MENCAPAI PUNCAK MAKNA TAHMID (PUJIAN KEPADA ALLAH) DALAM SHALAT: SUATU PENCARIAN INDUKSI-IRFANI



"Di atas tasbih ada tahmid. Di atas tahmid ada  syukur. Di atas syukur ada ridha
Di atas ridha ada cinta."
*******

Kita menemukan bacaan tahmid hampir di semua gerakan shalat. 
Pertama, saat berdiri membaca Al-Fatihah. 
Kedua,  saat rukuk
Ketiga, saat i'tidal (bangkit dari rukuk)
Keempat, saat sujud pertama
Kelima, saat sujud kedua
Keenam, saat duduk tasyahhud.

Saat tasyahhud (membaca At-tahiyyat), kita membaca "At-tahiyyatul mubarakatush shalawatuth thayyibatu lillah... (Segala kehormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan untuk Allah...) atau At-tahiyyatu lillahi wash-shalawatu wath-thayyibat...(Segala kehormatan milik Allah, begitu pula shalawat dan kebaikan...). Kalimat awal tasyahhud ini berisi lafaz pujian yang agung. Meskipun secara tekstual (harfiah) bunyi bacaanya bukan tahmid (pujian), tapi maknanya adalah pujian/sanjungan hamba yang penuh hormat (agung) kepada Allah. 

Menarik melihat kaitan kalimat awal tasyahhud ini dengan bacaan tahmid saat i'tidal. Perlu digarisbawahi bahwa berdiri saat i'tidal adalah satu-satunya gerakan shalat yang secara khusus diperuntukkan untuk membaca lafaz tahmid yang sempurna. Di antara bacaan tahmid yang lafaznya memiliki kesamaan dengan tasyahhud adalah "Rabbana lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih". Kalau bacaan i'tidal ini disandingkan dengan bacaan tasyahhud "At-tahiyyatul mubarakatush shalawatuth thayyibatu lillah" atau "At-tahiyyatu lillahi wash-shalawatu wath-thayyibat", maka terdapat lafaz-lafaz yang memiliki kesamaan makna yaitu thayyiban <-> thayyibat dan mubarakan <-> mubarakat. Di sinilah tampak bahwa saat kita duduk tasyahhud ternyata kita mengawali bacaan dengan megucapkan lafaz pujian yang agung. Dan ---Allahu a'lam--- saat tasyahhud inilah posisi spiritual seorang hamba bagaikan duduk di puncak mi'raj, menghadap Allah, lalu mengucapkan simpul kalimat tahmid, "Attahiyyatu...". Ingat kalimat para sufi, "Ash-shalatu mi'raj al-mu'minin" (Shalat itu mi'rajnya orang beriman).

Marilah kita renungkan! Mungkinkah kita mencapai makna terdalam tahmid jika hati, pikiran dan pandangan kita masih belum bersih dari syirik? Tentu saja tidak mungkin. Seorang musyrik yang memuji Allah tak obahnya orang yang berpura-pura menyanjung Kemahaagungan Allah. Pujian seorang  musyrik ini sebenarnya pujian palsu, yaitu pujian yang tidak murni, tidak tulus dan tidak ikhlas. Dengan demikian, tazkiyatun nafs (kesucian jiwa) dari segala kesyirikan [dan juga dosa-dosa] menjadi tangga untuk sampai kepada puncak tahmid.

Atas alasan inilah mengapa kita nyatakan bahwa tahmid (pujian) yang sempurna hanya mungkin dicapai oleh muslim yang tasbih-nya sempurna pula. 

Jadi, kita tidak mungkin mendapatkan makna hakiki tahmid, jika tasbih kita belum benar dan lurus. Tasbih yang benar dan lurus adalah tasbih mereka yang bersih dari syirik dan bertobat dari perbuatan dosa.

Tahmid, sebagaimana disinggung di atas berisi pujian/sanjungan kepada Allah. Tahmid yang tulus melahirkan kondisi hati yang bersyukur. Oleh karena itu, mengucapkan pujian yang tulus kepada Allah sama dengan mengucapkan syukur atas curahan kasih sayang Allah berupa nikmat dan rahmat yang tiada terhitung.

Renungkanlah, syukur yang dalam akan membuat kita ridha. Yaitu ridha atas nikmat dan ujian Allah. Allah-pun ridha kepada hamba-Nya. Ridha hamba yang semakin tulus akan melahirkan cinta kepada Allah (lihat QS Al-Baqarah ayat 165). Ingat bahwa hamba-hamba yang beriman bersangatan cintanya kepada Allah (walladzina amanu asyaddu hubban lillah). Sebaliknya, balasan cinta Allah kepada hamba-Nya tentu jauh lebih bersangatan lagi.

Jadi, dapatlah ditegaskan di sini bahwa pujian untuk Allah (tahmid) dalam shalat itu akan berpuncak pada cinta. 

Dengan demikian, di atas tasbih ada tahmid. Di atas tahmid ada syukur. Di atas syukur ada ridha. Di atas ridha ada cinta. Allahu a'lam.


Tanggapan pada WAG "FTIK Excellent dan Ceria":

Muhammad Ichsan: Kalau saya lebih sepakat untuk menyebutkan: Puncak dari keseluruhannya dimulai dari cinta karena dengan mahabbah kita dapat bertasbih, dapat mengungkapkan rasa syukur baik syukur lisan atau perbuatan.  Kalau kami menilai bukan cinta yang akhir dari kesemua tersebut, akan tetapi cinta yang menjadi pemicu pertama untuk melahirkan tahmid dan lain sebagainya.🙏🙏

Suheri Rangkuti: Sejatinya filsafat Islam dibuat membaca realitas, untuk menghadirkan sesuatu yg baru. Jika konstruk filsafatnya seperti ini haya akan mengulang-ulang yg sudah ada.

Penulis: Barakallah...wa jazakumullah respon positifnya.
Sekaligus menjawab adinda S Ray.
------ Artikel singkat ini sebenarnya membaca realitas tahmid yang ada dalam shalat.
-----Kalau kita mulai secara induktif melihat riil tahmid dalam shalat, maka kita akan jumpai ternyata tahmid adalah lafaz yang paling sering diulang dalam shalat.
-----Selanjutnya, ketika kita menyelam ke dalam tahmid menggunakan nalar irfani, apa yg akan ditemukan?
-----Hamba dapat menemukan bahwa tahmid bermakna syukur.
-----Setelah syukur yang ikhlas, apa selanjutnya? Hamba dapat menemukan ridha.
------Setelah ridha, apa lagi? Hamba dapat menemukan cinta.
-----Benarkah ini? Secara empirik, kebenaran hal ini dapat dikonfirmasi melalui pengalaman ibadah masing-masing hamba.

Suheri Rangkuti: Bukankah hal seperti ini sudah dibahas tuntas oleh al-Ghazali pak.
Kecuali bapak mencoba mengkritik al-Ghazali misalnya menggunakan pendekatan 'irfani yg lebih canggih, mungkin saja kita menemukan hal baru.

Penulis: Saya sangat yakin sudah ada. Krn kita sendiri pun sangat dipengaruhi olh ulama-ulama kita itu. Tapi ----sebagai awam--- kita ingin belajar memverifikasi.

Irwan Saleh Dalimunthe: Apapun jua saling menguatkan satu sama lain sangat berguna. Maka karya sekecil apapun akan bermanfaat. Apalagi para audiens tidak semua dapat menjangkau hal besar maka tulisan satu dua paragraf juga bermanfaat. Tentu polemik konstruktif seperti ini juga mesti muncul, sebab dengan itu kita saling meningkatkan dan memberi motivasi untuk menemukan tradisi baru meraih kebesaran. Insya Alloh segala niatan yang tulus akan menguatkan dan memberi berkah.

Suheri Rangkuti: misalnya, Amin Abdullah mengeritik etika al-Ghazali dan Imanuel Kant,
dengan menawarkan integrasi.
Karena baik buruk menurut al-Ghazali ditimbang oleh hati. Sementara Imanuel Kant menganggap bahwa baik buruk ditimbang oleh akal praktis. Amin Abdullah menawarkan integrasi akal dan hati.

Metodologi baru itu kemudian dikembangkan lagi dengan sebutan integrasi interkoneksi.

Muhammad Ichsan: (Tanggapan terhadap Suheri Rangkuti). Lanjutan dari integrasi interkoneksi ini seharusnya dikembangkan lagi Buya Godang, sehingga melahirkan konstruksi baru dalam pengembangan teori.😁🙏🙏

(Tanggapan terhadap Penulis: "Saya sangat yakin..."). Merekonstruksi yang baru itu bagus tentunya dengan menjaga perkara yang lama, sehingga pertemuan antara keduanya akan melahirkan energi yang komplit.
Syukran pak atas umunisi-amanusi baru yang memberikan semangat baru kepada kami 🙏🙏

Irwan Saleh Dalimunthe: Kita tunggu semua karya dari yang kecil hingga Akbar... Kami selalu menunggu hal-hal yang bersifat konstruktif.

Penulis: (Tanggapan terhadap Muhammad Ichsan, juga selanjutnya terhadap Suheri Rangkuti, bang Irwan Saleh): Sama-sama ustadz.
Berbeda cara pandang banyak orang terhadap ibadah shalat ini. 
>>> Ada yg memandang shalat ini ibadah biasa saja.
---- Tapi saya yakin kita di grup ini memandang ibadah ---yg disebut Nabi Saw sebagai tiang agama--- ini adalah ibadah yg istimewa.
---- Olh krn istimewa, maka tetap menarik dikaji mendalam.

Dalam beberapa artikel singkat, saya mencoba menggunakan pendekatan filosofi-sufistik dengan metode penalaran induksi-irfani.

Pendekatan filosofi-sufistik (dapat juga disebut tasauf-filosofis) ini kita maksudkan sbb:
Shalat --sebagai objek kajian-- dikaji dari sudut ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Penalarannya menggunkan induksi-irfani.
---Untuk diingat, induksi itu adalah penalaran yg dimulai dari melihat objek-objek partikular (khusus) menuju penyimpulan umum/substantif.
---Lalu mengapa dikaitkan dengan 'irfani? Karena ketika melihat objek-objek partikular itu, kita melibatkan perasaan batin (dzauq) kita yang mendalam.

Contoh pada artikel di atas adalah fakta-fakta partikular tahmid. Tahmid ini ada pada beberapa tempat dalam shalat. Dengan menerapkan pendekatan dan metode penalaran yang kita maksudkan, maka pertanyaan-pertanyaan berikut penting diajukan:
  • Secara ontologis, apa hakikat tahmid ini?
  • Secara epistemologis, dengan berulangnya tahmid ini, bagaimana zikir ini (tentu saja bersama lafaz takbir dan tasbih) membentuk pengetahuan 'irfani kita tentang Allah?
  • Secara aksiologis, nilai apa yang ingin dibentuk oleh zikir-zikir yang berulang ini dalam kepribadian kita?
Kalau pendekatan filosofi-sufistik ini menerapkan metode penalaran induksi-irfani, maka insya Allah, Allah memberi ruang untuk cakrawala pengetahuan yg lebih luas.

Syukur kpd Allah, sering kali dalam pencarian itu, Allah membahagiakan hati kita dengan suatu keadaan. Misalnya, apa yang diilhamkan Allah ke dalam pikiran kita saat kita mencari, ternyata sama dengan yang pernah dituliskan oleh ulama kita berabad-abad yg lampau. Allahu Akbar. Begitu kira-kira adindaku ustadz Ichsan dan ustadz S.Ray, bg Iwan dan Jamaah WAG sekalian.🙏

Jadi, meskipun ilmu yg terilhamkan kepada kita adalah pengulangan, tapi pengulangan yang serasa mendapat pembenaran dari ulama yang mumpuni. Betapa ini nikmat yang luar biasa nilainya. Allahu ya 'Alim, subhanaka la 'ilma lana illa ma 'allamtana...🤲

Muhammad Yusuf Pulungan: Relaksasi dulu pak warek dua. Nonton bola.

Penulis: Hehhh... diskusi ini lebih dari relaksasi. Insya Allah.

Gambar:
Pemandangan langit Sumatera Utara. Diambil dari pesawat Citilink dari Kualanamu menuju Pinangsori pada 11 November 2022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DAKWAH KEMANUSIAAN SEMESTA: PESAN MILAD AISYIYAH 107 TAHUN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته   الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن ولهه  Yth., Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah S...