Senin, 03 Oktober 2022

KEBENARAN: PERSPEKTIF FILSAFAT KEILMUAN TEOANTROPOEKOSENTRIS



"Kebenaran itu pada hakikatnya berada di lubuk hati terdalam setiap orang. Ia dapat dialami dan dirasakan. Ia bahkan suatu energi psikis yang dapat mempengaruhi jiwa setiap orang. Buktinya, ketika suatu kebenaran dikhianati atau disia-siakan, jiwa setiap orang terganggu."

*******


Kebenaran  itu pada hakikatnya berada di lubuk hati terdalam setiap orang. Ia dapat dialami dan dirasakan. Ia bahkan suatu energi psikis yang dapat mempengaruhi jiwa setiap orang. Buktinya, ketika suatu kebenaran dikhianati atau disia-siakan, jiwa setiap orang terganggu. Bahkan lebih dari sekedar energi psikis, kebenaran adalah fitrah kemanusiaan. Kebenaran itu telah dipatronkan oleh Allah secara natural ---melalui peniupan ruh--- kepada manusia. Nabi Saw., menegaskan, "Kullu mawludin yuladu 'alal fithrah, fa abawahu yuhawwidanihi aw yunashshiranihi aw yumajjisanih". (Setiap anak terlahir dengan patron fitrah. Orang tua/wali asuhnyalah yang membuat dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi). Fitrah itu sendiri, menurut Imam Ghazali, "Al-mailu ila al-haqq". (Kecondongan kepada kebenaran). Fitrah inilah yang membuat setiap manusia mendamba kebenaran yang sumber mata airnya berasal dari Allah SWT. Allah berfirman, Al-haqqu min rabbika fala takunanna minal mumtarin. (Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu. [QS Al-Baqarah: 147]).

Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran hakiki (haqq al-yaqin) itu bersumber dari Allah. Kebenaran seperti ini bersifat universal dan menyejarah menjadi penyangga nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena demikian, orang pun rela berkorban mempertaruhkan nyawa untuk memperjuangkan tegaknya kebenaran.

Kebenaran hakiki demikian ini berada di atas kebenaran filsafat dan sains. Kebenaran filsafat adalah kebenaran yang bersumber dari lubuk perenungan akal/rasio. Kebenaran filsafat ini berada di atas kebenaran sains. Sementara kebenaran sains sesungguhnya tak lebih dari kebenaran persamaan (equation). Ingat, semua pekerjaan ilmiah harus berakhir pada konklusi (kesimpulan). Konklusi itu maknanya adalah "persamaan". Misalnya, jika suatu hipotesis terbukti, maka hal ini bermakna atau "sama dengan" Ha (hipotesis alternatif) diterima.  Kesimpulan penelitiannya yaitu (sama dengan) terdapat hubungan/pengaruh variabel x terhadap y. Atau sebaliknya, jika Ha tidak terbukti, maka hal ini bermakna atau "sama dengan" Ho (hipotesis nihil) terbukti. Artinya, tidak terdapat hubungan/pengaruh variabel x terhadap y. Teori-teori sains juga selalu digambarkan dengan suatu persamaan (equation). Ingat misalnya teori relatifitas Einstein yang sangat terkenal: E=MC2. Begitu pula dalam penalaran matematika, selalu menggunakan persamaan.

Dalam penelitian kualitatif pun demikian. Konklusi yang diambil "sama dengan" fakta kualitatif yang sesungguhnya. Misalnya, ketika seorang peneliti mencari jawaban kualitatif tentang pandangan mahasiswa di suatu perguruan tinggi terkait "Masa Depan Pancasila sebagai Dasar Negara" maka kesimpulannya "sama dengan" deskripsi kualitatif inner perspective (perspektif pokok) mereka tentang masa depan Pancasila sebagai dasar Negara.

Di atas disebutkan bahwa kebenaran universal menyejarah menjadi penyangga nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan ini selanjutnya terobjektifikasi menjadi nilai-nilai kebenaran filsafat dan sains. Oleh karena itu, kebenaran sains sesungguhnya objektifikasi dari kebenaran kemanusiaan.

Kesimpulan sains yang salah apa lagi palsu akan membuat rasa insaniyah (kemanusiaan) kita terganggu.

Secara top down, kebenaran hakiki (empirik-transendental) adalah kebenaran tertinggi. Di bawahnya adalah kebenaran rasional-filosofis (empirik-etik dan estetik). Di bawah kebenaran rasional-filosofis yaitu kebenaran ilmiah (empirik-logik). Dan di bawah kebenaran ilmiah adalah kebenaran indrawi (empirik-sensual).

Gambar: 
Foto bersama setelah bimbingan teknis perkuliahan PPG UIN Syahada Padangsidimpuan 01 Oktober 2022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar