Minggu, 22 Agustus 2021

CELANA CINGKRANG ATAU CELANA ISBAL (MENJULUR), MAMPUKAH MENGHADANG SEORANG MUSLIM DARI SIKAP SOMBONG?

 


“Sebelum kamu berdiri di atas sajadah itu, buang jauh-jauh perasaan dan sikap sombongmu. Jika tidak, maka Allah tidak akan melihat kamu sebagai orang yang sedang tunduk beribadah kepada-Nya,” kata seorang guru ngaji menasehati muridnya.

Benar nasehat guru ngaji itu. Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 55, mengingatkan agar dalam berdo’a (tentu saja yang dimaksud ketika shalat dan dalam do’a lainnya) agar tadharru’ (rendah hati) dan khufyah (lemah lembut). Rasa dan sikap rendah hati dan lemah lembut dalam berdo’a hanya dapat muncul jika seorang Muslim bersungguh-sungguh menekan perasaan dan sikap sombongnya di hadapan Allah SWT.

Sikap sombong atau congkak berawal dari sikap membanggakan (‘ujb) kelebihan dirinya kepada orang lain. Pada hakikatnya, ketika seseorang membangga-banggakan kelebihan diri dan keluarganya kepada orang lain, maka sama saja ia sedang merendahkan diri dan keluarga orang lain. Sikap ini  —secara psikologis— sama dengan menindas jiwa orang lain. Membanggakan diri dan keluarga yang berlebihan akan memunculkan kesombongan (khuyala`/takabbur). Sikap membanggakan diri yang melahirkan sikap sombong ini biasanya diakibatkan oleh pembanggaan yang berlebihan terhadap pangkat/jabatan/ kekuasaan, harta/kekayaan, ketampanan/ kecantikan, penguasaan ilmu, keturunan, dan lain sebagainya.

Sikap membanggakan (‘ujb) diri yang berlebihan pada gilirannya akan mengantarkan diri manusia kepada kemusyrikan. Contoh nyata dalam sejarah adalah sikap ujub Fir’aun tentang kekuasaan yang dimilikinya. Saking sombongnya, Fir’aun memandang bahwa tidak ada satu pun orang di muka bumi yang mampu menandingi kekuasaannya, bahkan Tuhan sekali pun. Pada puncak kesombongannya itu, Fir'aun berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”. (QS An-Nazi’at/79: 24). Akibat kesombongan karena kekuasaan ini, “Maka Allah menghukumnya dengan azab di akhirat dan siksa di dunia.” (QS An-Nazi’at/79: 25).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami mengapa disebut bahwa sikap sombong (takabbur/’ujb) amat dekat kepada kesyirikan. Hal ini karena sikap sombong tidak saja merendahkan martabat manusia lain, malah jika berlebihan dapat pula merendahkan Tuhan. Sikap sombong juga akan membinasakan seorang Muslim. Rasulullah Saw., bersabda, “Tiga perkara yang membinasakan: rasa pelit yang dipelihara, hawa nafsu yang diikuti, dan ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (H.R. Thabrani dalam Al-Awshath No. 5452). Sebaliknya, orang yang membuang dari hatinya hasad (dengki), dendam dan perasaan benci, meskipun ibadahnya biasa-biasa saja, Nabi Saw., menegaskan  bahwa orang itu akan menjadi penghuni surga. 

"Suatu waktu, saat Rasulullah Saw., duduk bersama para sahabat di masjid, ada seseorang yang masuk ke masjid. Setelah berwudhuk dan membiarkan air menetes dari jenggotnya --sambil memegang sandal-- yang ia pakai dengan tangan kirinya, sebelum ia masuk, Rasulullah Saw., berkata, "Lihatlah orang yang berada di pintu (masjid), dia adalah salah seorang penghuni surga." Lantas lelaki itu masuk ke dalam masjid dan shalat dua rakaat. Pada hari kedua dan ketiga Rasulullah mengucapkan ucapan yang sama. Hal ini membuat Ibnu Umar penasaran dengan lelaki itu. Lalu Ibnu Umar berangkat bersama lelaki itu dan menginap di rumahnya. Setelah beberapa hari di rumahnya, Ibnu Umar tidak melihat sesuatu yang istimewa dari lelaki itu. Ia tidak banyak puasa dan tidak banyak shalat. Ibnu Umar kemudian bertanya, "Apa yang kamu amalkan? Sungguh aku mendengar Rasulullah Saw., berkata (tentangmu), "Lihatlah orang yang berada di pintu. Dia adalah salah seorang penghuni surga 'tiga kali' setiap kali kamu masuk masjid dalam tiga hari." Lelaki itu berkata, "Kamu sudah melihat bagaimana ibadahku, shalatku, puasaku dan shalat malam yang aku lakukan, tetapi kamu masih bertanya tentang hal itu. Demi Allah, aku tidak pernah membiarkan malamku lewat begitu saja sementara masih tersimpan dalam hatiku hasad (dengki), dendam dan perasaan benci terhadap orang lain." (H.R. Ahmad).

Jawaban Judul di Atas

Bisakah celana cingkrang atau celana isbal menghadang kesombongan? Tentu saja tidak. Buktinya, ada saja individu kaum Muslimin ini yang berdebat kusir (jauh dari keilmuan) gara-gara mempersoalkan isbal. Mereka yang berdebat telah jatuh kepada sikap menyombongkan paham atau ilmu yang tidak seberapa. Ungkapan yang digunakan pun sangat tendensius sehingga dapat menyulut emosi. Ungkapan itu misalnya, “Kamu tidak melaksanakan Sunnah.” Sebagian mereka terjebak menilai keberislaman seseorang dari simbol berpakaian, yaitu antara isbal atau tidak isbal. "Pada hal kalau dikumpul hadits yang berkaitan dengan isbal yang banyak jumlahnya itu, kita akan mudah paham bahwa yang dilarang itu adalah sikap sombong yang bersarang dalam  hati? Jadi teks-teks hadits yang melarang isbal itu bukan larangan lidzatihi (larangan zat pakaiannya yang menutup mata kaki), tapi larangan li amrin ‘aridh (larangan karena sebab lain, yaitu sikap sombong yang tertanam pada diri orang yang berpakaian). Pemahaman ini semakin logis, karena seorang Muslim dibolehkan shalat dengan mata kaki tertutup. Misalnya shalat memakai kaus kaki atau sepatu." Demikian lebih kurang penjelasan Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Oleh karena itu, mari kita arif dan berlomba-lomba dalam beragama. Biarkan masing-masing dengan pemahamannya. Akan banyak orang yang senang berpaham agama secara tekstual (harfiah), dan akan banyak pula orang yang senang dengan pemahaman agama yang bersifat kontekstual (ma’nawiyah). Wallahu a’lam.

Perm. Sidimpuan Indah Lestari, Palopat PK, Padangsidimpuan, 22 Agustus 2021.


Keterangan gambar: Sudut alam Sibio-bio Kab. Tapanuli Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar