Kamis, 18 November 2021

APAKAH KEMAMPUAN KEILMUAN KITA HANYA SEBATAS "SEJARAWAN IDE-IDE"?

Ungkapan "sejarawan ide-ide" ini berasal dari Michel Foucault (1926-1984) dalam Arkeologi Pengetahuan.

Pada umumnya, kemampuan keilmuan kita sebatas seorang "sejarawan ide-ide", yaitu kemampuan mengoleksi, menghubungkan, mengkomunikasikan, membandingkan, dan memilih ide-ide yang pernah ada. 

Semestinya harus berada di atas kemampuan seorang sejarawan ide-ide, yaitu kemampuan mengkomparasikan (atau mentarjihkan), menginterpretasikan, dan mensintesiskan ide-ide yang ada.

Bahkan lebih dari itu, mereka yang sudah berpendidikan  strata tiga semestinya memiliki kemampuan memproduk konsep, model atau teori baru.

Seorang "sejarawan ide-ide" baru mengerahkan kemampuan hafalan dalam aktifitas keilmuan, sementara anugerah Allah terhadap kemampuan akal dalam mendeduksi, mengapduksi dan menginduksi  belum didayagunakan dengan baik.

Di atas itu semua, Allah SWT memberi kita kemampuan menangkap makna yang jauh lebih abstrak dari sekedar abstraksi rasional. Kemampuan terakhir ini ---dalam bahasa sufistik--- disebut dengan kemampuan 'irfani (intuitif). Kemampuan terakhir ini akan mengantarkan seorang pencari ilmu dapat menangkap bentuk-bentuk abstraksi ilmu yang bersifat spiritual/ruhaniah. Tahap inilah yang dipandang sebagai tahap pencapaian ilmu yang utuh (kamil, paripurna).

Sangat banyak ilmuan Barat penasaran dengan kemampuan abstraksi ruhaniah ini. Akhirnya, di tengah keputusasaan mereka dalam menemukan metodologi yang koheren dalam tingkatan 'irfani (intuitif) ini, mereka mencampakkan tingkatan ilmu paling berharga ini dari paradigma rasional mereka. Dalam keputusasaan, mereka menyebut ilmu 'irfani ini bukan bagian dari ilmu pengetahuan (scientific knowledge). Allahu a'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar