Ada saja di antara kaum muslimin yang berkata, "Jangan-jangan Mr. X yang non Muslim itu, yang memiliki perhatian dan sumbangan besar terhadap kemanusiaan lebih diterima Allah amalnya dari pada seorang Muslim yang jarang memberi sumbangan".
Pandangan ini benar-benar bertentangan dengan keyakinan prinsipil dalam Islam. Dalam ajaran Islam, syahadat (kesaksian/keyakinan) kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, pencipta, pengatur dan pemelihara dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya, adalah fundamen paling dasar dan syarat utama bagi diterimanya iman dan amal kebajikan seseorang yang mengaku sebagai hamba Allah. Tanpa keyakinan pokok ini, maka semua amal kebajikan setiap manusia tidak memiliki pijakan penerimaan dari Allah SWT. Oleh karena itu, jika kita berharap amal ibadah kita bernilai, berharga atau berpahala di sisi Allah, maka langkah paling awal adalah: Terima dan yakini dengan ikhlas bahwa Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad itu hamba dan rasul-Nya. Dari sisi Allah, pengakuan atau penyaksian (syahadah) oleh setiap manusia ini mutlak ditunjukkan. Tuntutan selanjutnya, setiap orang harus membuktikan syahadatnya dalam seluruh dimensi hidupnya. Jika misalkan ia memberi konstribusi besar dalam menolong kemanusiaan, maka harus dalam rangka panggilan dan pembuktian syahadatnya. Sebab jika bukan karena syahadatnya, maka sudah pasti karena "tuhan-tuhan" lain.
Langkah atau step selanjutnya adalah tanamkan niat yang kokoh bahwa amal kebajikan yang kita lakukan adalah untuk mengharap ridha Allah SWT.
Meskipun kita seorang Muslim, tapi jika niat/motivasi qalbiyah amal kebajikan kita untuk atau demi yang lain, maka Allah tidak akan meridhainya. Mengapa demikian, karena sesungguhnya kita telah jatuh kepada sikap hati yang mendua dalam berkeyakinan. Satu sisi kita menghamba kepada Allah, tetapi pada sisi lain, kita menghamba kepada selain Allah yang jadi tujuan niat kita. Boleh jadi tujuan niat kita adalah agar kita mendapat anugerah macam-macam dari orang lain, seperti kemuliaan, penghormatan, perlindungan, dan lain-lain. Hal ini samalah artinya bahwa Allah belum cukup bagi kita sebagai penolong, pelindung dan pemberi kemuliaan. Cara ini sekaligus mempertunjukkan bahwa kita belum beragama dengan ikhlas dan hanif. Sikap beragama demikian ini sesungguhnya masih tertawan oleh kemusyrikan.
Penegasan Nabi Saw tentang perlunya memiliki niat yang ikhlas dijelaskan pada salah satu hadis sahih tentang hijrah. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dimaksud dapat diambil pelajaran bahwa meskipun seorang Muslim ikut hijrah bersama Nabi dari Makkah, tetapi jika niat hijrahnya karena motif usaha atau karena perempuan kekasihnya, maka hijrah yang demikian itu hanya bernilai duniawi semata. Allah dan Rasul-Nya tidak menilainya sebagai hijrah mencari keridhaan Allah.
Demikian pulalah seluruh amal kebajikan kita yang lain. Nabi kita menegaskan, "Sesungguhnya segala amal itu tergantung kepada niat. Dan sungguh setiap urusan tergantung kepada apa yang diniatkan".***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar