Minggu, 21 November 2021

MENYIKAPI PERBEDAAN MUHAMMADIYAH DAN NU DALAM IBADAH MAHDHAH


"Oleh karena itu, seorang Muslim yang dewasa akan melihat perbedaan ini sebagai sesuatu yang terjadi by nature (bagian dari takdir Allah), layaknya perbedaan etnis dan warna kulit pada manusia. Secara historis, perbedaan ini juga sudah bersifat laten. Bahkan sudah berabad-abad. Oleh karena itu sangat tidak arif jika ada orang berharap agar perbedaan peng-amal-an itu dinafikan."
*******

Dalam memahami ibadah yang benar, Muhammadiyah sangat mementingkan aspek praktikal-empirikal (juz'iyyat, hai'at dan kaifiyyat) ibadah sebagaimana dipraktikkan dan ditradisikan oleh Nabi Saw dan para sahabat. Contoh, ibadah zikir setelah shalat fardhu. Bagi Muhammadiyah, zikir dengan sirr (lirih) dan sendiri-sendiri adalah praktik terbaik yang mesti dicontoh dan ditradisikan dari generasi ke generasi. Mengapa? Karena Nabi Saw dan para sahabat secara empirik --sebagaimana dapat ditarik pemahaman dari banyak teks hadits-- melakukan dengan cara seperti itu. Muhammadiyah tidak menampik adanya hadits-hadits yang dapat dijadikan dalil bahwa zikir dengan suara jahar (nyaring) pernah dilakukan Nabi. Demikian pula Muhammadiyah tidak menampik bahwa ada dalil hadits yang dapat dijadikan alasan bahwa zikir dan doa berjamaah usai shalat jama'ah fardhu itu boleh dilakukan. Hanya saja ---secara praktikal-empirikal--- Nabi Saw dan para sahabat dipahami tidak mentradisikan zikir dan doa berjamaah usai shalat fardhu dimaksud. Hadits-hadits yang dijadikan dalil tentang zikir jahar dimaksud lebih bersifat kasuistik. Dengan demikian belum dapat ditarik suatu kesimpulan yang koheren (konsisten) untuk pembenaran zikir jahar dan berjama'ah dimaksud. Alasan pokok inilah yang jadi tumpuan Muhammadiyah untuk tetap berzikir dan berdoa sendiri-sendiri dan mentradisikannya di lingkungan warga dan simpatisan Muhammadiyah.

Sementara NU, yang memosisikan jam'iyah (organisasi)-nya penjaga tradisi Islam Nusantara, berpandangan bahwa zikir dan doa berjamaah usai shalat fardhu merupakan tradisi suci yang mesti dipelihara. Para ulama Nusantara diyakini tidak sembarangan dalam mewariskan tradisi agama, apa lagi soal ibadah. Meskipun secara eksoteris (bentuk luar), tradisi zikir berjamaah ini berbeda dengan tradisi Nabi Saw dan para sahabat, namun secara substantif dipandang sebagai bentuk pengamalan ibadah yang tidak bertentangan sama sekali dengan Sunnah Nabi. Bahkan, justru merupakan pengamalan dari Sunnah Nabi Saw yang secara parsial dapat ditemukan dalil-dalil hadits shahih yang mendukung. 

NU berpandangan bahwa perbedaan pengamalan zikir yang tampak pada permukaan itu tidak boleh serta-merta disimpulkan tidak sesuai dengan Sunnah. Hal ini karena esensinya tetap dalam rangka pengamalan Sunnah. Perbedaan-perbedaan pada permukaan itu terjadi dipandang sebagai  bentuk kecerdasan para ulama Nusantara dalam melakukan islamiasasi yang damai di bumi Nusantara ini. Jika bukan dengan cara seperti itu, maka Islamisasi Nusantara akan sulit diterima oleh penduduk yang tadinya beragama Hindu, Buddha, dan kepercayaan lain yang penuh dengan liturgi dan mantra-mantra spiritual.


Bagaimana Sikap Kita?

Sikap yang paling arif (islami) yaitu masing-masing tidak boleh memandang pengamalan ibadahnya paling benar, lalu menyatakan yang lain salah. Selanjutnya tidak arif pula untuk menyatakan yang satu Sunnah, lalu yang satunya lagi bid'ah. Esensi pokok yang mesti dilihat yakni kedua-duanya berupaya mengamalkan Sunnah Nabi, merindukan surga dan mencari keridaan Allah SWT.

Oleh karena itu, seorang Muslim yang dewasa akan melihat perbedaan ini sebagai sesuatu yang terjadi by nature (bagian dari takdir Allah), layaknya perbedaan etnis dan warna kulit pada manusia. Secara historis, perbedaan ini juga sudah bersifat laten. Bahkan sudah berabad-abad. Oleh karena itu sangat tidak arif jika ada orang berharap agar perbedaan peng-amal-an itu dinafikan. Selama perbedaan pemahaman tetap ada, maka perbedaan peng-amal-an juga akan tetap ada. Menyamakan pemahaman setiap kelompok umat Islam di muka bumi ini sama saja dengan menyamakan cara berpikir. Hal demikian ini tentu suatu kemustahilan, alias menentang takdir.

Dengan kesadaran yang sungguh-sungguh terhadap realitas perbedaan ini, maka mari kita tonjolkan semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), yang dalam konteks pesan ini yaitu berlomba-lomba dalam memahami ibadah dan mengamalkannya. Dalam perlombaan ini, mari pula kita tingkatkan terus interaksi masing-masing pihak sehingga perbedaan yang ada tumbuh kembang mendinamisasi ummat sehingga memberi konstribusi positif bagi ukhuwah dan peradaban ummat Islam. Allahu a'lam.



2 komentar: