Senin, 18 Oktober 2021

KEMAMPUAN KOLEKSI INFORMASI-PLUS DALAM PEMAHAMAN AGAMA

Dalam pengalaman mengikuti mudzakarah (diskusi keagamaan) pada berbagai tempat di Padangsidimpuan, secara umum tampak kemampuan mengkaji ilmuan agama kita (ulama) dalam menjawab masalah-masalah agama, baru pada tingkat koleksi informasi-plus. Manhaj seperti ini lazim disebut sebagai metode qawli, yaitu suatu metode mencari jawaban suatu masalah hukum agama dengan mencari qaul/wajh (ungkapan tekstual) kitab. 

Tidak jarang cara ini menemui kerumitan. Contoh kerumitan itu, ketika qaul/wajah yang dirujuk saling bertentangan. Memang telah ada kaidah/cara-cara penyelesaian yang dirumuskan oleh para ulama. Hanya saja, kaidah penyelesaian pertentangan teks ini seringkali tidak memuaskan nalar sehat kita, dan terasa tertinggal dengan metodologi yang lebih modern.

Satu hal hemat penulis yang perlu dijamah oleh ulama kita di daerah yaitu penggunaan nalar deduksi interpretis dengan menggunakan pendekatan hermeneutika dalam penalaran terhadap teks.

Contoh penerapan pendekatan ini sebagai mana pada pembahasan masalah hukum agama berikut:

Bagaimana status harta wakaf yang secara teks hadis mesti ditahan "pokok"-nya?

Dalam pembahasan "pokok" harta wakaf ini, secara qawli,  ada pendapat ulama yang melarang merubah "pokok" harta wakaf. Di sisi lain, ada yang membolehkan. Masalahnya di sini, kita tidak memperoleh penjelasan yang memuaskan, mengapa seorang ulama melarang  dan mengapa pula yang lain membolehkan. Terhadap masalah seperti ini perlu tinjauan lain terhadap status "pokok" harta wakaf dengan pendekatan deduktif-interpretif-hermeneutik.

Operasi metode ini, pertama, memahami status ontologis "wakaf" dengan menggunakan filsafat bahasa. Filsafat bahasa mengajarkan bahwa bahasa terbentuk memiliki struktur ide. Termasuk ke dalam hal ini bahasa Al-Qur'an. Ada ide primer (utama) dan ada ide sekunder.  Ada pula substansi dan ada materi, ushul dan furu',  kulli  dan juz'i, dll. Bahkan, bahasa itu memiliki anatomi ide yang bisa dipelajari.

Dalam bahasa agama, misalnya untuk membaca kemusliman, maka secara anatomi kebahasaan, dapat dilihat mulai dari 3 (tiga) ide pokok, yaitu    iman, islam dan ihsan. Hal-hal lain dalam Islam adalah perincian dari 3 ide pokok itu. 

Bagaimana dengan wakaf? Kata waqf (wakaf) sendiri tidak ditemukan penggunaannya dalam Al-Qur'an dan Hadits. Dengan demikian istilah ini dimunculkan oleh ulama dalam konteks sedekah, yang  berfungsi membedakannya dengan sedekah biasa yang bersifat limited dan insidentil.

Terkait perintah Allah menginfakkan rezki yang kita terima, maka berdasarkan penelusuran terhadap ayat Al-Qur'an dan Hadits yang berkaitan, dapat diketahui bahwa ada sejumlah ide turunan dari "perintah berinfak (anfiqu minma razaqnakum)". Ide-ide dimaksud yaitu sedekah, zakat, infak (dalam pengertian fikih), hibah dan hadiah. Dengan demikian, secara ontologi-kebahasaan, wakaf itu sebetulnya ide rincian dari ide tentang infak secara umum.

Oleh karena wakaf adalah bagian dari perintah berinfak, maka terhadap wakaf tentu pula berlaku aturan-aturan umum pembelanjaan harta (menginfakkan harta).

Kedua, melihat aspek epistemologi dan aksiologi harta wakaf. Dalam kaitan ini, dapat dilihat terlebih dahulu bagaimana perspektif pengelolaan infak 'am  dan pemanfaatannya dalam konteks mu'amalah. Selanjutnya, dijadikan pijakan umum dalam merumuskan pengelolalaan wakaf. Secara aksiologis (maqashid asy-syari'ah), mesti pula dipahami bahwa tujuan pokok wakaf adalah untuk kesejahteraan manusia lahir dan batin. Oleh karena itu wakaf tidak boleh dilepaskan dari konteks mu'amalah. Dengan demikian perlu memperhatikan asas manfaat dan maslahat dari materi wakaf.

Konklusinya: Perintah Nabi Saw untuk menahan "pokok" harta tidak mesti dipahami secara skriptural atau tekstual. Jadi mesti dipahami dalam konteks mu'amalah pembelanjaan rezki (infaq 'am). Jadi yang ditahan adalah nilai intriksiknya, bukan nilai ekstrinsiknya. Nilai ekstrinsiknya dapat saja berubah-ubah sesuai konteks bermu'amalah.

Khatimah

Hemat penulis, metode deduktif-interpretif ini akan memperkaya sudut pandang, sehingga kita tidak hanya berhenti pada kaidah al-jam'u wattaufik dalam menganalisis teks/nash agama yang tampak bertentangan sementara sama-sama shahih.

Di sini kita diperlihatkan bahwa pendekatan bayani klasik perlu dipadu dengan deduktif-interpretif-hermeneutik.

Allhu a'lam bi al-shawwab.


2 komentar:

  1. Ma syaa Allah, bagus dan runut penjelasannya, Pak, membuat betah membacanya dan menginspirasi.

    Baarakallaahu fiik, Pak Warek.

    BalasHapus