Selasa, 06 Oktober 2020

TEOANTROPOEKOSENTRIS: MENAFSIR PARADIGMA KEILMUAN IAIN PADANGSIDIMPUAN

 


A.        FILOSOFI

Paradigma di sini dipahami sebagai pandangan dasar atau asumsi-asumsi fundamental-filosofis  tentang ilmu. Paradigma ilmu, dengan demikian, sama dengan cara pandang (world view) tentang pokok bahasan ilmu dan keseluruhan bidang kajian ilmu. World view keilmuan ini selanjutnya mencoraki pandangan ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan yang dipelajari dan dikembangkan, sehingga menjadi mode berpikir keilmuan di kalangan civitas akademika. Dalam konteks ini, paradigma teoantropoekosentris yang menjadi paradigma keilmuan IAIN Padangsidimpuan menjadi world view keilmuan bagi seluruh civitas akademika IAIN Padangsidimpuan.

Teoantropoekosentris: Pengertian dan Visi Keilmuan

Teoantropoekosentris terdiri dari kata teo, antropo, eko dan sentris. Secara etimologi, teo berasal dari kata theos (Greek) bermakna Tuhan. Sedangkan antropo (dari kata anthropos, Greek) artinya manusia. Kata eko (dari kata oikos, Greek) artinya habitat/lingkungan. Sementara sentris (dari kata center, Inggris) artinya pusat. Berdasarkan arti etimologi masing-masing kata di atas, maka secara bahasa, teoantropoekosentris dapat diartikan sebagai “yang berpusat pada Tuhan-manusia-lingkungan”. Dengan demikian, paradigma teoantropoekosentris adalah paradigma keilmuan yang berpusat atau bertumpu pada kesepaduan (integrasi) Tuhan, manusia dan lingkungan (alam).

Tuhan (Theos) dalam konsep ini dipahami sebagai ‘ilmu ilahiy atau ’ulum an-naqliyah. Sedangkan manusia (anthropos) dipahami sebagai ‘ulum al-insaniyah. Sementara ekologi (oikos) atau lingkungan di sini dipahami sebagai ‘ilm al-bi’ah. Dengan demikian, teoantropoekosentris  adalah paradigma keilmuan yang menempatkan ulum an-naqliyah, ‘ulum al-insaniyyah dan ‘ilm al-bi’ah pada posisi yang integratif.

Pada tingkat ontologi keilmuan, cara pandang teoantropoekosentris melihat bahwa konstruk keilmuan yang terbentuk adalah hasil dialektika keilmuan antara wilayah ‘ilmu ilahiy, ilmu insaniy dan’ilmu al-bi`ah. Dalam konsep ilmuan Muslim klasik, ‘ilmu al-bi’ah sebenarnya adalah bagian dari ‘ilmu insaniy. Hanya saja dalam perkembangannya di era modern, ‘ilmu al-bi’ah memiliki otonomi sendiri. Itulah sebabnya di kalangan intelektual Muslim muncul kajian-kajian khusus tentang al-bi`ah (lingkungan). Bahkan kalangan ahli hukum Islam modern dan kontemporer menambahkan hifzh al-bi`ah (penyelamatan/pemeliharaan lingkungan) sebagai salah satu tujuan pokok syari’ah (maqashid asy-syari’ah) di samping tujuan-tujuan lainnya seperti hifzh ad-din, hifzh al-‘aql, hifzh an-nafs, hifzh al-mal  dan hifzh an-nasl. Jika keenam tujuan syari’ah ini dilihat dalam perspektif keilmuan, maka hifzh ad-din masuk dalam kategori ‘ilmu ilahiy, sementara hifzh al-‘aql, hifzh an-nafs dan hifz an-nasl bagian dari kategori ‘ilmu insaniy. Sedangkan hifzh al-mal dan hifz al-bi`ah masuk dalam kategori ’ilmu al-bi`ah.

Pemeteaan keilmuan dalam paradigma teoantropoekosentris menjadi ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ’ilmu al-bi`ah, atau nama lainnya yang bersinonim sesungguhnya adalah kelanjutan dari pemahaman trilogis tentang Tuhan, manusia dan alam/lingkungan (trilogi subjek). Secara terminologis dapat disinonimkan dengan hablun min allah, hablun min an-nas dan  hablun min al-‘alam (trilogi objek). Trilogi subjek dan objek ini adalah trilogi yang integratif atau integralistik. Pemahaman demikian inilah yang menjadi visi dasar keilmuan yang dikembangkan di IAIN Padangsidimpuan.

Visi integralisme keilmuan yang digagas dalam paradigma teoantropoekosentris ini sebenarnya bukan visi baru. Visi demikian ini ¾sebagaimana terabstraksikan dalam sejarah intelektualisme Islam¾ telah dimiliki oleh para ilmuan klasik Muslim. Al-Kindi dalam konsep talfiq-nya secara tegas menyatakan kesatuan gagasan, pemikiran dan konseptual antara agama (‘ilm ilahiy) dan ‘ilm insaniy (dapat juga dibaca: filsafat). Al-Farabi juga memiliki pemikiran yang sama. Al-Farabi secara khusus menunjukkan konsep intergralisme keilmuannya dalam Ihsa` al-‘Ulum. Dalam karya ini, ia menunjukkan integrasi teori-teori keilmuan pada tiga bidang keilmuan (ulum an-naqliyah, ‘ulum al-insaniyyah dan ‘ilm al-bi’ah). Al-Khawarizmi, seorang ahli sains, dalam Miftah al-‘Ulum, membagi ilmu kepada ilmu-ilmu syar’iyyah atau ilmu-ulmu kearaban (fiqih, kalam, ‘ulum al-Qur`an, sirah, dll.) dan ilmu-ilmu ‘ajam (filsafat, logika, kedokteran, aritmatika, dll). Pembagian ini tidak bersifat mempertentangkan, tetapi lebih kepada keperluan klasifikasi dan hirarki pengetahuan. Secara koheren dan konsisten, para intelektual Muslim terdahulu tidak pernah memiliki cara pandang bahwa penggolongan ini bersifat dikhotomik, apa lagi bersifat konflik. Oleh karena itu, dalam khazanah keilmuan klasik, tidak pernah ditemukan narasi penegasian total satu bidang ilmu terhadap bidang ilmu lain sebagaimana terjadi di Barat. Pandangan mainstream di kalangan ilmuan Muslim, ‘ilmu ilahiy (wahyu) adalah ilmu tertinggi (puncak). Sementara ilmu lainnya adalah ilmu tingkat di bawahnya. Ilustrasi yang didapat dari Imam al-Ghazali tentang hirarki ilmu mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi adalah pengetahuan indrawi (hissiyah), pengetahuan rasional (‘aqliyah), pengetahuan filsafat (falsafah), dan pengetahuan mistis (ladunni/tasawwuf). Secara aksiologis, pencarian ilmu yang benar ¾secara hirarkis¾ akan menyampaikan pencarian kepada tingkat tertinggi (puncak ilmu). Pandangan para ilmuan Muslim bahwa ‘ilmu ilahiy sebagai ilmu tertinggi ternyata memiliki koherensi dengan pandangan ilmuan Barat modern semisal Albert Einstein. Dalam salah satu pernyataannya Einstein mengatakan bahwa ilmu yang utuh adalah perpaduan ilmu empirik-rasional dan mistis-intuitif.

 

Integrasi, Interkoneksi dan Komplementasi Keilmuan

Asumsi-asumsi teoritis-filosofis ilmuan Muslim terdahulu tentang integralisme keilmuan ini menjadi world view keilmuan yang diusung oleh paradigma teoantropoekosentris. Dengan demikian, meminjam istilah M. Amin Abdullah, paradigma teoantropoekosentris ini memadukan ilmu pada wilayah hadharat an-nas, hadharat al-falsafah dan hadharat al-‘ilmi. Secara substantif, world view keilmuan yang demikian ini turun dari Al-Qur`an. Al-Qur`an (misalnya Surat Al-Baqarah ayat 129, 151, 164; Ali Imran ayat 190-191; Al-An’am ayat 99) memberi petunjuk bahwa wahyu yang diturunkan, manusia, alam semesta dan seluruh isi dan penomenanya adalah ayat Allah. Dengan demikian seluruh objek ilmu pengetahuan adalah ayat Allah. Oleh karena itu secara mutlak semua ilmu bersumber dari Allah SWT. Dalam perspektif filsafat ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut objek ilmu itu terdiri dari wahyu (ayat qauliyah/ayat tanziliyah) dan manusia-alam semesta (ayat kauniyah). Sementara Kuntowijoyo berpandangan bahwa objek ilmu terdiri dari hal-hal yang ilahiyah, nafsiah dan kauniyah. Hasan Langgulung menjelaskan bahwa hubungan ayat qauliyah dan ayat kauniyah dalam dialektika keilmuan bersifat interdependensi dan komplementer. Ayat qauliyah adalah tesaurus bagi ayat kauniyah, sementara ayat kauniyah adalah kamus bagi ayat qauliyah. Dengan demikian, secara teoritis-filosofis, tidak mungkin terjadi pertentangan antara ayat qauliyah, ayat nafsiah dan ayat kauniyah, karena sama-sama bersumber dari Allah SWT.

Dalam konteks teoantropoekosentris, pada tingkat ontologi keilmuan hubungan ayat qauliyah (theos), ayat nafsiah (anthropos) dan ayat kauniyah (eko/oikos) bersifat integratif. Namun dalam kerangka epistemologis, hubungan ketiganya selain bersifat integratif, juga bersifat interkonektif dan komplementatif. Secara agak teknis, dalam paradigma keilmuan ini seluruh kajian, pengembangan dan penelitian keilmuan dapat mengambil bentuk antara integrasi, interkoneksi atau komplementasi. Begitu pun untuk bidang ilmu tertentu seperti ilmu-ilmu sains dapat mengambil bentuk integrasi, interkoneksi dan komplementasi secara bersamaan.

Dalam peta konsep relasi agama dan ilmu, paradigma teoantropoekosentris lebih dekat kepada konsep “pengilmuan Islam”, yaitu paradigma keilmuan yang tidak memandang curiga terhadap ilmu-ilmu sekular yang datang dari dunia Barat. Ilmu-ilmu  sekular Barat diposisikan dalam kritisisme nalar yang dipandu oleh wahyu. Dengan demikian ilmu-ilmu sekular Barat dan juga ilmu-ilmu sekular lainnya ¾dari mana pun sumbernya¾ diterima secara kritis-objektif. Al-Qur`an dan Sunnah dalam konsep ini secara paradigmatif diposisikan sebagai grand theory pengembangan ilmu. Dalam praksis keilmuan, selain sebagai grand theory, Al-Qur`an dan Sunnah juga dipandang sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sebagai sumber ilmu, maka Al-Qur`an dan Sunnah diyakini sebagai sumber bagi  gagasan, konsep dan teori keilmuan. Tentu saja, secara metodologis dibutuhkan interaksi-dialektis yang intens antara Al-Qur`an dan Sunnah dengan kekayaan intelektual manusia dan kekayaan rahasia ekologis. Pada tahap seperti inilah paradigma teoantropoekosentris menunjukkan bentuknya dalam kerja keilmuan. Meski demikian, secara hirarkis, Al-Qur`an tetap menempati posisi sentral dalam pengembangan ilmu. Jika diibaratkan dengan sistem tata surya, maka ilmu-ilmu ilahiyah, ilmu-ilmu nafsiah dan ilmu-ilmu ekologis berposisi sebagai planet yang disinari dan mengitari matahari. Ketiga bidang keilmuan ini tidak pernah keluar dari garis edarnya.  Jika keluar dari sistem tata surya keilmuan maka berakibat terhadap chaos-nya sistem keilmuan yang terbangun oleh paradigma teoantropoekosentris.

 

B.    KURIKULUM

Komponen kurikulum terdiri dari tujuan, isi, metode/strategi dan evaluasi. Tujuan suatu kurikulum menyangkut goal, aims dan objective proses pendidikan pada suatu institusi atau program studi. Isi kurikulum berkaitan dengan  konten yang berisi muatan kompetensi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat diperoleh melalui bahan dan segala hal yang menjadi rujukan akademik dan keilmuan dalam proses akademik atau pembelajaran. Metode dan strategi kurikulum berurusan dengan pendekatan, metode dan teknik dalam implementasi kurikulum. Sementara komponen evaluasi berkaitan dengan pengukuran dan penilaian proses dan hasil akhir penyelenggaraan pendidikan.

 

Komponen Tujuan

Tujuan jangka panjang penyelenggaraan pendidikan di IAIN Padangsidimpuan adalah membentuk sarjana Muslim unggul dan kompetetif melalui penguatan kompetensi akademik dan keilmuan yang  integratif yang ditandai dengan penguasaan yang utuh dan menyeluruh terhadap ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah. Dalam istilah lain, melahirkan sarjana (lulusan) yang memiliki kecakapan terpadu antara teologi, antropologi dan ekologi.

Kompetensi keilmuan yang integratif ini menjadi tujuan umum seluruh penyelenggaraan kurikulum program studi di lingkungan IAIN Padangsidimpuan, apakah prodi keagamaan atau non-keagamaan.

 

Komponen Isi/Konten

Sebagai realisasi pencapaian tujuan (aim, goal atau objektive) kurikulum, maka kurikulum IAIN Padangsidimpuan dan program studi harus berisi bidang ilmu berupa  ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah. Dalam lingkup mata kuliah, maka setiap mata kuliah harus berisi konten perkuliahan yang mengintegrasikan ketiga bidang keilmuan dimaksud. Sebagai contoh, pada mata kuliah statistik setidaknya harus berisi materi berupa contoh-contoh dari bahasa keagamaan. Sehingga statistik ¾meskipun konstribusinya kecil¾ dapat membantu pembentukan skema pengetahuan yang integratif pada mahasiswa.

                Dalam konteks isi/konten kurikulum ini, secara epistemologis mata kuliah dapat dibedakan kepada kelompok ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah. Pada kelompok ‘ulum ad-diniyah, keberadaan ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah menjadi komplementer. Sementara pada ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah, maka posisi ‘ulum ad-dinyah sebagai penerang atau pemberi cahaya. Dalam perspektif epistemologis, posisi ‘ulum ad-diniyah sebagai grand theory atau paradigma keilmuan bagi ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah.

 

Komponen Metode/Strategi

Komponen ini menyangkut pendekatan, metode dan teknik dalam operasionalisasi kurikulum. Dengan demikian, komponen metode terkait dengan pendekatan, metode dan teknik dalam perkuliahan atau pembelajaran. Dalam perspektif teoantropoekosentris, pendekatan pembelajaran yang relevan digunakan adalah pendekatan saintifik-tauhidik.

Pendekatan ini memandang bahwa secara fitrati Allah SWT telah meletakkan tabiat berketuhanan atau berkepercayaan kepada manusia (fitrah bertauhid). Dengan fitrah bertauhid ini maka akal sehat manusia dengan mudah memahami bahwa Allah SWT sebagai sembahan, pencipta, pendidik, dan pemeliharan manusia dan alam semesta. Di sisi lain, manusia berposisi sebagai makhluk paling sempurna (fi ahsani taqwim) atau ciptaan yang unik (khalqan akhar). Keunikan manusia yaitu Allah memberinya potensi sebagaimana terangkum dalam asma’ al-husna. Begitu pun, meski secara potensial, manusia memiliki potensi asma’ al-husna, tetapi setiap manusia memiliki kecenderungan potensial yang utama untuk dikembangkan dalam pendidikan. Sebagai contoh, semua manusia memiliki potensi ‘alim (maknanya: Maha Mengetahui), namun tidak semua manusia dapat dikembangkan menjadi intelektual. Sebagian manusia hanya cocok dikembangkan menjadi mushawwir (maknanya: Maha Pemberi Bentuk), yaitu menjadi teknisi. Kecenderungan potensial seperti ini harus dipahami oleh para pendidik di lembaga-lembaga pendidikan.

Para pendidik harus menyadari bahwa pengembangan potensi-potensi ilahiah ini merupakan tugas suci dalam mempersiapkan khalifah di muka bumi, sehingga setiap peserta didik ¾dengan kompetensinya masing-masing¾ dapat mengembang tugas kekhalifahan.

Dalam konteks pendekatan saintifik-tauhidik ini, mahasiswa dipandang memiliki potensi ilahiyah yang kaya. Maka posisi dan tugas dosen adalah menjadi mitra positif, kreatif dan inovatif mahasiswa dalam rangka mengembangkan berbagai dimensi ilahiah, nafsiah dan bi’ah mahasiswa.

Dalam perkuliahan, mahasiswa diberi bantuan maksimal oleh dosen untuk mengkonstruk pengetahuan, sikap dan keterampilannya sehingga terbentuk menjadi insan yang memiliki keunggulan ilmu pengetahuan, integritas kesarjanaan dan keahlian. Untuk mencapai out put yang demikian, maka dalam pendekatan saintifik-tauhidik, dosen dapat menerapkan beragam model dan metode pembelajaran/perkuliahan. Tentu saja model dan metode pembelajaran yang direkomendasikan di sini adalah model dan metode yang memosisikan mahasiswa sebagai pembelajar aktif.

Secara teknikal, makna tauhidik dalam konteks metode perkuliahan adalah dosen selalu mendasarkan pekerjaan memberi perkuliahan dengan niat ikhlas mengharap rida Allah, selanjutnya menerapkan model dan metode pembelajaran yang berkembang yang memadukan dengan metode tarbiyatunnabawiy. Lebih teknis, dalam proses belajar-mengajar, seorang dosen mengiringi niatnya dengan kalimat ta’audz dan basmalah, mengucapkan salam kepada mahasiswa, memuji Allah, bershalawat kepada Nabi, mengelola proses perkuliahan dengan tawakkal dan sungguh-sungguh, lalu menutup dengan hamdalah dan salam. Hal ini dilakukan karena pada hakikatnya semua ilmu yang diajarkan adalah bagian dari ayat-ayat Allah (ilmu Allah).

Dalam mengelaborasi materi perkuliahan, seorang dosen bertanggung jawab untuk mendesain materi perkuliahan dengan mengintegrasikan, menginterkoneksikan atau mengkomplementasikan materi perkuliahan dengan ilmu pada wilayah lain, sehingga hubungan ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah dalam proses perkuliahan bersifat spiral-dialektis.

 

Komponen Evaluasi

Titik terpenting evaluasi pembelajaran dalam pendekatan saintifik-tauhidik adalah pada terukurnya hasil belajar yang dapat dijadikan patokan bahwa mahasiswa telah mencapai kompetensi pengetahuan, sikap dan skill yang dipersyaratkan oleh institusi dan program studi. Dari ketiga kompetensi itu, maka yang paling pokok adalah kompetensi sikap terkait dengan integritas kesarjanaan muslim atau kepribadian muslim lulusan. Integritas kesarjanaan dapat diukur seberapa kukuh seorang mahasiswa atau lulusan mempertahankan komitmen keislaman dan kebangsaan, etika akademik dan komitmen terhadap kreatifitas, progresifitas dan inovasi. Penilaian terhadap integritas ini harus mendapat posisi tertinggi dibanding penilaian terhadap kompetensi pengetahuan dan skill. (tobe continued, in sya Allah)

 Gambar: Menerima Kepala Cabang BSM Padangsidimpuan dan rombongan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar