A.
FILOSOFI
Paradigma di
sini dipahami sebagai pandangan dasar atau asumsi-asumsi fundamental-filosofis tentang ilmu. Paradigma ilmu, dengan
demikian, sama dengan cara pandang (world view) tentang pokok bahasan
ilmu dan keseluruhan bidang kajian ilmu. World view keilmuan ini
selanjutnya mencoraki pandangan ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan
yang dipelajari dan dikembangkan, sehingga menjadi mode berpikir keilmuan di
kalangan civitas akademika. Dalam konteks ini, paradigma teoantropoekosentris
yang menjadi paradigma keilmuan IAIN Padangsidimpuan menjadi world view keilmuan
bagi seluruh civitas akademika IAIN Padangsidimpuan.
Teoantropoekosentris: Pengertian dan Visi Keilmuan
Teoantropoekosentris terdiri dari kata teo,
antropo, eko dan sentris. Secara etimologi, teo berasal dari
kata theos (Greek) bermakna Tuhan. Sedangkan antropo (dari kata anthropos,
Greek) artinya manusia. Kata eko (dari kata oikos, Greek)
artinya habitat/lingkungan. Sementara sentris (dari kata center, Inggris)
artinya pusat. Berdasarkan arti etimologi masing-masing kata di atas, maka
secara bahasa, teoantropoekosentris dapat diartikan sebagai “yang
berpusat pada Tuhan-manusia-lingkungan”. Dengan demikian, paradigma teoantropoekosentris
adalah paradigma keilmuan yang berpusat atau bertumpu pada kesepaduan
(integrasi) Tuhan, manusia dan lingkungan (alam).
Tuhan (Theos) dalam konsep ini dipahami
sebagai ‘ilmu ilahiy atau ’ulum an-naqliyah. Sedangkan manusia (anthropos)
dipahami sebagai ‘ulum al-insaniyah. Sementara ekologi (oikos) atau
lingkungan di sini dipahami sebagai ‘ilm al-bi’ah. Dengan demikian, teoantropoekosentris
adalah paradigma keilmuan yang
menempatkan ulum an-naqliyah, ‘ulum al-insaniyyah dan ‘ilm al-bi’ah
pada posisi yang integratif.
Pada tingkat ontologi keilmuan, cara pandang teoantropoekosentris
melihat bahwa konstruk keilmuan yang terbentuk adalah hasil dialektika keilmuan
antara wilayah ‘ilmu ilahiy, ilmu insaniy dan’ilmu al-bi`ah. Dalam
konsep ilmuan Muslim klasik, ‘ilmu al-bi’ah sebenarnya adalah bagian
dari ‘ilmu insaniy. Hanya saja dalam perkembangannya di era modern, ‘ilmu
al-bi’ah memiliki otonomi sendiri. Itulah sebabnya di kalangan intelektual
Muslim muncul kajian-kajian khusus tentang al-bi`ah (lingkungan). Bahkan
kalangan ahli hukum Islam modern dan kontemporer menambahkan hifzh al-bi`ah (penyelamatan/pemeliharaan
lingkungan) sebagai salah satu tujuan pokok syari’ah (maqashid asy-syari’ah)
di samping tujuan-tujuan lainnya seperti hifzh ad-din, hifzh al-‘aql, hifzh
an-nafs, hifzh al-mal dan hifzh
an-nasl. Jika keenam tujuan syari’ah ini dilihat dalam perspektif keilmuan,
maka hifzh ad-din masuk dalam kategori ‘ilmu ilahiy, sementara hifzh
al-‘aql, hifzh an-nafs dan hifz an-nasl bagian dari kategori ‘ilmu
insaniy. Sedangkan hifzh al-mal dan hifz al-bi`ah masuk dalam
kategori ’ilmu al-bi`ah.
Pemeteaan keilmuan dalam paradigma teoantropoekosentris
menjadi ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ’ilmu al-bi`ah, atau
nama lainnya yang bersinonim sesungguhnya adalah kelanjutan dari pemahaman trilogis
tentang Tuhan, manusia dan alam/lingkungan (trilogi subjek). Secara
terminologis dapat disinonimkan dengan hablun min allah, hablun min an-nas dan
hablun min al-‘alam (trilogi
objek). Trilogi subjek dan objek ini adalah trilogi yang integratif atau
integralistik. Pemahaman demikian inilah yang menjadi visi dasar keilmuan yang
dikembangkan di IAIN Padangsidimpuan.
Visi integralisme keilmuan yang digagas dalam
paradigma teoantropoekosentris ini sebenarnya bukan visi baru. Visi
demikian ini ¾sebagaimana
terabstraksikan dalam sejarah intelektualisme Islam¾ telah dimiliki oleh para ilmuan
klasik Muslim. Al-Kindi dalam konsep talfiq-nya secara tegas menyatakan
kesatuan gagasan, pemikiran dan konseptual antara agama (‘ilm ilahiy)
dan ‘ilm insaniy (dapat juga dibaca: filsafat). Al-Farabi juga memiliki
pemikiran yang sama. Al-Farabi secara khusus menunjukkan konsep intergralisme
keilmuannya dalam Ihsa` al-‘Ulum. Dalam karya ini, ia menunjukkan
integrasi teori-teori keilmuan pada tiga bidang keilmuan (ulum an-naqliyah,
‘ulum al-insaniyyah dan ‘ilm al-bi’ah). Al-Khawarizmi, seorang ahli
sains, dalam Miftah al-‘Ulum, membagi ilmu kepada ilmu-ilmu syar’iyyah
atau ilmu-ulmu kearaban (fiqih, kalam, ‘ulum al-Qur`an, sirah, dll.) dan ilmu-ilmu
‘ajam (filsafat, logika, kedokteran, aritmatika, dll). Pembagian ini
tidak bersifat mempertentangkan, tetapi lebih kepada keperluan klasifikasi dan
hirarki pengetahuan. Secara koheren dan konsisten, para intelektual Muslim
terdahulu tidak pernah memiliki cara pandang bahwa penggolongan ini bersifat
dikhotomik, apa lagi bersifat konflik. Oleh karena itu, dalam khazanah keilmuan
klasik, tidak pernah ditemukan narasi penegasian total satu bidang ilmu
terhadap bidang ilmu lain sebagaimana terjadi di Barat. Pandangan mainstream
di kalangan ilmuan Muslim, ‘ilmu ilahiy (wahyu) adalah ilmu tertinggi (puncak).
Sementara ilmu lainnya adalah ilmu tingkat di bawahnya. Ilustrasi yang didapat
dari Imam al-Ghazali tentang hirarki ilmu mulai dari yang paling rendah sampai
yang paling tinggi adalah pengetahuan indrawi (hissiyah), pengetahuan
rasional (‘aqliyah), pengetahuan filsafat (falsafah), dan
pengetahuan mistis (ladunni/tasawwuf). Secara aksiologis, pencarian ilmu
yang benar ¾secara
hirarkis¾ akan
menyampaikan pencarian kepada tingkat tertinggi (puncak ilmu). Pandangan para
ilmuan Muslim bahwa ‘ilmu ilahiy sebagai ilmu tertinggi ternyata
memiliki koherensi dengan pandangan ilmuan Barat modern semisal Albert
Einstein. Dalam salah satu pernyataannya Einstein mengatakan bahwa ilmu yang
utuh adalah perpaduan ilmu empirik-rasional dan mistis-intuitif.
Integrasi, Interkoneksi dan Komplementasi Keilmuan
Asumsi-asumsi teoritis-filosofis ilmuan Muslim
terdahulu tentang integralisme keilmuan ini menjadi world view keilmuan yang
diusung oleh paradigma teoantropoekosentris. Dengan demikian, meminjam
istilah M. Amin Abdullah, paradigma teoantropoekosentris ini memadukan
ilmu pada wilayah hadharat an-nas, hadharat al-falsafah dan hadharat
al-‘ilmi. Secara substantif, world view keilmuan yang demikian ini
turun dari Al-Qur`an. Al-Qur`an (misalnya Surat Al-Baqarah ayat 129, 151, 164;
Ali Imran ayat 190-191; Al-An’am ayat 99) memberi petunjuk bahwa wahyu yang
diturunkan, manusia, alam semesta dan seluruh isi dan penomenanya adalah ayat
Allah. Dengan demikian seluruh objek ilmu pengetahuan adalah ayat
Allah. Oleh karena itu secara mutlak semua ilmu bersumber dari Allah SWT.
Dalam perspektif filsafat ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut objek
ilmu itu terdiri dari wahyu (ayat qauliyah/ayat tanziliyah) dan
manusia-alam semesta (ayat kauniyah). Sementara Kuntowijoyo berpandangan
bahwa objek ilmu terdiri dari hal-hal yang ilahiyah, nafsiah dan
kauniyah. Hasan Langgulung menjelaskan bahwa hubungan ayat qauliyah dan
ayat kauniyah dalam dialektika keilmuan bersifat interdependensi dan
komplementer. Ayat qauliyah adalah tesaurus bagi ayat kauniyah,
sementara ayat kauniyah adalah kamus bagi ayat qauliyah. Dengan
demikian, secara teoritis-filosofis, tidak mungkin terjadi pertentangan antara ayat
qauliyah, ayat nafsiah dan ayat kauniyah, karena sama-sama bersumber
dari Allah SWT.
Dalam konteks teoantropoekosentris,
pada tingkat ontologi keilmuan hubungan ayat qauliyah (theos),
ayat nafsiah (anthropos) dan ayat kauniyah (eko/oikos)
bersifat integratif. Namun dalam kerangka epistemologis, hubungan ketiganya
selain bersifat integratif, juga bersifat interkonektif dan komplementatif. Secara
agak teknis, dalam paradigma keilmuan ini seluruh kajian, pengembangan dan
penelitian keilmuan dapat mengambil bentuk antara integrasi, interkoneksi atau
komplementasi. Begitu pun untuk bidang ilmu tertentu seperti ilmu-ilmu sains
dapat mengambil bentuk integrasi, interkoneksi dan komplementasi secara
bersamaan.
Dalam peta
konsep relasi agama dan ilmu, paradigma teoantropoekosentris lebih dekat
kepada konsep “pengilmuan Islam”, yaitu paradigma keilmuan yang tidak memandang
curiga terhadap ilmu-ilmu sekular yang datang dari dunia Barat. Ilmu-ilmu sekular Barat diposisikan dalam kritisisme
nalar yang dipandu oleh wahyu. Dengan demikian ilmu-ilmu sekular Barat dan juga
ilmu-ilmu sekular lainnya ¾dari
mana pun sumbernya¾
diterima secara kritis-objektif. Al-Qur`an dan Sunnah dalam konsep ini secara paradigmatif
diposisikan sebagai grand theory pengembangan ilmu. Dalam praksis keilmuan,
selain sebagai grand theory, Al-Qur`an dan Sunnah juga dipandang sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Sebagai sumber ilmu, maka Al-Qur`an dan Sunnah
diyakini sebagai sumber bagi gagasan,
konsep dan teori keilmuan. Tentu saja, secara metodologis dibutuhkan
interaksi-dialektis yang intens antara Al-Qur`an dan Sunnah dengan kekayaan
intelektual manusia dan kekayaan rahasia ekologis. Pada tahap seperti inilah paradigma
teoantropoekosentris menunjukkan bentuknya dalam kerja keilmuan. Meski
demikian, secara hirarkis, Al-Qur`an tetap menempati posisi sentral dalam
pengembangan ilmu. Jika diibaratkan dengan sistem tata surya, maka ilmu-ilmu
ilahiyah, ilmu-ilmu nafsiah dan ilmu-ilmu ekologis berposisi sebagai planet
yang disinari dan mengitari matahari. Ketiga bidang keilmuan ini tidak pernah
keluar dari garis edarnya. Jika keluar
dari sistem tata surya keilmuan maka berakibat terhadap chaos-nya sistem
keilmuan yang terbangun oleh paradigma teoantropoekosentris.
B.
KURIKULUM
Komponen kurikulum terdiri dari tujuan, isi,
metode/strategi dan evaluasi. Tujuan suatu kurikulum menyangkut goal, aims dan
objective proses pendidikan pada suatu institusi atau program studi. Isi
kurikulum berkaitan dengan konten yang
berisi muatan kompetensi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat
diperoleh melalui bahan dan segala hal yang menjadi rujukan akademik dan
keilmuan dalam proses akademik atau pembelajaran. Metode dan strategi kurikulum
berurusan dengan pendekatan, metode dan teknik dalam implementasi kurikulum.
Sementara komponen evaluasi berkaitan dengan pengukuran dan penilaian proses
dan hasil akhir penyelenggaraan pendidikan.
Komponen Tujuan
Tujuan jangka panjang penyelenggaraan pendidikan di
IAIN Padangsidimpuan adalah membentuk sarjana Muslim unggul dan kompetetif melalui
penguatan kompetensi akademik dan keilmuan yang
integratif yang ditandai dengan penguasaan yang utuh dan menyeluruh
terhadap ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah.
Dalam istilah lain, melahirkan sarjana (lulusan) yang memiliki kecakapan
terpadu antara teologi, antropologi dan ekologi.
Kompetensi keilmuan yang integratif ini menjadi
tujuan umum seluruh penyelenggaraan kurikulum program studi di lingkungan IAIN
Padangsidimpuan, apakah prodi keagamaan atau non-keagamaan.
Komponen Isi/Konten
Sebagai realisasi pencapaian tujuan (aim, goal atau
objektive) kurikulum, maka kurikulum IAIN Padangsidimpuan dan program
studi harus berisi bidang ilmu berupa ‘ulum
ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah. Dalam lingkup mata
kuliah, maka setiap mata kuliah harus berisi konten perkuliahan yang
mengintegrasikan ketiga bidang keilmuan dimaksud. Sebagai contoh, pada mata
kuliah statistik setidaknya harus berisi materi berupa contoh-contoh dari bahasa
keagamaan. Sehingga statistik ¾meskipun
konstribusinya kecil¾
dapat membantu pembentukan skema pengetahuan yang integratif pada mahasiswa.
Dalam konteks
isi/konten kurikulum ini, secara epistemologis mata kuliah dapat dibedakan
kepada kelompok ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ‘ilm
al-bi`ah. Pada kelompok ‘ulum ad-diniyah, keberadaan ‘ulum
al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah menjadi komplementer. Sementara pada ‘ulum
al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah, maka posisi ‘ulum ad-dinyah
sebagai penerang atau pemberi cahaya. Dalam perspektif epistemologis, posisi ‘ulum
ad-diniyah sebagai grand theory atau paradigma keilmuan bagi ‘ulum
al-insaniyah dan ‘ilm al-bi`ah.
Komponen Metode/Strategi
Komponen ini menyangkut pendekatan, metode dan
teknik dalam operasionalisasi kurikulum. Dengan demikian, komponen metode
terkait dengan pendekatan, metode dan teknik dalam perkuliahan atau
pembelajaran. Dalam perspektif teoantropoekosentris, pendekatan pembelajaran
yang relevan digunakan adalah pendekatan saintifik-tauhidik.
Pendekatan ini memandang bahwa secara fitrati Allah
SWT telah meletakkan tabiat berketuhanan atau berkepercayaan kepada manusia
(fitrah bertauhid). Dengan fitrah bertauhid ini maka akal sehat manusia dengan
mudah memahami bahwa Allah SWT sebagai sembahan, pencipta, pendidik, dan
pemeliharan manusia dan alam semesta. Di sisi lain, manusia berposisi sebagai
makhluk paling sempurna (fi ahsani taqwim) atau ciptaan yang unik (khalqan
akhar). Keunikan manusia yaitu Allah memberinya potensi sebagaimana terangkum
dalam asma’ al-husna. Begitu pun, meski secara potensial, manusia
memiliki potensi asma’ al-husna, tetapi setiap manusia memiliki
kecenderungan potensial yang utama untuk dikembangkan dalam pendidikan. Sebagai
contoh, semua manusia memiliki potensi ‘alim (maknanya: Maha
Mengetahui), namun tidak semua manusia dapat dikembangkan menjadi intelektual.
Sebagian manusia hanya cocok dikembangkan menjadi mushawwir (maknanya:
Maha Pemberi Bentuk), yaitu menjadi teknisi. Kecenderungan potensial seperti
ini harus dipahami oleh para pendidik di lembaga-lembaga pendidikan.
Para pendidik harus menyadari bahwa pengembangan
potensi-potensi ilahiah ini merupakan tugas suci dalam mempersiapkan khalifah
di muka bumi, sehingga setiap peserta didik ¾dengan
kompetensinya masing-masing¾
dapat mengembang tugas kekhalifahan.
Dalam konteks pendekatan saintifik-tauhidik ini,
mahasiswa dipandang memiliki potensi ilahiyah yang kaya. Maka posisi dan tugas
dosen adalah menjadi mitra positif, kreatif dan inovatif mahasiswa dalam rangka
mengembangkan berbagai dimensi ilahiah, nafsiah dan bi’ah
mahasiswa.
Dalam perkuliahan, mahasiswa diberi bantuan
maksimal oleh dosen untuk mengkonstruk pengetahuan, sikap dan keterampilannya
sehingga terbentuk menjadi insan yang memiliki keunggulan ilmu pengetahuan,
integritas kesarjanaan dan keahlian. Untuk mencapai out put yang
demikian, maka dalam pendekatan saintifik-tauhidik, dosen dapat menerapkan
beragam model dan metode pembelajaran/perkuliahan. Tentu saja model dan metode
pembelajaran yang direkomendasikan di sini adalah model dan metode yang
memosisikan mahasiswa sebagai pembelajar aktif.
Secara teknikal, makna tauhidik dalam konteks
metode perkuliahan adalah dosen selalu mendasarkan pekerjaan memberi
perkuliahan dengan niat ikhlas mengharap rida Allah, selanjutnya menerapkan
model dan metode pembelajaran yang berkembang yang memadukan dengan metode tarbiyatunnabawiy.
Lebih teknis, dalam proses belajar-mengajar, seorang dosen mengiringi niatnya
dengan kalimat ta’audz dan basmalah, mengucapkan salam
kepada mahasiswa, memuji Allah, bershalawat kepada Nabi, mengelola proses
perkuliahan dengan tawakkal dan sungguh-sungguh, lalu menutup dengan hamdalah
dan salam. Hal ini dilakukan karena pada hakikatnya semua ilmu yang
diajarkan adalah bagian dari ayat-ayat Allah (ilmu Allah).
Dalam mengelaborasi materi perkuliahan, seorang
dosen bertanggung jawab untuk mendesain materi perkuliahan dengan mengintegrasikan,
menginterkoneksikan atau mengkomplementasikan materi perkuliahan dengan ilmu
pada wilayah lain, sehingga hubungan ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah
dan ‘ilm al-bi`ah dalam proses perkuliahan bersifat spiral-dialektis.
Komponen Evaluasi
Titik terpenting evaluasi pembelajaran dalam
pendekatan saintifik-tauhidik adalah pada terukurnya hasil belajar yang dapat
dijadikan patokan bahwa mahasiswa telah mencapai kompetensi pengetahuan, sikap
dan skill yang dipersyaratkan oleh institusi dan program studi. Dari ketiga
kompetensi itu, maka yang paling pokok adalah kompetensi sikap terkait dengan
integritas kesarjanaan muslim atau kepribadian muslim lulusan. Integritas
kesarjanaan dapat diukur seberapa kukuh seorang mahasiswa atau lulusan
mempertahankan komitmen keislaman dan kebangsaan, etika akademik dan komitmen
terhadap kreatifitas, progresifitas dan inovasi. Penilaian terhadap integritas
ini harus mendapat posisi tertinggi dibanding penilaian terhadap kompetensi
pengetahuan dan skill. (tobe continued, in sya Allah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar