Jumat, 11 Februari 2022

MENDAYAGUNAKAN HATI DALAM MENGGAPAI SHALAT KHUSYUK



Al-Quran memberi tuntunan tentang shalat khusyuk. Bahkan istilah khusyuk sendiri berasal dari Al-Quran. Dalam surat Al-Baqarah ayat 45 disebutkan:

وَا سْتَعِيْنُوْا بِا لصَّبْرِ وَا لصَّلٰوةِ ۗ وَاِ نَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَ 

"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,"

Kemudian pada ayat 46 surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَ نَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ

"(yaitu) mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya."

Khusyuk artinya tunduk, yaitu tunduk hati kepada Allah SWT. Sejalan dengan khusyuk ini, Allah juga membimbing kita agar tadharru' (rendah hati), khufyah (lemah lembut), khauf (takut), thama' (penuh harap).

Hal ini difirmankan Allah dalam surat Al-A'raf ayat 55 dan 56.

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."

Selanjutnya pada ayat 56, Allah Subhanahu wa Ta'ala  berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا وَا دْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."

Keadaan tadharru'  (rendah hati), khufyah (lemah lembut), khauf  (rasa takut),  dan thama' (penuh harap) ini hanya mungkin diperoleh dengan mendayagunanakan qalbu (hati), dan mengendalikan akal. Oleh karena itu ketika shalat maka hati mesti didominankan untuk "mencerna" shalat. Jika akal yang dominan, maka pikiran akan menalar objek yang bermacam-macam dan dapat menyandra kesadaran batini kita dalam shalat. Dengan mendayagunakan hati dalam shalat maka terasa terjadi penyeimbangan akal dan hati.

Hati (qalbu) adalah salah satu elemen psikologis yang amat penting bagi manusia. Hati yang dimaksud di sini bukan lever (hati dalam pengertian fisik), tapi ---mengutip Imam Ghazali--- sesuatu yang halus (luthf) dan bersifat rabbaniyah (memiliki keterhubungan dengan Tuhan). Hati yang halus ini disebut oleh Allah dapat memahami (lahum qulubun la yafqahuna biha= bagi mereka ada hati tetapi tidak mereka gunakan untuk memahami ayat Allah). Lihat surat Al-A'raf ayat 179. 

Cara hati memahami tentu berbeda dengan cara akal. Jika akal memahami dengan cara memikirkan, menganalisa, membandingkan, mengkritisi, menyimpulkan dan sebagainya, maka hati memahami dengan cara merasakan, menghayati, meresapi dan menyadari.

Oleh karena itu terkait dengan shalat khusyuk, mari kita mendayagunakan hati semampunya dalam memahami semua apa yang kita baca dalam shalat hingga kita suatu saat benar-benar connecting dengan pusat kesadaran yang berwadah di qalbu masing-masing.

Jika akal yang dominan dalam shalat, maka sering kali kita tidak sopan (tuna adab) di hadapan Allah. Kasus tuna adab ini sering menimpa mereka yang memiliki paham fikih yang masih sempit. Sebagai contoh, saat mengikuti shalat berjamaah ada saja jama'ah yang berperan layaknya "juri" dalam MTQ. Alih-alih menundukkan hatinya kepada Allah, justru pikirannya berisik dengan ungkapan-ungkapan, "Bacaan imam ini buruk", "Tajwidnya berantakan", "Pakaiannya tidak sesuai Sunnah", dan lain sebagainya. Pada hal ia sedang berada di atas sajadah menghadap kepada Allah.

Orang-orang yang shalih dan dekat kepada Allah berlindung kepada-Nya dari keadaan Shalat yang bermasalah ini. Itulah sebabnya para ulama yang shalih bertobat dari keadaan shalat dan zikir yang dikendalikan oleh liarnya akal pikiran dimaksud. Mereka sependapat dengan ungkapan berikut, "Taubatul 'awwam minadz dzunub, wa taubatul khawwas minal ghaflah". (Taubat orang biasa itu dari dosa-dosa, sementara taubat orang khusus/shalih yakni dari lalai mengingat Allah).

Di akhir shalat kita dituntun untuk beristighfar. Orang-orang shalih beristighfar (memohon ampun) kepada Allah dari kelalaiannya mengingat Allah yang disebabkan oleh ketunaan adab yang menimpanya saat shalat. Salah satu contoh istighfar dimaksud: Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah. Allahumma antas salam wa minkas salam, tabarakta ya dzal jalali wal ikram (Aku mohon ampun kepada Allah, Aku mohon ampun kepada Allah, Aku mohon ampun kepada Allah. Ya Allah, Engkaulah keselamatan, dari-Mu-lah keselamatan, Maha Berkah Engkau wahai yang Maha Mulia dan Pemilik Kemuliaan).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar