Antropologi
berasal dari kata anthropos+logos. Anthropos artinya manusia. Logos
artinya ilmu. Jadi, secara etimologis, antropologis artinya ilmu tentang
manusia. Antropologi didefinisikan sebagai the social science that
studies the origins and social relationships of human beings atau the science of the structure and functions of the human body, yaitu (ilmu sosial yang mempelajari asal-usul
dan hubungan sosial manusia atau ilmu tentang struktur dan
fungsi tubuh manusia).
Dalam kajian Islam (studi Islam), pendekatan
antropologi berguna untuk mempelajari terutama local practies, yaitu
praktik keagamaan kongkret dan nyata di lapangan. Di sisi lain, pendekatan
antropologi juga dapat digunakan memahami dimensi ajaran (doktrin) Islam.
Dalam menerapkan pendekatan antropologi dalam kajian
Islam, pertama-tama perlakukanlah objek kajian itu bagaikan membaca suatu
situs. (Ingat bagaimana para antropolog mengkaji situs fosil manusia). Sebagai
contoh: Pendekatan antropologi dalam memahami ayat Qur`an surat al-Baqarah ayat
120, “Wa lan tardha ‘anka al-yahudu wa la an-nashara hatta tattabi’a
millatahum” (Yahudi dan Nasrani itu sekali-kali tidak akan ridha kepadamu
hingga engkau mengikuti millah mereka). Sebagai suatu situs, maka
dalam situs itu kita menemukan “struktur fosil”
berupa frase/kata ‘anka (kepadamu), al-yahudi (yahudi
itu), dan an-nashara (nasrani itu). “Mu” pada kata “kepadamu” adalah
Muhammad Saw. Kata al-yahudi dan an-nashara di situ adalah Yahudi
dan Nasrani Madinah. Pendapat ini didasarkan kepada tempat (place) turun
ayat, yaitu turun di Madinah. Oleh karena itu, secara antropologis, ayat itu
dapat dipahami demikian: Yahudi dan Nasrani Madinah itu tidak akan ridha
kepadamu (Muhammad) hingga engkau mengikuti (memasuki) millah mereka.
Jika ada yang memahami bahwa ayat itu menunjuk kepada
seluruh Yahudi dan Nasrani di seluruh dunia sepanjang masa, maka secara
antropologis pemahaman demikian terkesan sebagai generalisasi yang liar.
Perlu jadi bandingan, Nasrani (Kristen) di Sumatera
Utara memiliki karakteristik berbeda dengan Nasrani di tempat lain. Dalam
beberapa kasus yang muncul dipermukaan, etnis Batak yang Kristen nampaknya
lebih mengarusutamakan nilai-nilai adat dan budaya Batak dalam menyelesaikan
masalah dengan saudara Batak-nya yang Muslim. Lebih jelasnya, jika ada dua
orang yang berkonflik ternyata memiliki garis hubungan marga, meskipun beda
agama, maka penyelesaian masalah akan dengan mudah dilakukan. Biasanya mereka
akan berkata, “hape sa bitua do hita” (rupanya kita berasal dari perut
yang sama).
Oleh
karena itu berdasarkan pendekatan antropologis, maka kita perlu mengontrol
nalar kita dalam memahami situs-situs agama dan keagamaan, apakah situs doktrin
atau situs local practies.
II.
Pendekatan
Fenomenologis dalam Studi Islam
Fenomenologi
berasal dari kata phainomenon+logos. Phainomenon artinya
peristiwa, penomena atau gejala. Atau “sesuatu yang nampak karena bercahaya.” Logos
artinya ilmu. Jadi, Fenomenologi artinya ilmu tentang penomena atau ilmu
tentang peristiwa atau gejala.
Sebagai
suatu filosofi, fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Husserl
(filosof Jerman). Istilah fenomenologi sering dipahami sebagai anggapan umum
untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek
yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istiah ini mengacu pada penelitian/pengkajian
terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang.
Dalam
pendekatan fenomenologi, seorang pengkaji berusaha masuk ke dalam dunia
konseptual para subjek yang dikaji/ditelitinya sedemikian rupa, sehingga
pengkaji mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh
mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Pemahaman terhadap
tingkah laku manusia tidak hanya dilihat dari surface behavior, tetapi
harus masuk ke inner perspective of human behavior.
Dalam
melihat penomena atau peristiwa, termasuk penomena keagamaan, fenomenologi
membedakan kenampakan dan kenyataan (reality). Sebagai contoh:
Seorang pengkaji/peneliti bermaksud mengetahui apakah seorang Muslimah “P”
menjalankan syari’at berpakaian. Untuk menemukan kenyataan (reality),
maka ia harus melepaskan diri dari kenampakan. Jika seorang pengkaji
mengamati si P hanya dalam satu kondisi berbeda (misalnya saat ke kampus), maka
dapat dipastikan seorang pengkaji masih terjebak pada kenampakan. Tetapi
jika ia mengamati si P dalam berbagai kondisi yang berbeda, misalnya saat ke
kampus, ke pasar, menjemur pakaian, membeli sayur, ke rumah temannya, ke tempat
hiburan, dan lain-lain, dan ternyata si P itu konsisten dengan hijab-nya, maka
si peneliti sudah mendekati kenyataan. Kapan kenyataan itu
diperoleh? Yaitu jika anda kemudian bertanya (mewawancarainya), “Koq repot
kali kakak. Masak menjemur pakaian saja mesti pakai jilbab?” Lalu si P
menjawab, “Hei, kamu jangan begitu dong. Berjilbab itu kan syari’at agama.
Itu jelas ayat dan haditsnya. Kakak menjalankan syari’at itu”. Berdasarkan
observasi yang sungguh-sungguh dan dipadu dengan wawancara, maka Anda telah
berhasil menemukan kenyataan, yakni si P benar-benar menjalankan
syari’at Islam dalam berpakaian.
Penerapan
pendekatan fenomenologi terhadap peristiwa agama lainnya, misalnya peristiwa/penomena
ibadah shalat. Dengan pendekatan fenomenologi, pengkaji berupaya memahami
bagaimana ibadah shalat itu berdasarkan perspektif pokok pembawanya, yakni Nabi
Muhammad Saw. Dalam penomena/peristiwa shalat ini, maka si pengkaji yang
menggunakan pendekatan fenomenologis tidak mungkin berhenti pada pemahaman
terhadap aspek eksoteris (syari’at) shalat, tetapi harus masuk ke aspek
esoteris (sufistis) ibadah shalat. Dengan cara ini, si pengkaji diharapkan
memahami ibadah shalat pada tingkat pemahaman yang paling prima (sebagaimana
Nabi Saw memahaminya).
III.
Pendekatan
Filosofis dalam Studi Islam
Filsafat
berasal dari kata philo dan sophia. Philo artinya suka atau
cinta. Sophia artinya kebijaksanaan atau hikmah. Jadi secara etimologis,
filsafat artinya cinta kebijaksanaan atau cinta hikmah.
Ciri
khas (karakteristik) berpikir filosofis itu adalah radikal, sistimatis dan universal. Radikal artinya
mendalam hingga ke akar-akar persoalan. Sistimatis artinya tersistem atau
beraturan dengan mentaati kaedah berpikir/penalaran logis dan ilmiah. Universal
artinya bersifat kesemestaan (objektif). Dengan demikian, kebenaran yang dicari
oleh pendekatan filsafat adalah kebenaran pada tingkat terakhir.
Kebenaran yang dipegang manusia ternyata
bertingkat-tingkat. Ada kebenaran empirik-sensual, empirik-logik dan empirik-transendental. Kebenaran yang dicari pendekatan filsafat
adalah kebenaran empirik-transendental, yaitu kebenaran tertinggi atau terakhir.
Kebenaran seperti ini disebut juga kebenaran yang bersifat supra-rasional atau
kebenaran ilahiyah.
Dalam studi atau kajian Islam, pendekatan
filosofis ini akan mengarahkan seorang pengkaji Islam agar sungguh-sungguh
melakukan kajian, sehingga kajian Islam yang dilakukannya sampai kepada tingkat
kebenaran empirik-transendental.
Sebagai contoh, kajian terhadap perbedaan
konsep rukun iman Sunni dan Syiah. Secara konseptual, dalam rukun iman Syiah
tidak terdapat iman kepada Rasul, yang ada adalah nubuwwah (kenabian). Pendekatan filsafat diperlukan di sini, sehingga akan
diketahui, apakah secara hakiki orang-orang Syiah beriman kepada Rasul.
Menyebut mereka sesat dengan hanya berlandaskan kepada penilaian konseptual/lafzhiyah, tentu terlalu ceroboh. Para
pengkaji yang menggunakan pendekatan filosofis dalam mengkaji Islam akan paham
bahwa mereka juga secara substansial beriman kepada Rasul, meskipun secara
konseptual iman kepada rasul itu tidak ditemukan dalam konsep rukum iman
mereka.
Pendekatan filsafat juga diperlukan dalam
memahami nash-nash agama tertentu. Sebagai contoh,
pemahaman terhadap makna al-awwal dalam
ayat “huwa
al-awwalu, wa al-akhiru wa az-zhahiru wa al-bathinu” (Dia-lah yang awal, yang akhir, yang zhahir
dan yang batin). Apa makna sesungguhnya al-awwal itu? Apakah al-awwal
itu meng-ada (terjadi) dalam ruang dan waktu? Kalau dikatakan terjadi dalam
ruang dan waktu, maka siapa pula yang menjadikan ruang dan waktu itu? Dengan pendekatan
filosofis, maka kita memperoleh jawaban bahwa adanya Tuhan mengatasi
(mendahului) ruang dan waktu. Kita hanya dapat mengatakan seperti itu, dan kita
tidak punya sedikitpun pengetahuan tentang ada-Nya Tuhan secara esensial atau
substansial, karena Tuhan bukan esensi atau substansi.
IV.
Pendekatan
Historis dalam Studi Islam
Pendekatan
historis atau sejarah sebenarnya telah lama dilakukan dalam kajian Islam.
Sejarah, menurut Ibnu Khaldun, tidaklah hanya sekedar rekaman atau catatan
peristiwa masa lalu, tetapi lebih dari itu yaitu suatu penalaran kritis
terhadap penomena/peristiwa sejarah sehingga ditemukan kebenaran dalam sejarah
itu.
Ada
empat unsur yang penting diketahui dalam memahami sejarah, yaitu waktu,
peristiwa, pelaku dan daya kritis pengkaji sejarah. Pendekatan sejarah memiliki
landasannya dalam Qur`an, “Qul, siru fi al-ardhi, fanzhuru kaifa kana
‘aqibatulladzina min qabl, la’allahum yarji’un” (Katakanlah, “Berjalanlah
kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang sebelummu,
mudah-mudahan kamu kembali kepada kebenaran”). Perintah “berjalan” dalam ayat
itu, tentu bukanlah berjalan-jalan biasa. Makna yang dikandungnya tentu lebih
dari itu yakni melakukan observasi dan penalaran yang cerdas, sehingga
ditemukan nilai-nilai kebenaran dalam sejarah.
Banyak
masalah umat Islam yang harus dicari jawabannya dalam sejarah. Misalnya masalah
hubungan agama dan Negara. Apakah ada kemestian mendirikan negara agama (baca:
Negara Islam)? Secara historis, kapan konsep daulah islamiyah atau islamic
state itu muncul? Banyak orang Islam terjebak kepada justifikasi Negara
Islam/ Khilafah Islamiyah dengan mengutip ayat atau hadits tanpa membaca
sejarah Islam secara kritis. Pada hal, jika kita membaca secara kritis negara
Madinah yang dibentuk Nabi pada abad ke-7 dan kekuasaan empat orang Khulafa’
al-Rasyidin sesudahnya,maka konseptualisasi tentang Negara dalam Islam
sangatlah unik. Hal yang paling unik adalah Negara Madinah. Yaitu suatu Negara
yang dilandaskan kepada konstitusi Madinah yang lazim disebut Mitsaq
al-Madinah (Piagam Madinah). Nilai-nilai pada konstitusi Madinah itu sangat
tepat dianalogikan dengan nilai-nilai pada konstitusi RI (UUD 1945), karena
secara substansial kandungan nilai keduanya banyak yang mirip. Oleh karena itu,
banyak pemikir Muslim berpendapat bahwa NKRI sesungguhnya suatu model
kekhilafahan di era modern. Hal ini diperkuat oleh hasil ijtihad dan ijma` dua
organisasi besar Islam Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah.
Pendekatan
historis juga dibutuhkan dalam memahami nash Qur`an atau qaul (pendapat)
ulama. Sebagai contoh, pendapat ulama klasik tentang hukum merokok. Secara
historis akan diketahui bahwa alasan (‘illat) para ahli hukum dahulu
menetapkan hukum merokok itu makruh karena dipersepsikan bahwa merokok
sama dengan makan bawang. Jadi, indikator yang mereka pakai hanya bau
bendanya. Belakangan diketahui bahwa unsur kimiawi bawang dan rokok itu
berbeda. Jika dalam rokok ditemukan zat-zat beracun yang merusak kesehatan, justru
di dalam bawang ditemukan zat-zat yang berguna bagi kesehatan. Oleh karena itu,
indikator “bau” itu tidak tepat lagi dipertahankan. Bebarapa ahli hukum belakangan
telah melihat dan menggunakan indikator “racun”
itu. Oleh karena indikatornya “racun”, maka hukum merokok adalah haram.
V.
Pendekatan
Sosiologis dalam Studi Islam
Sosiologi berasal dari kata socius+logos. Socius artinya teman, sedangkan logos artinya ilmu. Jadi secara etimologi, sosiologi artinya ilmu tentang manusia yang berteman (berinteraksi), atau manusia yang bermasyarakat. Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Kajian Islam memerlukan pendekatan sosiologis. Sebagai contoh, pemahaman terhadap hadits “khalifu al-musyrikina waffiru al-liha wa ahfu asy-sywarib” (selisihilah orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian, [Bukhari: 5442]). Di tempat lain, ditemukan pula hadits yang berisi perintah menyelisihi Yahudi terkait dengan menyemir rambut atau jenggot (Bukhari: 3203). Secara sosilogis dapat dipahami bahwa tunjukan utama perintah memanjangkan jenggot, mencukur kumis dan menyemir rambut atau jenggot sebenarnya agar Muslim berbeda kepribadiannya dengan Yahudi di masa itu. Jadi, dalam hubungan sosial, seorang Muslim harus membedakan kepribadiannya dengan non-Muslim. Memanjangkan jenggot dan lainnya itu adalah salah satu simbol pembedaan kepribadian antara Muslim dengan non-Muslim pada masa itu. Jika kita merujuk kepada Al-Qur`an sebagai sumber utama Islam, maka pembedaan kepribadian yang paling utama itu sesungguhnya adalah ketakwaan pribadi masing-masing Muslim (inna akramakum ‘indallahi atqakum, sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling takwa).
Banyak pula ayat al-Qur`an atau al-hadits yang harus
dipahami dengan melihat latar historis dan sosiologisnya. Tanpa hal itu, maka
kita tidak mungkin mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang ayat atau
hadits itu. Terlebih pula kasus-kasus sosial umat Islam, misalnya konflik
Muslim dengan non-Muslim, konflik internal umat Islam, dan sebagainya.
VI.
Studi
Islam Terapan di Indonesia: Metodologi NU
Wawasan
keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) adalah wawasan keagamaan yang ditransmisikan
secara historis dari seorang ulama ke ulama lainnya. Transmisi ilmu ini
berlangsung dalam mata rantai/sanad yang terpelihara dan terekam dalam
kitab-kitab mu’tabarah. Kitab-kitab inilah kemudian yang menjadi materi
pengajaran pada sebagian besar pondok-pondok pesantren NU di Indonesia, yang
lazim disebut dengan kitab kuning.
Tradisi
membaca dan memahami kitab kuning ini menjadi dasar pembentukan sekaligus alat
pewarisan paham agama yang efektif. Tradisi ini kemudian ―secara
natural― melahirkan pelembagaan dan pembudayaan wawasan keagamaan. Inilah yang
menjadi perwatakan atau corak paham keagamaan NU.
Dalam
beragama, NU menekankan sikap bermazhab. Hal ini karena NU berpendapat bahwa
hampir tidak mungkin bagi seorang ulama untuk melakukan ijtihad sendiri
(menjadi mujtahid mutlak), karena berijtihad itu membutuhkan kemampuan
istimewa.
Oleh
karena berijtihad dalam pengertian ijtihad sebagaimana dilakukan oleh imam-imam
mazhab tidak mungkin dilakukan, maka NU mengkategorikan orang yang merujuk
kepada pendapat imam mazhab sebagai muqallid (orang yang taqlid).
Menurut K.H. Ahmad Siddiq, bertaqlid tidak selalu identik dengan mengikut
secara membuta-tuli (taqlid a’ma) tanpa sama sekali mempertimbangkan
apakah pendapat yang diikuti itu benar atau sesat. Memang pada tingkat pertama,
menurut beliau, semua orang pasti mengalami proses mengikut tanpa mengerti
kekuatan pendapat yang diikuti. Tetapi setelah tingkat pertama ini terlampaui,
maka harus diusahakan supaya pengetahuannya meningkat. Sewajarnya setiap Muslim
harus mengetahui dan meyakini kebenaran pengetahuan yang diperolehnya dengan
berusaha mengetahui dalil-dalilnya. Begitu pun, dengan mengetahui serba sedikit
tentang dalil-dalil itu, tidaklah berarti dia sudah lepas dari tingkatan
bertaqlid.
Dalam
mengambil keputusan tentang masalah-masalah fiqhiyah, NU menyerahkannya
kepada Lajnah Bahtsul Masa`il. Dalam forum ini, pengkajian terhadap
suatu masalah tidak langsung merujuk kepada Al-Qur`an dan as-Sunnah, tetapi
merujuk kepada qaul (pendapat) dalam kitab-kitab mu’tabarah. Hal
demikian ini dilakukan, agar tidak terjebak kepada pemahaman (ijtihad) yang sembarangan.
Jadi NU mengutamakan hasil-hasil ijtihad yang telah teruji pada setiap fase
generasi ulama terutama dalam mazhab
Syafi’i. Menurut M.A. Sahal Mahfudz, sikap keilmuan yang demikian ini ditempuh
sebagai wujud nyata pandangan NU bahwa dalam transmisi ilmu agama tidak boleh
terputus mata rantai atau sanad-nya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Untuk menjaga keotentikan tradisi, maka harus ditelusuri mata
rantai yang baik dan sah pada setiap
generasi.
Metode
kajian masalah-masalah fiqhiyah dimaksud dilakukan dengan tiga cara yang
penerapannya secara berjenjang (bertahap), yaitu:
1.
Metode Qauli
Metode ini dilakukan dengan cara
mempelajari masalah agama yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada
kitab-kitab fiqh dari mazhab yang empat, dengan merujuk secara langsung bunyi
teksnya. Atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi
dalam lingkup mazhab tertentu. Prosedur metode ini sebagai berikut:
a.
Jika jawaban
terhadap suatu masalah dapat dicukupi dengan ‘ibarat kitab (ungkapan tekstual)
dan di sana hanya terdapat satu qaul/wajah (qaul adalah pendapat
imam mazhab, wajah adalah pendapat ulama mazhab), maka dipakai qaul/wajah
sebagaimana diterangkan dalam ‘ibarat kitab tersebut.
b.
Jika dalam ‘barat
kitab terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir
jama’i (penetapan kolektif) untuk memilih salah satu qaul/wajah.
Prosedur pemilihan qaul/wajah
jika jawaban terhadap suatu masalah hukum dijumpai beberapa qaul/wajah,
dilakukan dengan ketentuan berikut:
a.
Mengambil
pendapat yang lebih maslahah dan/atau lebih kuat.
b. Sedapat
mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar I tahun 1926, bahwa perbedaan
pendapat diselesaikan dengan cara berjenjang berikut ini:
1)
Pendapat yang
disepakati oleh al-Syaikhani (Imam Nawawi dan Imam Rafi’i).
2)
Pendapat yang
dipegang oleh Imam Nawawi
3)
Pendapat yang
dipegang oleh Imam Rafi’i.
4) Pendapat yang
didukung oleh mayoritas ulama (selain imam mazhab, Nawawi dan Rafi’i).
5)
Pendapat
ulama terpandai.
6)
Pendapat
ulama paling wara’.
2.
Metode Ilhaqi
Metode
ini diterapkan jika metode qauli tidak berhasil memberikan jawaban. Hal
ini terjadi karena jawaban tekstual kitab mu’tabarah tidak ditemukan.
Oleh karena itu dilakukan ilhaq masa’il bi nazhariha, yakni
menyamakan/menganalogikan hukum suatu kasus yang belum diperoleh jawabannya
dalam kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab. Metode
ini mirip dengan metode qiyas (analogi).
3.
Metode Manhaji
Jika metode qauli dan ilhaqi menemui
jalan buntu, maka ditempuh metode manhaji. Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan
masalah-masalah hukum agama dengan mengikuti metodologi penetapan hukum yang
telah disusun imam mazhab. Biasanya mengikuti kaedah penetapan hukum mazhab
Syafi’i. Cara kerja metode ini, mula-mula mencari jawabannya dalam al-Qur`an.
Jika jawaban tidak ditemukan, maka dicari dalam al-Hadits, dan begitu
seterusnya, hingga akhirnya sampailah kepada jawaban dengan mempedomani kaidah fiqhiyyah. Metode terakhir ini adalah metode ijtihad dalam kerangka metodologi
mazhab.
VII. Studi Islam Terapan di Indonesia: Metodologi
Muhammadiyah
Untuk mengetahui metodologi Muhammadiyah
dalam pemahaman agama, dapat dilihat pertama-tama tentang definisi ad-din pada buku Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah berikut ini: “Ad-din (agama) yakni
agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, ialah apa yang diturunkan Allah
di dalam Al-Qur`an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih (maksudnya
sunnah al-maqbulah) berupa perintah-perintah, dan larangan-larangan,
serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”. Defenisi
lainnya, “Agama adalah apa yang disyari’atkan Allah dengan perantaraan
Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta
petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”.
Definisi
di atas menegaskan bahwa ad-din (agama) bagi Muhammadiyah hanya bersumber
kepada Al-Qur`an dan as-sunnah al-maqbulah (Sunnah
yang berkategori shahih dan hasan). Demikian pula,
Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam bukanlah agama baru, tetapi
kontinuitas (kelanjutan) risalah para nabi sebelumnya yang berakhir pada khatamunnabiyyin (penutup para nabi), yakni Muhammad Saw.
Tentang ‘ibadah, Muhammadiyah mendefinisikannya sebagai berikut: “Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan
jalan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan
mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang
khusus. Ibadah yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Ibadah yang
khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah
dan cara-caranya yang tertentu”.
Sebagai kelanjutan pendefinisian ad-din dan al-‘ibadah, Muhammadiyah merumuskan metodologi pengkajian hukum agama sebagaimana
kutipan berikut:
1.1. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam
agama Islam adalah Al-Qur`an dan al-Hadits.
2. 2. Bahwa dalam menghadapi masalah-masalah yang
telah terjadi, dan sangat dihajatkan
untuk diamalkan mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah, sementara jawabannya tidak
terdapat pada nash
sharih di dalam
al-Qur`an atau Sunnah yang shahih (maksudnya as-sunnah al-maqbulah), maka dipergunakanlah metode ijtihad dan instinbath terhadap nash-nash yang ada melalui persamaan ‘illat (sebab hukum), sebagaimana dilakukan
oleh ulama salaf dan khalaf.
Berdasarkan point-point penting di atas,
maka dapat dipahami bahwa segala masalah agama bagi Muhammadiyah harus langsung
merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah al-Maqbulah. Jadi tidak boleh
menyandarkan pendapat hukum kepada pribadi ulama tertentu, meskipun pendapat
ulama dimaksud diikuti oleh mayoritas ummat. Semboyan utama organisasi ini “ar-ruju’ ila al-qur`an wa
as-sunnah” (kembali
kepada al-Qur`an dan Sunnah). Penyebutan
as-Sunnah al-Maqbulah menegaskan pula bahwa Muhammadiyah tidak mendasarkan
pemahaman agamanya kepada hadis-hadits yang dha’if, apa lagi yang maudhu’
(palsu). Dampaknya kemudian, dalam beberapa hal, Muhammadiyah tidak mengamalkan
beberapa bentuk amalan yang telah menjadi tradisi mayoritas umat Islam. Dengan
mode berpikir yang demikian, maka seluruh pemahaman atau pemikiran ulama dari
dahulu sampai sekarang (apakah imam mazhab atau ulama lainnya) hanya
diposisikan sebagai referensi dalam mengkaji masalah-masalah agama yang muncul
di permukaan dengan menjadikan Al-Qur`an dan Sunnah sebagai pijakan utama. Konsekuensi
pemahaman agama yang demikian, maka dalam Muhammadiyah tidak dibangun kesetiaan
pribadi (taqlid) kepada seorang ahli hukum,
bagaimana pun kehebatan dan kebesaran ulama dimaksud. Lebih jelasnya,
Muhammadiyah tidak memiliki kesetiaan pribadi
kepada Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, atau ulama
besar lainnya (misalnya Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, dll).
Karya-karya mereka, sekali lagi, hanya dijadikan referensi dalam forum Majelis
Tarjih dan Tajdid. Pemahaman atau pemikiran keagamaan para imam mazhab itu
dapat dipakai sepanjang pemahaman dimaksud sejalan dengan al-Qur`an dan
as-Sunnah al-maqbulah. Jika dalam kajian yang dilakukan, ternyata apa yang
ditemukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid lebih rajih (kuat) dalilnya, lebih tepat analoginya dan lebih kuat maslahatnya dari
pada yang dipegang oleh imam mazhab atau ulama lainnya dan atau yang
ditradisikan umat Islam, maka Majelis Tarjih akan mengabaikan pendapat-pendapat
seperti itu, lalu merumuskan pendapatnya sendiri. Inilah penjelasan pokok,
mengapa Muhammadiyah disebut tidak bermazhab.
Secara nyata, bagi Muhammadiyah, pintu ijtihad tetap terbuka. Meski demikian, realitasnya Muhammadiyah juga menyadari bahwa berijtihad secara individual (ijtihad fardhiyyah) sangat sulit dilakukan. Itulah sebabnya, pekerjaan berijtihad di Muhammadiyah dilakukan secara bersama (ijtihad jama’i, ijtihad kolektif) melalui suatu wadah yang disebut dengan Majelis Tarjih dan Tajdid.
Metode, pendekatan dan teknik kajian hukum agama dalam Muhammadiyah sebagai berikut:
1. Metode
a. Bayani (semantik), yaitu metode penetapan
hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
b. Ta’lili (rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran.
c. Istishlahi (filosofis), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan.
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penetapan hukum-hukum ijtihadiyah adalah:
a. At-tafsir
al-ijtima’i al-mu’ashir (hermeneutik).
b. At-Tarikhi (historis)
c. As-susiuluji
(sosiologi)
d. Al-anturubuluji (antropologi)
3. Teknik
Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum
adalah:
a. Ijma’ (konsensus, kesepakatan)
b. Qiyas (analogi)
c. Mashalih
Mursalah (pencarian
maslahat hukum dengan nalar kritis-filosofis)
d. ‘Urf (pengambilan nilai yang ma’ruf
[diakui, diketahui dan diterima] yang hidup dalam jiwa dan akal
masyarakat yang
melakukannya).
000OOO000
Palopat PK, 09 Desember 2015
Foto: Pantai Padang, 02 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar