Paradigma diartikan sebagai mode of thought (mode berpikir).
Setiap orang tentu memiliki mode berpikir tertentu. Mode berpikir ini akan mencoraki dan mengarahkan cara
berpikir dalam memahami setiap objek yang dipelajari atau diteliti.
Jadi mode of thought ini selanjutnya akan menentukan mode of inquiry.
Orang Arab Jahiliyah tentu saja juga memiliki mode berpikir
atau paradigma keilmuan tertentu. Paradigma keilmuan ini akan mencoraki bentuk
pengetahuan atau keilmuan mereka dalam memahami setiap objek, apakah objeknya Tuhan, manusia atau alam semesta. Bagaimana pandangan ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan mereka tentu
bergantung kepada paradigma berpikir yang mereka anut.
Filosofi berpikir Arab Jahiliyah dapat disebut sebagai
filosofi ad-dahriyyah. Istilah ini terambil dari kata ad-dahr (waktu, masa).
Dalam Al-Quran surat Al-Jasiyah/45 ayat 24 kaum Jahiliyah berkata, “... wama
yuhlikuna illa ad-dahr...” (... tidak ada yang membinasakan kami kecuali
waktu...). Jadi, meskipun mereka percaya bahwa Allah pencipta langit dan bumi,
tetapi mereka tidak yakin bahwa Allah-lah yang menghidupkan, mematikan, apa
lagi membangkitkan kembali. Mereka juga tidak percaya hari Kiamat dan
pertanggung jawaban di hadapan Tuhan. Hal demikian ini terkonfirmasi pada ayat Al-Quran
berikut:
وَقَا لُوْا
مَا هِيَ اِلَّا
حَيَا تُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ
وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَاۤ اِلَّا
الدَّهْرُ ۗ وَمَا
لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ ۚ اِنْ
هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ
"Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain
hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang
membinasakan kita selain masa." Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang
itu, mereka hanyalah menduga-duga saja." (Al-Jasiyah/45: 24).
Dengan demikian, filosofi hidup mereka mirip dengan filosofi hidup kaum materialis era modern yang tidak mempercayai hari berbangkit dan memandang kehidupan itu hanya di
dunia ini saja. Perbedaannya, kaum Jahiliyah masih percaya adanya Tuhan, sementara kaum materialis tidak percaya sama sekali.
Dengan filosofi hidup seperti ini maka sumber kebenaran bagi
mereka hanyalah tradisi Jahiliyah yang ditopang kepercayaan paganis
(penyembahan berhala). Mereka membangun pengetahuan tentang Tuhan, manusia dan alam dalam konteks paganisme dan nilai-nilai hidup Jahiliyah. Selanjutnya Ilmu pembangunan peradaban mereka ditujukan untuk mengukuhkan tradisi Jahiliyah yang paganis. Oleh karena itu pemahaman dan pemikiran keilmuan mereka dalam berbagai aspek didasari
oleh keyakinan pada nilai-nilai tradisi Jahiliyah dan paganisme. Dua hal pokok inilah yang
menjadi pijakan paradigma berpikir Arab pra Islam.
Cerminan pandangan peradaban mereka dapat dilihat pada bangunan
struktur sosial masyarakat Jahiliyah berupa struktur kesukuan (pederasi
suku-suku). Suku besar akan melindungi suku yang lemah dan kecil. Sebagai
imbalan, suku lemah dan kecil ini membayar upeti kepada suku besar. Suku besar
mengatur jalannya kehidupan sosial dan ekonomi di bawah kekuasaan pederasi
kesukuan. Suku besar ini juga memiliki kebebasan menjalankan aneka praktik
ekonomi mulai dari praktik riba sampai kepada perdagangan manusia (perbudakan).
Secara aksiologis, ukuran nilai kemuliaan seseorang bagi mereka dilihat dari
kekayaan harta, banyaknya anak dan kebangsawanannya.
Bagi Arab Pra Islam ini, pengetahuan yang benar hanyalah
pengetahuan yang diasaskan kepada tradisi Jahiliyah dan kepercayaan paganis.
Selain itu harus ditentang.
Atas dasar inilah mereka menentang pengetahuan yang diasaskan
kepada tauhid. Berikut segala pengetahuan yang menjadi turunannya yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Bahkan wahyu Al-Quran, bagi mereka, tak lebih dari asatir al-awwalin (dongeng
nenek moyang [Al-An'am/: 25; Al-Anfal/8: 31]) yang tidak bermanfaat sama sekali bagi kehidupan dan masa depan
mereka. Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar