesta) serta sisi biologis manusia. 

    Selain Al-Qur`an menyebut manusia dan alam semesta sebagai bagian dari ayat-ayat Allah, Al-Qur`an juga menegaskan karakteristik fitrati ciptaan Allah yaitu bersujud, bertasbih, berserah diri (taslim), dan tunduk kepada Allah.

    Dengan demikian, dalam perspektif Qur`anic ontologic, semua objek ilmu pengetahuan adalah ayat-ayat Allah yang bersujud, bertasbih, berserah diri, dan tunduk kepada Allah.


Wawasan Epistemologis

Untuk diingat kembali bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh. Poin-poin pokok pertanyaan epistemologi yaitu: Apa sumber ilmu; Bagaimana proses mendapatkan ilmu; Bagaimana syarat-syarat ilmu yang benar; Bagaimana validitas (kesahihan) ilmu; dan Bagaimana hakikat ilmu.

Dalam hal ini, apakah Al-Qur'an memberi bimbingan dan wawasan epistemologis tentang ilmu? Tentu saja jawabannya "ya".

Bimbingan Al-Qur'an tentu saja tidak bersifat verbal, tapi bersifat esensial. Mari lihat misalnya tentang sumber ilmu. Al-Qur'an menjelaskan bahwa pada mulanya setiap anak manusia tidak memiliki ilmu. Tetapi Allah SWT melengkapi manusia dengan indra, akal, dan hati. Dengan kelengkapan ini, maka manusia memperoleh ilmu. (Terkait fakultas yang jadi sumber ilmu ini lihat Al-A'raf/7: 179; Al-Mulk/67: 10, 23, dll.).

Dalam konteks sumber ilmu ini, filsafat keilmuan Barat yang positivis menyebut sumber ilmu, atau lebih tepatnya fakultas yang memberi manusia ilmu adalah indra dan rasio. Al-Qur'an, pada abad ke-7 menyebutkan bahwa sumber ilmu itu adalah wahyu, indra, akal, dan qalbu. Wahyu di sini, selain berkedudukan sebagai sumber, juga menjadi pembimbing bagi indra, akal, dan qalbu dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

Dari sisi proses...

Insya Allah bersambung...


Gambar:

Pembukaan Seminar Ilmiah di Kuttab UIN Syahada "Cerdas Bermedia Sosial", 21 April 2024.


Selengkapnya

Senin, 22 April 2024

MARI BERMUHAMMADIYAH SECARA NATURAL (ALAMIAH)

    Mengapa harus ber-Muhammadiyah secara natural (alamiah)? Karena Islam adalah agama alamiah. Agama yang sesuai dengan nature (fitrah) manusia. Ingat firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 30 yang menegaskan bahwa Islam adalah agama fitrah, dan Allah menciptakan manusia di atas fitrah itu. 

    Dalam penjelasan kepribadian Muhammadiyah disebutkan bahwa Islam yang dibawakan oleh Muhammadiyah adalah Islam yang sadzajah, Islam yang lugu, apa adanya. Itulah sebabnya mengapa Muhammadiyah dalam mengusung dan membawakan gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, harus sesuai dengan nature kepribadian manusia. Tidak boleh menggunakan pendekatan hitam-putih, halal-haram atau sunnah-bid’ah, karena Tuhan saja dalam memahamkan agama-Nya ini tidak menggunakan pendekatan halal-haram atau sunnah-bid’ah. Untuk contoh yang sangat baik tentang dakwah yang natural (dakwah bilhikmah dan mauizhah hasanah), mari kita baca bagaimana Allah SWT menuntunkan syari'at pengharaman khamar. Untuk kasus ini, Allah SWT menurunkan ayat terkait khamar sebanyak empat kali pada fase waktu yang berbeda. Pada hal, sekiranya Allah menghendaki, mudah saja bagi-Nya untuk menyatakan, "Ini haram, itu halal." Tapi, Subhanallah, Tuhan tidak melakukan cara-cara gegabah seperti itu. Belum lagi kalau direnungkan secara mendalam tentang sejarah turunnya wahyu yang memerlukan waktu kurang lebih 23 tahun. Poin ini adalah bukti yang tidak terbantahkan bahwa Allah SWT ---melalui Nabi-Nya--- benar-benar mendidik manusia secara kultural dan alamiah dalam menerima Islam. Adab dakwah demikian ini mesti menjadi contoh dan pelajaran penting buat generasi Muhammadiyah.

    Para pendahulu Muhammadiyah mewasiatkan kepada generasi pelanjut, pelangsung, dan penyempurna gerakan Muhammadiyah agar membawakan Muhammadiyah dengan hikmah dan mau'izhah hasanah. Mereka mengingatkan bahwa kebenaran Keputusan Tarjih ---yang menjadi panduan pemahaman agama Muhammadiyah--- tidaklah bersifat mutlak. Dengan demikian, kebenarannya terbuka untuk dikritisi. Mereka juga menyatakan bahwa Tarjih itu disusun tidak ada di dalamnya sifat perlawanan atau penentangan terhadap dalil-dalil yang tidak dipilih oleh Majelis Tarjih. Oleh karena itu, dalam beragama, warga Muhammadiyah tidak boleh menyalahkan pemahaman agama golongan lain yang berbeda dengan pemahaman agama Muhammadiyah, atau pemahaman agama yang tidak sesuai dengan Keputusan Tarjih Muhammadiyah. Dalam Kitab Masalah Lima ditegaskan:

ومع العلم ان اي قرار يتخذ انما هوا ترجيح بين الاراء المعروضة دون ابطال اي رءي مخالف

Terjemahan bebasnya:
Dengan kesadaran keilmuanlah Keputusan Tarjih ditetapkan. Sesungguhnya tarjih itu dilakukan terhadap pemahaman agama yang bertentangan, tidak bermaksud menyalahkan pemahaman agama yang berbeda

Dari Ber-Muhammadiyah Formalistik ke Substansialistik
    Banyak warga Muhammadiyah yang memiliki pandangan bahwa corak pemahaman agama yang benar adalah pemahaman agama yang legalistik-formalistik atau simbolistik. Itulah sebabnya orang di luar Muhammadiyah menyebut pemahaman warga persyarikatan bersifat skripturalistik (tekstualistik). Dalam fiqh ibadah, misalnya, corak yang menonjol adalah pemahaman dan pengamalan agama yang mengutamakan aspek juz’iyyat (rincian), hai`at (tingkah), dan kaifiyyat (tata cara) beribadah. Sementara aspek esensial (ruhiyah/sufistik) ibadah hampir-hampir terabaikan. Aspek esensial dimaksud seperti khusyuk, thuma’ninah, tadharru’, khufyah, ikhlas, dan lain-lain. 

    Pemahaman Qur’an dan Sunnah di lingkungan kita (baca: Muhammadiyah Tapanuli Bagian Selatan) terasa sangat tekstualistik. Aspek burhani dari nash (teks) Al-Quran atau Hadits hampir terabaikan. Apa lagi aspek ‘irfani dari nash (teks) dimaksud. Ke depan, kita ingin warga persyarikatan disuguhkan pemahaman agama yang komprehensif dan substantif sebagaimana tuntunan manhaj tarjih.

    Penting dicatat bahwa dengan ditanfidzkannya penggunaan pendekatan bayani, burhani, dan ‘irfani dalam memahami teks-teks keagamaan secara sirkuler-dialektis dalam bertarjih pada tahun 2000 yang lalu, maka pemahaman agama Muhammadiyah harus menukik hingga ke aspek ruhaniah (sufistik). Penerapan ketiga pendekatan ini akan membuat pemahaman agama Muhammadiyah semakin padu, utuh, mendalam, komprehensif dan substansialistik. Dengan cara demikian, maka pemahaman agama Muhammadiyah tidak lagi bercorak skriptural tapi sudah bercorak substansial. 

Peliharalah Semangat Fastabiqul Khairat dalam Beragama
    Semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), tidak saja dengan golongan yang berbeda agama (QS Al-Maidah (5): 48), tapi juga dengan kelompok umat Islam yang berbeda pemahaman dan peng-amalan agama dengan Muhammadiyah. Dalam konteks penyebaran dakwah Muhammadiyah, semangat fastabiqul khairat meniscayakan agar dakwah disampaikan dalam suasana dialogis yang setara dan terbuka. Orang lain tidak boleh diposisikan merasa terpaksa dalam menerima dakwah Muhammadiyah. Pemaksaan, apa pun bentuknya, adalah penindasan. Penindas dalam agama disebut thaghut. Mari jauhi sikap-sikap thaghut dalam menyampaikan agama. Ingat pesan Allah kepada Nabi kita, "...jika mereka berpaling (menolak dakwahmu), maka ketahuilah, kewajibanmu hanya menyampaikan." (Ali Imran (3): 20). Allahu a'lam.

Gambar:
Jama'ah Shalat 'Idul Fithri Ranting Muhammadiyah Bonan Dolok, Kec. Padangsidimpuan Utara, Kota Padangsidimpuan, 1445 H/2024 M.
Selengkapnya

Rabu, 17 April 2024

MAU'IZHAH HASANAH DALAM BERDAKWAH: PESAN KEPADA SAUDARA-SAUDARAKU BER-MANHAJ SALAF

Saya pribadi ---dalam batas-batas tertentu---setuju dengan pandangan kelompok yang menyebut golongan mereka ber-manhaj salaf bahwa umat Islam ---dalam beragama, khususnya dalam hal pengamalan ibadah mahdhah--- mesti meneladani Rasulullah Saw., dan para sahabat. Hanya saja, menurutku ada beberapa hal yang penting menjadi diskusi bersama.

Pertama, pengamalan ibadah tidak cukup hanya pada aspek eksoteris (aspek luar) ibadah berupa  juz'iyyat, kaifiyyat, haiat dari suatu ibadah, tapi juga harus memperhatikan aspek esoteris (aspek dalam) dari ibadah. Justru aspek dalam dari ibadah inilah yang menjadi ruh atau jiwa dari ibadah. Allah SWT menegaskan aspek dalam ibadah ini dalam istilah-istilah: khusyuk, tadharru', khufyah, khauf, khifah, thama', rahab, raghab, ikhlas, dan sebagainya. Saya memiliki kesan ---mohon maaf, Allahu a'lam--- saudara-saudaraku yang ber-manhaj salaf di Indonesia, sebagaimana juga sebagian kaum Muslimin yang berorientasi pemurnian agama, lebih fokus pada pemahaman aspek luar ibadah dari pada aspek dalam. Pada hal semestinya pemahaman tentang aspek luar dan aspek dalam ini harus berimbang. Pemahaman aspek luar ini pun kelihatannya sempit, kaku, harfiah, dan bersifat hitam-putih. Bahkah aspek luar ibadah ini seolah-olah  dijadikan standar utama untuk menilai bid'ah atau sunnah.

Kedua, adab yang tinggi dalam dakwah harus menjadi pijakan, karena Allah SWT dan Rasul-Nya sendiripun mencontohkan adab yang maha luhur dalam memahamkan din al-Islam kepada umat manusia. Kitab-kitab sirah memperlihatkan bahwa pada masa-masa awal tugas kerisalahan, Allah SWT menuntun Nabi-Nya mengajarkan aqidah dan akhlak. Diperlukan waktu kurang lebih 10 tahun untuk pengajaran aqidah dan akhlak ini. Selanjutnya, setelah aqidah dan akhlak mulai mantap, barulah pengajaran syari'at, khususnya ibadah dan mu'amalah diberikan. Untuk pengajaran yang terakhir ini, butuh waktu kurang lebih 13 tahun. Dengan demikian, dalam mendaratkan pesan-pesan risalah Islam, Rasulullah Saw., membutuhkan waktu kurang lebih 23 tahun. Pada hal, sekiranya Allah SWT berkehendak, mudah saja bagi-Nya. Cukup mengatakan, "Kun, fa yakun" (Jadilah, maka akan jadilah yang dikehendaki Tuhan itu).

Sebagai contoh, dalam kasus pengajaran syari'at keharaman khamar  (minuman memabukkan dan sejenisnya), Allah SWT tidak serta merta menyebut khamar itu haram atau terlarang. Penegasan haram baru terjadi setelah Allah SWT menurunkan ayat terkait khamar keempatkalinya (fase penurunan wahyu terakhir terkait khamar). Sebenarnya, sekiranya Allah suka, mudah saja bagi Allah untuk menyatakan, "Ini haram, itu halal."  Tapi Tuhan yang Maha Bijaksana tidak memperlakukan manusia menerima syariat tanpa kesadaran akal dan hati. Manusia diberi kemerdekaan akal untuk menentukan pilihan, karena telah jelas mana jalan yang benar (ar-rusyd) dan mana jalan sesat (al-ghay). Tampak dalam proses pengharaman khamar ini, Allah SWT mengajarkan kepada manusia hikmah ilahiyyah yang maha tinggi dalam mendakwahkan agama. (Bandingkan dengan sebagian perilaku penyampai agama yang suka memvonis pengamalan agama saudaranya dengan istilah bid'ah, kafir, syirik, thaghut, dll.).

Penting dimengerti bahwa minuman khamar pada masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu adalah minuman yang dihidangkan pada upacara-upacara agama dan budaya, serta minuman yang telah mentradisi di tengah masyarakat secara turun-temurun. Dengan demikian, mengajak kaum Jahiliyah meninggalkan khamar bukan sesuatu yang mudah.

Dalam konteks masyarakat seperti itu, Allah ---melalui Rasul-Nya--- mengajarkan keharaman khamar secara berangsur yang ditandai dengan empat fase penurunan ayat. Pada fase pertama, nalar manusia disentuh dengan perilaku paradoknya dalam mengonsumsi kurma dan anggur. Di satu sisi, manusia mengonsumsinya sebagai rezki yang baik buatnya, namun di sisi lain, kaum Jahiliyah mengolahnya menjadi rezeki yang buruk (minuman khamar). Pada fase kedua, Allah mulai melabeli perbuatan minum khamar sebagai dosa besar (itsmun kabir) dengan tanpa menafikan adanya sedikit manfaat. Selanjutnya, fase ketiga, Allah memberi bimbingan yang semakin tegas agar orang beriman menjauhi jamaah shalat Nabi jika keadaannya masih mabuk khamar. Pada fase terakhir, barulah Allah SWT secara tegas melarang kaum beriman menjauhi khamar. Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (Al-Maidah (5) ayat 90-91).

Mari baca dengan seksama ayat-ayat berikut:*

a. An-Nahl (16) ayat 67:

وَمِنْ ثَمَرٰتِ النَّخِيْلِ وَا لْاَ عْنَا بِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًا وَّرِزْقًا حَسَنًا ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰ يَةً لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

"Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti."** 

b. Al-Baqarah (2) ayat 219:

يَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَا لْمَيْسِرِ ۗ قُلْ فِيْهِمَاۤ اِثْمٌ کَبِيْرٌ وَّمَنَا فِعُ لِلنَّا سِ ۖ وَاِ ثْمُهُمَاۤ اَکْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْــئَلُوْنَكَ مَا ذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمُ الْاٰ يٰتِ لَعَلَّکُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ 

"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, "Kelebihan (dari apa yang diperlukan)." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,"**

c. An-Nisa' ayat 43:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَ نْـتُمْ سُكَا رٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَا بِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ 

"Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati untuk jalan saja, ..."**

d. Al-Maidah (5) ayat 90-91:

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَا لْمَيْسِرُ وَا لْاَ نْصَا بُ وَا لْاَ زْلَا مُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَا جْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung."**

Ketiga, menegaskan poin pertama dan kedua di atas, penting diingat bahwa Tuhan sendiri memerintahkan kepada setiap Muslim agar "berbuat ihsan kepada orang lain sebagaimana Allah berbuat ihsan kepada diri manusia sendiri" (ahsin kama ahsanallahu ilaik) [Al-Qashash (28): 77]. Termasuk dalam hal ber-tabligh, setiap penyampai agama mesti berbuat ihsan di jalan dakwah. Bahkan mesti berupaya meneladani sikap dan perilaku ihsan Rasulillah Saw.

Penting diketahui bahwa ihsan adalah nilai tertinggi perbuatan baik, yakni suatu nilai perbuatan yang dikerjakan karena benar-benar ikhlas dan mengharapkan keridhaan Allah. Ketahuilah bahwa Allah SWT berbuat ihsan kepada makhluk-Nya tanpa mempersoalkan apakah makhluk tersebut jahat, pembangkang, atau pendosa. Rahmat-Nya selalu tercurah kepada siapa pun sampai pada waktu yang ditentukan.

Ketahuilah, setiap penyampai agama akan dipandang bersikap dan berprilaku ihsan jika semua sikap dan laku perbuatannya mencerminkan perilaku dan sikap kenabian yang rahmatan lil 'alamin.


Harus Dihindari
Melihat konteks keagamaan dan budaya masyarakat kita, amat penting menghindari kata-kata seperti: bid'ah, sesat, kafir, dan syirik kepada kaum Muslimin yang berpegang kuat kepada adat-istiadat dan budaya lokal. Kata-kata peyoratif ini membuat kaum Muslim tradisional menjauh dari dakwah yang berisi kepada ajakan beragama versi salafus shalih. Ingat pesan Nabi Saw., agar berdakwah dengan memudahkan dan menggembirakan. Jangan membuat orang lari dari dakwah salaf. Nabi berpesan, "Yassiru wala tu'assiru, basysyiru wala tunaffiru" (Permudah jangan persulit, gembirakan jangan membuat mereka lari).

Sadarilah dengan sebaik-baiknya bahwa kaum Muslim tradisional menerima Islam dari para ulama yang pernah belajar di pusat-pusat keilmuan dunia Islam. Para ulama dimaksud tidak saja menerima pengajaran syariat, tetapi juga mendapat ijazah dari berbagai perguruan tarekat. Tokoh-tokoh ini dipandang oleh kaumnya sebagai wali-wali Allah yang telah bersih dari dosa. Pengajaran dari para auliya' ini bagi mereka bersifat suci. Dan karenanya mereka benar-benar mematuhi pengajarannya secara lahir dan batin, tanpa perlu berpikir  tentang dalil-dalil yang menjadi landasan pemahaman atau pengamalan. 

Itulah sebabnya mengapa kaum Muslim tradisional berpandangan bahwa ungkapan bid'ah apalagi syirik yang dialamatkan kepada  mereka merupakan tuduhan yang sangat menyakitkan. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa mereka langsung memberi perlawanan ketika pemahaman agama yang mereka terima dari alim-ulama yang dihormati itu dilabeli bid'ah, sesat, syirik, dan sebagainya.

Pesan Penutup
Berpijak kepada penjelasan di atas, mari berdakwah dengan penuh hikmah dan mau'izhah hasanah. Tidak seorang pun tahu apakah ilmu dan amalnya sudah benar dan diridhai Allah. Tetaplah rendah hati (tawadhu') di jalan dakwah. Hindari kata-kata dan sikap yang memojokkan, apa lagi merendahkan. Ingatlah bahwa agama ini milik Allah, bukan milik kita. Allah SWT saja memperlihatkan adab yang Maha Luhur dalam menyampaikan pesan-pesan agama-Nya kepada manusia. Tugas para Nabi dan pewarisnya hanya menyampaikan din al-haq. Tidak lebih dari itu. Jika orang menolak apa yang kita sampaikan, maka bersabarlah. Dan, mari semua golongan umat Islam bekerja sama untuk menggembirakan dakwah Islam dalam  konteks fastabiqul khairatAllahu a'lam.

_________________________________

Catatan kaki:
*https://tebuireng.online/tahapan-pengharaman-khamr/
**Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

Gambar:
Jelang Maghrib di Kota Pasir Pangaraian, Rokan Hulu, Provinsi Riau, 15 April 2024.
Selengkapnya

Senin, 08 April 2024

SERULAH ALLAH DALAM TAKBIR SHALATMU DAN TAKBIR KEMENANGANMU DENGAN RENDAH HATI DAN SUARA YANG LEMBUT


Mari ber-fastabiqul khairat dalam menyeru Allah dengan meningkatkan kemampuan ruhaniah masing-masing. Inysa Allah takbir yang tadharru', khufyah, khifah, khauf, thama', rahab, dan raghab akan menjadi obat dan penenang hati dan pembuka pintu-pintu rahmat.

*******

Shalat dimulai dengan takbir, "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar). Takbir juga menandai perpindahan dari satu gerakan shalat ke gerakan lainnya. Tiap rakaat, seorang Muslim bertakbir 5 dan 6 kali. Dengan demikian jika ditotal keseluruhan, maka dalam satu putaran shalat lima waktu (17 rakaat), seorang Muslim menyeru Rabb-nya dengan ucapan takbir sebanyak 94 kali. 

    Takbir berisi pernyataan yang bersusunan mubtada`-khabar (subjek-keterangan). Kata "Akbar" dalam kalimat Allahu Akbar berposisi sebagai khabar (adjective/keterangan) dari kata "Allah". Dengan demikian, dari sisi kebahasaan, takbir ini berisi ucapan penegasan bahwa Allah adalah Akbar (Maha Besar, Maha Agung) dari siapa pun dan apa pun. Allah benar-benar wujud mutlak (wajib al-wujud), sementara selain-Nya adalah wujud relatif (mumkin al-wujud). Dilihat dalam perspektif ilmu kalam (teologis), pernyataan takbir ini bermakna penegasian (penafian) bahkan penolakan seorang Muslim terhadap siapa pun dan apa pun selain Allah yang memandang diri atau wujudnya maha kuat, maha perkasa, atau maha besar. Dengan pemaknaan yang demikian, maka ucapan takbir merupakan pernyataan kebebasan hamba dari segala kekuatan apa pun yang memasung seorang hamba dari taslim (penyerahan diri) dan ta'zhim (pengagungan) kepada qudrat (kuasa) dan iradat (kehendak) Allah SWT.

    Selanjutnya dengan pendekatan 'irfani, marilah mendalami tuntunan Al-Qur`an tentang adab menyeru (berdo'a) kepada Allah SWT, termasuk dalam hal ini menyeru Allah melalui ucapan takbir

1. Surat Al-An'am (6) ayat 63:

قُلْ مَنْ يُّنَجِّيْكُمْ مِّنْ ظُلُمٰتِ الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ تَدْعُوْنَهٗ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۚ لَئِنْ اَنْجٰٮنَا مِنْ هٰذِهٖ لَـنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ

"Katakanlah (Muhammad), "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, ketika kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut?" (Dengan mengatakan), "Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur."*

2. Surat Al-A'raf (7) ayat 55:

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."*

3. Surat Al-A'raf (7) ayat 205:

وَا ذْكُرْ رَّبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَّخِيْفَةً وَّدُوْنَ الْجَـهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِا لْغُدُوِّ وَا لْاٰ صَا لِ وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغٰفِلِيْنَ

"Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah."*

    Tiga petikan ayat Al-Qur`an di atas sangat jelas menuntunkan bahwa dalam menyeru, menyebut atau memanggil nama-Nya, hendaklah dengan tadharru' (rendah hati) dan khufyah (suara yang lembut). Seorang hamba mesti terus menghunjamkan kesadaran qalbu-nya bahwa yang dipanggilnya itu adalah Tuhan 'Arsy yang Agung, Tuhan Pencipta, Pengatur, Pemelihara Langit dan Bumi. Kerendahhatian dan kelembutan dalam memanggil nama Allah, Tuhan pencipta dan pemilik langit dan bumi, dalam takbir atau dalam lafaz-lafaz indah lainnya mesti terus dilatih dalam riyadhah (latihan-latihan ruhaniah) dan mujahadah (perjuangan/kesungguhan mendekatkan diri kepada-Nya). 

    Rasulullah Saw., telah menuntun ummatnya agar melakukan riyadhah dan mujahadah. Tuntunan dimaksud dengan menganjurkan serta meneladankan pembiasaan amalan-amalan sunnat yang amat penting, misalnya shalat sunnat Rawatib, Tahajjud, Dhuha, puasa Sunnat, membaca Al-Qur`an, memperbanyak zikir, dan melakukan amal-amal shalih.

    Khusus zikir, Nabi Saw., mengajarkan zikir-zikir tertentu yang dapat dibaca dengan jumlah semampunya. Misalnya zikir subhanallah wabihamdihi atau subhanallah wabihamdihi astaghfirullah wa atubu ilaihi, dan zikir-zikir lainnya yang shahih.

    Amalan-amalan demikian ini akan melatih seorang hamba agar semakin hari semakin tadharru' (rendah hati) dan khufyah (bersuara yang lembut) dalam menyeru Allah. Jika kita semakin tadharru' dan khufyah dalam menyeru-Nya, maka dada terasa semakin lapang, dan qalbu semakin terterangi cahaya ilmu dan hikmah yang datang dari Allah SWT.

Takbir dalam shalat yang dibaca 94 kali dalam satu putaran shalat lima waktu ---jika dibaca dengan rendah hati dan suara yang lembut--- akan menjadi pintu-pintu pembuka untuk curahan ilmu dan hikmah dari Allah SWT, sekaligus pintu-pintu pembuka untuk kedamaian dan ketenangan ruhaniah setiap hamba yang shalat. Oleh karena itu, ber-takbir-lah dengan rendah hati dan suara yang lembut. Mari ber-fastabiqul khairat dalam menyeru Allah dengan meningkatkan kemampuan ruhaniah masing-masing. Inysa Allah takbir yang tadharru', khufyah, khifah, khauf, thama, rahab, dan raghab akan menjadi obat dan penenang hati dan membuka pintu-pintu rahmat. 

Mengakhiri puasa Ramadhan dan memasuki 1 Syawal, kaum Muslimin menggemakan takbir, yang bertalian dengan lafaz tahlil, dan tahmid

Tuntunan adab ruhaniah bertakbir di 'Ied Mubarak ini tentu sama saja dengan bertakbir saat ibadah shalat. Di sini kita juga mesti ber-fastabiqul khairat menyeru Allah melalui takbir kemenangan ini dengan tadharru' dan khufyah. Tentu tidak itu saja, tapi juga dengan khifah, khauf, thama, rahab, dan raghab. Dengan adab yang demikian, maka insya Allah, takbiran kita bermakna ampunan dan tobat untuk kembali ke fitrah insaniyah sebagai hamba Allah yang patuh, pasrah, dan taat kepada-Nya. Semoga keadaan kita bagaikan dilahirkan kembali oleh ibu, bersih dari dosa dan kesalahan. Allahumma innaka 'afuwwun, tuhibbul 'afwa fa'fu 'anniy (Wahai Allah, sungguh Engkau Maha Pemaaf, maka maafkanlah aku [dari berbagai kesalahan saat puasa dan dan dari perbuatan dosa]).  Allahu a'lam.

________________ 

Catatan kaki:
* Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

Gambar:
Pemberian penghargaan kepada peserta Tadarus Al-Qur`an Masjid Al-Muhajirin Perm. Sidimpuan Indah Lestari, Palopat PK, Kota Padangsidimpuan, Ramadhan 1445 H/ 05/04/2024.

Selengkapnya

Kamis, 28 Maret 2024

MERAYAKAN PERBEDAAN: BELAJAR DARI PENENTUAN AWAL RAMADHAN 1445 H



Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

فَاِ نْ حَآ جُّوْكَ فَقُلْ اَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلّٰهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ ۗ وَقُلْ لِّلَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ وَا لْاُ مِّيّٖنَ ءَاَسْلَمْتُمْ ۗ فَاِ نْ اَسْلَمُوْا فَقَدِ اهْتَدَوْا ۚ وَاِ نْ تَوَلَّوْا فَاِ نَّمَا عَلَيْكَ الْبَلٰغُ ۗ وَا للّٰهُ بَصِيْرٌ بِۢا لْعِبَا دِ

Artinya:
"Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, "Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab dan kepada orang-orang buta huruf (kaum yang ummi), "Sudahkah kamu masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 20)* 
*******

Prakata        
        Artikel ini ditulis sebagai pesan khusus kepada warga Persyarikatan Muhammadiyah agar bergembira dalam mengelola perbedaan  pemahaman dan pengamalan agama. Perbedaan --- sebagaimana ditegaskan dalam artikel berikut--- adalah sunnatullah. Dengan demikian, mesti disadari bahwa perbedaan itu muncul by nature bukan by accident. Oleh karena itu mari kelola perbedaan dengan gembira dalam semangat fastabiqul khairat.

*******

    Perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan antara golongan umat Islam telah sering terjadi. Golongan yang sering mendapat sorotan adalah Muhammadiyah sendiri. Tidak sedikit tokoh yang menyebut bahwa Muhammadiyah tidak patuh kepada pemerintah. Sebutan yang bertendensi celaan ini muncul karena mereka tampaknya melupakan prinsip kebebasan menjalankan ajaran agama yang tertuang pada pasal 29 UUD 1945. Mereka juga kelihatannya lupa posisi agama dan posisi pemerintah di negara bangsa yang berfalsafah Pancasila ini.


Siapa Ulul Amri dalam Urusan Agama?
        Pemaknaan terhadap ulul amri telah mengalami pergeseran sejak lahirnya Daulay Umayyah. Sejak khalifah pertama Daulah Umayyah memerintah yaitu Umayyah bin Abi Sufyan, telah terjadi pemisahan urusan negara dan urusan agama. Sebagai khalifah, Umayyah menyerahkan urusan agama kepada para pemimpin agama. Sementara beliau sendiri mengurusi urusan kenegaraan dengan mencontoh tata kelola pemerintahan Romawi dan Persia yang bersifat monarki hereditis. Beliau membangun istana megah, berikut dengan tata kelola aparatur dan administrasi negara yang akan melanggenggkan kekuasaan turun-temurun. Keadaan ini bertolak belakang dengan pemerintahan era Khulafa` al-Rasyidin. Era khalifah yang empat ini, urusan negara dan agama menyatu di tangan khalifah/amir yang berkuasa. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali benar-benar merepresentasikan ulul amri yang dikehendaki oleh Al-Qur`an.

     Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia ---yang bagi Muhammadiyah sebagai Dar al-'Ahdi wa al-Syahadah (Kep. Muktamar Muhammadiyah di Makassar)--- bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (UUD 1945 ayat 29). Oleh karena itu, di NKRI ini, tugas ulul amri berupa urusan pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sementara urusan agama yang secara khusus menyangkut pemahaman dan pengamalan agama diserahkan kepada rakyat. Itulah sebabnya secara nyata kita menyaksikan otoritas keagamaan di NKRI ini dipegang oleh masing-masing ormas keagamaan. Bagi Muhammadiyah, maka ulul amri di bidang pemahaman dan pengamalan agama adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Bagaimana Posisi Pemerintah dalam Penentuan Amal Ibadah?
    UUD 1945 sesungguhnya menempatkan pemerintah sebagai fasilitator kehidupan beragama. Dalam hal ini kementerian yang diberi tugas untuk mengurusi urusan pemerintahan di bidang agama adalah Kementerian Agama. Sebagai fasilitator, Kementerian Agama tidak boleh masuk atau campur tangan dalam pemahaman dan pengamalan agama. Pemerintah ---sekali lagi--- hanya boleh memfasilitasi. Oleh karena itu, dalam konteks penentuan 1 Ramadhan, boleh saja pemerintah memfasilitasi untuk menyahuti semangat kebersamaan, tetapi tidak semestinya mengeluarkan keputusan atas nama Negara. Sebab jika Negara mengeluarkan keputusan terkait pemahaman dan pengamalan agama, maka Negara telah mengangkangi filosofi Negara Pancasila dan secara khusus pasal 29 UUD 1945. 

Rayakan Perbedaan
      Mari kita rayakan atau gembirakan perbedaan, karena perbedaan adalah Sunnatullah. Sesama warga Muhammadiyah saja ada perbedaan kita dalam menghayati dan mengekspresikan agama. Apatah lagi dengan saudara-saudara Muslim kita yang bukan Muhammadiyah. Jangankan kita sebagai Muslim mutaakkhirin, Muslim salaf juga kerap berbeda dalam pemahaman agama. Umar r.a., pernah berbeda dengan banyak sahabat dalam hal muallaf yang menjadi mustahiq zakat. Umar ketika itu tidak lagi memasukkan muallaf sebagai mustahiq. Keputusan Umar ini tentu saja mendapat penentangan dari banyak sahabat. Bagi sebagian sahabat ---yang kemungkinan sekali memandang tekstualitas Al-Qur`an sebagai suatu yang suci--- maka sampai kapan pun, mu'allaf mesti diberi bagian zakat. Pemberlakuan ajaran Al-Qur`an tidak boleh terpengaruh situasi. Namun, tidak begitu bagi Umar. Bagi beliau, justru yang paling penting diperhatikan adalah pesan ideal-moral Al-Qur`an. Untuk melaksanakan pesan ideal-moral dimaksud, maka boleh keluar dari pesan tekstual. Justru dengan cara demikian inilah bagi beliau sebagai cara mengamalkan ajaran Al-Qur`an yang paling tepat. Khalifah kedua ini melihat bahwa saat itu tidak perlu lagi membujuk orang untuk masuk Islam, karena Islam telah menyebar luas. Oleh karena itu, dana zakat tidak perlu lagi dikeluarkan kepada mereka yang baru masuk Islam. 
        Umar juga pernah berbeda dengan Aisyah r.a., terkait penafsiran tsalatsata quru' dalam Qur'an surat At-Taubah/9 ayat 60. Bagi Umar, tsalatsata quru' bermakna tiga kali haid. Misalnya, seorang perempuan yang ditinggal mati suami yang telah masuk haid ke-3, maka masa menunggunya (iddah) untuk kebolehan menikah lagi telah selesai. Sementara bagi Aisyah, makna tsalatsata quru' adalah tiga kali suci. Dengan demikian, masa 'iddah (menunggu) bagi perempuan haid untuk menikah lagi lebih lama. Perbedaan para sahabat Rasulillah juga terjadi dalam hal pengamalan qunut Shubuh. Ada yang berpendapat qunut Shubuh dilaksanakan setelah rukuk dengan membaca Allahummahdini, sementara sebagian lagi berpendapat sebelum rukuk dengan cara berdiri lama membaca ayat Al-Qur`an. Perbedaan ini mereka kelola dalam semangat tabsyir (gembira). Ingat pesan Nabi Saw., kepada pendakwah "Yassiru wala tu'assiru, basysyiru wala tunaffiru" (Permudah jangan persulit, gembirakan jangan membuat orang menjauh).

Mengelola Perbedaan dengan Etos Fastabiqul Khairat
    Warga Muhammadiyah mesti menunjukkan kedewasaan bahwa mereka berposisi sebagai orang-orang yang dengan kerendahan hati berupaya meneladankan diri sekaligus menjadi saksi dalam melaksanakan Sunnah Rasulillah Saw., di tengah-tengah masyarakat. Setiap warga persyarikatan, tidak boleh meperlakukan Muslim yang bukan Muhammadiyah dalam posisi terpaksa apa lagi terintimidasi menerima pemahaman dan pengamalan agama Muhammadiyah. Setiap warga Muhammadiyah ---dalam konteks dakwah--- harus memposisikan Muslim yang bukan Muhammadiyah dalam keadaan bebas-merdeka dalam menerima atau menolak dakwah Muhammadiyah. Ingat, tugas dakwah kita adalah hanya menyampaikan pesan Islam. Tidak lebih dari itu. Jika orang menolak, maka ingat pesan Allah kepada Rasulillah, "...fa innama 'alaikal balagh." (...engkau hanya dibebani tugas sebagai penyampai agama), tidak lebih dari itu. [Lihat QS Ali Imran ayat 20; lihat juga yang semakna, misalnya Al-Maidah ayat 92, 99, dll.]. Siapapun dari Muhammadiyah yang memaksa orang menerima Muhammadiyah, maka ia telah jatuh kepada prilaku sewenang-wenang dalam beragama. Perilaku sewenang-wenang ini adalah penindasan terhadap hak asasi orang lain untuk menentukan pilihan kepada kebenaran. Hal ini bertentangan sekali dengan moral yang dikehendaki Allah dalam mendakwahkan agama-Nya. Oleh karena itu, mari syiarkan agama Allah dalam semangat fastabiqul khairat.  Allahu a'lam.

______________

*Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

Gambar:
Penampakan bulan sabit yang umurnya sudah 2 Ramadhan versi Muhammadiyah. Gambar diambil di Perumahan Sidimpuan Indah Lestari, Kota Padangsidimpuan setelah shalat Maghrib 1 Ramadhan 1445/11 Maret 2024 versi Pemerintah. Gambarnya blur, karena resolusi kamera yang rendah.
Selengkapnya

Selasa, 26 Maret 2024

MEMAHAMI KANDUNGAN AL-QUR`AN: PEGANTAR AWAL BAGI MAHASISWA MUSLIM

Al-Qur`an adalah pedoman hidup bagi umat manusia sepanjang zaman. Di era modern kontemporer yang disebut juga era society 5.0 masa kini, Al-Qur`an mesti tetap menjadi pedoman yang aktual bagi setiap Muslim. Bahkan hingga dunia fana ini berakhir. Namun, amat disayangkan tidak sedikit individu Muslim yang berpandangan bahwa Al-Qur`an telah ketinggalan zaman. Di sisi lain, tidak sedikit pula kaum Muslimin yang  memberlakukan Al-Qur`an hanya Kitab yang dibaca untuk keperluan menambah atau mengirim hadiah pahala. Bagi Muslim yang demikian ini, Al-Qur`an tidak lagi berposisi sebagai pedoman  yang mesti dijadikan pemandu hidup dan kehidupan.

  Tulisan singkat ini menjelaskan cara sederhana memahami Al-Qur`an agar saat membacanya benar-benar terasa aktual dengan kehidupan setiap Muslim. Sehingga ---insya Allah--- tetap terasa sangat relevan dan aktual dalam membimbing hidup manusia kepada kebaikan duniawi dan ukhrawi.

Sebelum masuk ke dalam samudra pengetahuan Al-Quran, sadarilah bahwa Al-Quran bukan tulisan biasa. Kitab ini adalah kalam Allah yang ---untuk memperoleh makna-makna yang dikandungnya--- memerlukan tidak saja kecerdasan intelek, tapi juga kecerdasan ruhaniah/hati.

Berikut ini dijelaskan cara sederhana memahami Al-Quran sehingga ---insya Allah--- benar-benar terasa aktual dan sangat cerdas dalam membimbing kehidupan setiap Muslim dan masyarakat Muslim. 

     Pertama, kenali surat yang dibaca. Perhatikan apakah surat yang dibaca termasuk kelompok surat-surat Makkiyah atau Madaniyah. Surat-surat Makkiyah adalah ayat-ayat Al-Qur`an yang turun sebelum Nabi Saw., dan para Sahabat hijrah ke Madinah. Sementara surat-surat Madaniyah adalah ayat-ayat Al-Qur`an yang turun setelah peristiwa Hijrah. Secara umum, surat-surat Makkiyah berisi tuntunan, bimbingan, peringatan agar menjauhi sikap hidup musyrik dan segala konsekuensi yang dimunculkannya, seperti perbudakan, pengabaian hak-hak kaum miskin, penindasan terhadap si lemah dan sikap-sikap diskriminatif lainnya. Surat-surat Makkiyah juga secara umum mengingatkan tentang hari berbangkit atau kehidupan setelah mati dan kebenaran Al-Quran. Sementara surat-surat Madaniyah secara umum menjelaskan tuntunan hidup utama seperti akhlak, ibadah, dan mu'amalah. Berbarengan dengan itu dituntunkan pula pembentukan individu dan masyarakat utama yang muttaqin dan muhsinin. Dalam pembentukan masyarakat, surat-surat Madaniyah menuntunkan pembentukan qaryah thayyibah atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

    Kedua, lihatlah munasabat al-ayat, yaitu kaitan ayat yang dibaca dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Bahkan, perlu juga dilihat ayat lain yang berkaitan yang penempatannya ada pada surat yang berbeda. Al-Qur`an ---ibarat susunan tubuh manusia dan alam semesta--- saling kait secara logis dan organis. Keseluruhannya tidak boleh dipisah-pisahkan. Lihatlah misalnya, di awal ada anjuran bertakwa, di tengah juga di jumpai anjuran yang sama, begitu pula di ujung/akhir mushaf. 

      Ketiga, padukan pemahaman tekstual dengan kontekstual. Memahami Al-Qur`an tidak cukup hanya dengan memahami makna teks  atau terjemahan. Memahami teks saja seringkali menyimpang dari makna yang benar. Contoh Q.S. Al-Baqarah/2 ayat 191:

وَا قْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَ خْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَا لْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَـرَا مِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِ ۚ فَاِ نْ قٰتَلُوْكُمْ فَا قْتُلُوْهُمْ ۗ كَذٰلِكَ جَزَآءُ الْكٰفِرِيْنَ

Artinya:

"Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir."

     Kalau ayat ini hanya dipahami secara tekstual, maka akan termaknai secara salah yaitu seorang Muslim boleh membunuh orang kafir dimana saja bertemu. Ini suatu kesimpulan yang bertentangan dengan pesan sesungguhnya ayat Al-Qur`an. Oleh karena itu, dalam memahami ayat yang demikian ini, jangan lepaskan makna tekstual dari konteks sosial-historis ketika ayat ini diturunkan. Di sinilah kita perlu mempelajari sirah Rasulillah Saw., dan para sahabat.

        Konteks ayat ini sesungguhnya adalah situasi konflik bersenjata (perang) antara pasukan Muslimin yang dipimpin Rasulullah berhadapan dengan kaum Musyrikin Makkah. Jadi, konteksnya bukan situasi masyarakat yang damai. Dalam situasi perang maka bunuhlah pada jalan Allah (fi sabilillah) musuh yang memerangi kaum Muslimin di mana saja berjumpa. Namun orang yang tidak memerangi kamu (memilih berdamai) jangan diperangi. 

        Ayat di atas ini akan semakin dipahami maksud-maksud idealnya dengan membaca Hadits terkait serta pandangan para sahabat era Nabi Saw tentang perang fi sabilillah. Umar bin Khattab r.a., menegaskan bahwa dalam perang fi sabilillah tidak boleh memerangi anak-anak, orang-orang tua, dan mereka yang bertahan di rumah-rumah ibadah. Perang fi sabilillah adalah perang membela agama Allah, bukan perang balas dendam. Perang jihad fi sabilillah adalah perang syahid. Perang pembuktian syahadat.

    Sebagai pintu masuk ke dalam pemahaman kontekstual ayat Al-Quran, ulama terdahulu telah membantu kita dengan konsep/teori makkiyah-madaniyyah, dan asbabun nuzul. Konsep ini adalah pengantar awal untuk memahami konteks sosio-historis (sosial-kesejarahan) ayat Al-Qur`an saat diturunkan. Kalau ingin lebih serius dapat menerapkan pendekatan studi Islam kontemporer dalam memahami ayat Al-Qur`an seperti pendekatan sosiologis, antropologis, hermeneutika, dan bahkan psikologis dan filsafat.

      Keempat, dari pemahaman konteks sosio-historis teruslah ber-tadabbur ke lokus ide sosial-moral ayat-ayat (makna universal) Al-Qur`an. Kalamullah yang menggunakan bahasa manusia sesungguhnya adalah simbol pengungkapan makna ideal-moral atau makna-makna universal, bahkan pandangan dunia (world view) yang  menjadi visi dan cita-cita Al-Quran untuk diterapkan.

  Kelima, dari ide sosial moral, teruskan pendalaman ke lubuk pengetahuan 'irfani Al-Quran dengan menerapkan manhaj ma'rifah al-qalbiyyah. Cara terakhir ini tentu saja hanya dapat dilakukan oleh ilmuan yang shalih dan berhati bersih. Dengan manhaj ma'rifah al-qalbiyyah, seorang hamba akan memperoleh rahmat ilmu hudhuri atau ilmu ladunniy yang datang dari balik tabir. Pengetahuan terakhir ini akan menyempurnakan pemahaman tekstual dan kontekstual ayat-ayat Al-Quran. Allahu a'lam.
___________________

*Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com

Gambar: 
Konsultasi tentang Penetapan Tarif Pendapatan BLU UIN Syahada Padangsidimpuan, Wisma PHI Jakarta Pusat, 4 Maret 2024.
Selengkapnya