Kamis, 28 Juli 2022

STRATA DAN TEORI KEBENARAN



Strata Kebenaran
Strata kebenaran artinya tingkatan kebenaran. Kebenaran itu secara empirik bertingkat, mulai dari yang rensah sampai yang tinggi. Dalam Al-Quran, ada contoh abstraksi tingkatan kebenaran, mulai dari kebenaran tingkat rendah, tengah dan tinggi. Contoh hal ini dapat dipahami ayat Al-Qur'an berikut:

وَجَزٰٓ ؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚ فَمَنْ عَفَا وَاَ صْلَحَ فَاَ جْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim."
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 40)

Dalam petikan ayat di atas, kebenaran tingkat rendah adalah membalas kejahatan orang lain dengan balasan setimpal. Kebenaran tingkat tengah yaitu memaafkan kejahatan dengan tidak membalas. Sementara kebenaran tingkat tinggi yakni merespon kejahatan dengan perbuatan baik 

Noeng Muhadjir membagi tingkatan kebenaran kepada:
  1. Kebenaran empirik-sensual
  2. Kebenaran empirik-logik
  3. Kebenaran empirik-etik
  4. Kebenaran empirik-transendental
Kebenaran empirik-sensual maksudnya kebenaran yang hanya dapat dibuktikan melalui sens (pengalaman) indra, tanpa perlu pembukrian rasio/logika. Di sini berlaku teori kebenaran korespondensi.

Kebenaran empirik-logik maksudnya kebenaran yang masih terjangkau oleh indra, tapi harus dibantu oleh kaidah berpikir logik. Misalnya proposisi yang berbunyi: "Makanan pokok orang Sumatera adalah nasi." Proposisi ini benar setelah rasio membuat kesimpulan berdasarkan fakta-fakta empirik tunggal bahwa setiap orang berbagai suku di Sumatera maka  nasi. Contoh lain: "Bulan lebih besar dari lingkar roda kereta kuda". Pernyataan ini benar berdasarkan bukti indrawi yang dibantu analisis rasio.

Kebenaran empirik-etik yaitu kebenaran yang masih terjangkau indra (bersifat empirik) namun harus diukur berdasarkan perspektif nilai-nilai etika. Contohnya, "tindakan seseorang yang berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepada dirinya." Tindakan yang bersifat empirik ini benar secara etis, bahkan secara estetis. Dinilai demikian, karena orang dimaksud mampu melakukan tindakan tertinggi (termulia) dalam menyikapi keburukan yang dialaminya.

Kebenaran empirik-transendental yaitu kebenaran empirik yang kebenarannya diasaskan kepada nilai-nilai transensental (wahyu). Misalnya, untuk menguji kebenaran pernyataan: "Semua manusia pada hakikatnya memiliki keyakinan Ketuhanan", maka Pernyataan ini benar dalam perspektif transenden (wahyu atau mistik). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30 disebutkan bahwa Allah menciptakan (membentuk) manusia di atas landasan fitrah (agama yang lurus).

Teori-teori Kebenaran
Teori-teori kebenaran muncul seiring dengan perkembangan filsafat keilmuan. Metode berpikir ilmiah yang pertama kali muncul adalah metode deduktif. Ukuran kebenaran dalam metode berpikir deduktif adalah koherensi (konsistensi) proposisi atau pernyataan yang digunakan. Inilah teori kebenaran yang pertama, yaitu teori koherensi. Teori koherensi didefiniskan sebagai teori kebenaran yang berpandangan bahwa suatu proposisi (pernyataan) benar jika kebenaran pernyataan dimaksud koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Teori koherensi ini adalah teori dalam filsafat rasionalisme.

Teori kebenaran yang muncul pasca koherensi adalah teori korespondensi. Teori ini muncul dalam filsafat empirisme. Teori ini berpandangan bahwa suatu pernyataan (proposisi) dipandang benar jika pernyataan dimaksud berkorespondensi (berhubungan) dengan fakta empirik (fakta di lapangan). dengan demikian, ukuran kebenaran di sini adalah fakta empirik. Jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan fakta empiriknya, maka pernyataan itu salah. Oleh karena itu, dalam teori ini pernyataan harus disusun berdasarkan fakta-fakta empirik (fakta-fakta lapangan).

Di sisi lain, tampaknya berbarengan dengan kemunculan teori korespondensi, muncul pula teori pragmatis. Pragmatis artinya kegunaan. Teori ini tidak tertarik kepada pencarian ilmu yang tidak memberi guna/manfaat praktis-pragmatis bagi manusia. Bagi teori kebenaran pragmatis, kebenaran ilmiah tergantung kepada kegunaan atau manfaat praktis-pragmatis bagi hidup jasmaniah dan psikis-behavioris manusia. Jika proposisi atau pernyataan keilmuan dapat diuji sisi manfaat atau kegunaannya bagi hidup manusia, maka pernyataan itu benar.

Teori kebenaran yang lebih modern adalah teori performatif. Kebenaran ferformatif didasarkan kepada pembuktian pernyataan prediksi ilmiah atau planning ilmiah di masa depan. Jika suatu pernyataan prediktif atau planning terbukti di masa depan maka pernyataan itu dipandang benar. Namun, jika tidak terbukti, maka pernyataan itu dipandang salah. Teori ini sebenarnya bentuk lain dari teori korespondensi. 

Di era posmodern, muncul pula teori paradigmatif. Teori ini didasarkan kepada kenyataan bahwa perkembangan atau bahkan revolusi ilmu didasarkan kepada paradigma ilmiah tertentu. Thomas Samuel Kuhn berpandangan bahwa revolusi ilmu pengetahuan bukan karena akumulasi ilmu, tapi karena perubahan paradigma ilmu. Suatu waktu paradigma lama tidak mampu lagi menjawab dinamika perkembangan keilmuan, akhirnya usang, maka muncullah paradigma baru  sehingga memicu loncatan pengetahuan baru pula. Cukup lama paradigma positivistik dipandang benar dalam memahami manusia. Namun belakangan, paradigma positivistik ini dipandang banyak ahli mengandung sejumlah kelemahan dalam memahami manusia. Akhirnya muncul paradigma interpretif-fenomenologis menggantikan paradigma positivistik dalam dunia sosiologi. Suatu pernyataan keilmuan bisa benar menurut paradigma lama, namun dapat salah menurut paradigma yang baru.

Gambar: Titik Nol Masuknya Islam di Nusantara, Barus, 23 Agustus 2022. Foto bersama usai Safari KKL Mahasiswa UIN Syahada Padangsidimpuan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar