Rabu, 09 Desember 2015

RINGKASAN KULIAH: BERBAGAI PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM


I.        
Pendekatan Antropologis dalam studi Islam

Antropologi berasal dari kata anthropos+logos. Anthropos artinya manusia. Logos artinya ilmu. Jadi, secara etimologis, antropologis artinya ilmu tentang manusia. Antropologi didefinisikan sebagai the social science that studies the origins and social relationships of human beings atau the science of the structure and functions of the human body,  yaitu (ilmu sosial yang mempelajari asal-usul dan hubungan sosial manusia atau ilmu tentang struktur dan fungsi tubuh manusia).

Dalam kajian Islam (studi Islam), pendekatan antropologi berguna untuk mempelajari terutama local practies, yaitu praktik keagamaan kongkret dan nyata di lapangan. Di sisi lain, pendekatan antropologi juga dapat digunakan memahami dimensi ajaran (doktrin) Islam.

Dalam menerapkan pendekatan antropologi dalam kajian Islam, pertama-tama perlakukanlah objek kajian itu bagaikan membaca suatu situs. (Ingat bagaimana para antropolog mengkaji situs fosil manusia). Sebagai contoh: Pendekatan antropologi dalam memahami ayat Qur`an surat al-Baqarah ayat 120, “Wa lan tardha ‘anka al-yahudu wa la an-nashara hatta tattabi’a millatahum” (Yahudi dan Nasrani itu sekali-kali tidak akan ridha kepadamu hingga engkau mengikuti millah mereka). Sebagai suatu situs, maka dalam situs itu kita menemukan “struktur fosil”  berupa frase/kata ‘anka (kepadamu), al-yahudi (yahudi itu), dan an-nashara (nasrani itu). “Mu” pada kata “kepadamu” adalah Muhammad Saw. Kata al-yahudi dan an-nashara di situ adalah Yahudi dan Nasrani Madinah. Pendapat ini didasarkan kepada tempat (place) turun ayat, yaitu turun di Madinah. Oleh karena itu, secara antropologis, ayat itu dapat dipahami demikian: Yahudi dan Nasrani Madinah itu tidak akan ridha kepadamu (Muhammad) hingga engkau mengikuti (memasuki) millah mereka.

Jika ada yang memahami bahwa ayat itu menunjuk kepada seluruh Yahudi dan Nasrani di seluruh dunia sepanjang masa, maka secara antropologis pemahaman demikian terkesan sebagai generalisasi yang liar.

Perlu jadi bandingan, Nasrani (Kristen) di Sumatera Utara memiliki karakteristik berbeda dengan Nasrani di tempat lain. Dalam beberapa kasus yang muncul dipermukaan, etnis Batak yang Kristen nampaknya lebih mengarusutamakan nilai-nilai adat dan budaya Batak dalam menyelesaikan masalah dengan saudara Batak-nya yang Muslim. Lebih jelasnya, jika ada dua orang yang berkonflik ternyata memiliki garis hubungan marga, meskipun beda agama, maka penyelesaian masalah akan dengan mudah dilakukan. Biasanya mereka akan berkata, “hape sa bitua do hita” (rupanya kita berasal dari perut yang sama).

Oleh karena itu berdasarkan pendekatan antropologis, maka kita perlu mengontrol nalar kita dalam memahami situs-situs agama dan keagamaan, apakah situs doktrin atau situs local practies.

II.      Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam

Fenomenologi berasal dari kata phainomenon+logos. Phainomenon artinya peristiwa, penomena atau gejala. Atau “sesuatu yang nampak karena bercahaya.” Logos artinya ilmu. Jadi, Fenomenologi artinya ilmu tentang penomena atau ilmu tentang peristiwa atau gejala.

Sebagai suatu filosofi, fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Husserl (filosof Jerman). Istilah fenomenologi sering dipahami sebagai anggapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istiah ini mengacu pada penelitian/pengkajian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang.

Dalam pendekatan fenomenologi, seorang pengkaji berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang dikaji/ditelitinya sedemikian rupa, sehingga pengkaji mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Pemahaman terhadap tingkah laku manusia tidak hanya dilihat dari surface behavior, tetapi harus masuk ke inner perspective of human behavior.

Dalam melihat penomena atau peristiwa, termasuk penomena keagamaan, fenomenologi membedakan kenampakan dan kenyataan (reality). Sebagai contoh: Seorang pengkaji/peneliti bermaksud mengetahui apakah seorang Muslimah “P” menjalankan syari’at berpakaian. Untuk menemukan kenyataan (reality), maka ia harus melepaskan diri dari kenampakan. Jika seorang pengkaji mengamati si P hanya dalam satu kondisi berbeda (misalnya saat ke kampus), maka dapat dipastikan seorang pengkaji masih terjebak pada kenampakan. Tetapi jika ia mengamati si P dalam berbagai kondisi yang berbeda, misalnya saat ke kampus, ke pasar, menjemur pakaian, membeli sayur, ke rumah temannya, ke tempat hiburan, dan lain-lain, dan ternyata si P itu konsisten dengan hijab-nya, maka si peneliti sudah mendekati kenyataan. Kapan kenyataan itu diperoleh? Yaitu jika anda kemudian bertanya (mewawancarainya), “Koq repot kali kakak. Masak menjemur pakaian saja mesti pakai jilbab?” Lalu si P menjawab, “Hei, kamu jangan begitu dong. Berjilbab itu kan syari’at agama. Itu jelas ayat dan haditsnya. Kakak menjalankan syari’at itu”. Berdasarkan observasi yang sungguh-sungguh dan dipadu dengan wawancara, maka Anda telah berhasil menemukan kenyataan, yakni si P benar-benar menjalankan syari’at Islam dalam berpakaian.

Penerapan pendekatan fenomenologi terhadap peristiwa agama lainnya, misalnya peristiwa/penomena ibadah shalat. Dengan pendekatan fenomenologi, pengkaji berupaya memahami bagaimana ibadah shalat itu berdasarkan perspektif pokok pembawanya, yakni Nabi Muhammad Saw. Dalam penomena/peristiwa shalat ini, maka si pengkaji yang menggunakan pendekatan fenomenologis tidak mungkin berhenti pada pemahaman terhadap aspek eksoteris (syari’at) shalat, tetapi harus masuk ke aspek esoteris (sufistis) ibadah shalat. Dengan cara ini, si pengkaji diharapkan memahami ibadah shalat pada tingkat pemahaman yang paling prima (sebagaimana Nabi Saw memahaminya).

 

III.   Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam

Filsafat berasal dari kata philo dan sophia. Philo artinya suka atau cinta. Sophia artinya kebijaksanaan atau hikmah. Jadi secara etimologis, filsafat artinya cinta kebijaksanaan atau cinta hikmah.

Ciri khas (karakteristik) berpikir filosofis itu adalah radikal, sistimatis dan universal. Radikal artinya mendalam hingga ke akar-akar persoalan. Sistimatis artinya tersistem atau beraturan dengan mentaati kaedah berpikir/penalaran logis dan ilmiah. Universal artinya bersifat kesemestaan (objektif). Dengan demikian, kebenaran yang dicari oleh pendekatan filsafat adalah kebenaran pada tingkat terakhir.

Kebenaran yang dipegang manusia ternyata bertingkat-tingkat. Ada kebenaran empirik-sensual, empirik-logik dan empirik-transendental. Kebenaran yang dicari pendekatan filsafat adalah kebenaran empirik-transendental, yaitu kebenaran tertinggi atau terakhir. Kebenaran seperti ini disebut juga kebenaran yang bersifat supra-rasional atau kebenaran ilahiyah.

Dalam studi atau kajian Islam, pendekatan filosofis ini akan mengarahkan seorang pengkaji Islam agar sungguh-sungguh melakukan kajian, sehingga kajian Islam yang dilakukannya sampai kepada tingkat kebenaran empirik-transendental.

Sebagai contoh, kajian terhadap perbedaan konsep rukun iman Sunni dan Syiah. Secara konseptual, dalam rukun iman Syiah tidak terdapat iman kepada Rasul, yang ada adalah nubuwwah (kenabian). Pendekatan filsafat diperlukan di sini, sehingga akan diketahui, apakah secara hakiki orang-orang Syiah beriman kepada Rasul. Menyebut mereka sesat dengan hanya berlandaskan kepada penilaian konseptual/lafzhiyah, tentu terlalu ceroboh. Para pengkaji yang menggunakan pendekatan filosofis dalam mengkaji Islam akan paham bahwa mereka juga secara substansial beriman kepada Rasul, meskipun secara konseptual iman kepada rasul itu tidak ditemukan dalam konsep rukum iman mereka.

Pendekatan filsafat juga diperlukan dalam memahami nash-nash agama tertentu. Sebagai contoh, pemahaman terhadap makna al-awwal dalam ayat “huwa al-awwalu, wa al-akhiru wa az-zhahiru wa al-bathinu” (Dia-lah yang awal, yang akhir, yang zhahir dan yang batin). Apa makna sesungguhnya al-awwal itu? Apakah al-awwal itu meng-ada (terjadi) dalam ruang dan waktu? Kalau dikatakan terjadi dalam ruang dan waktu, maka siapa pula yang menjadikan ruang dan waktu itu? Dengan pendekatan filosofis, maka kita memperoleh jawaban bahwa adanya Tuhan mengatasi (mendahului) ruang dan waktu. Kita hanya dapat mengatakan seperti itu, dan kita tidak punya sedikitpun pengetahuan tentang ada-Nya Tuhan secara esensial atau substansial, karena Tuhan bukan esensi atau substansi.

 

IV.   Pendekatan Historis dalam Studi Islam

Pendekatan historis atau sejarah sebenarnya telah lama dilakukan dalam kajian Islam. Sejarah, menurut Ibnu Khaldun, tidaklah hanya sekedar rekaman atau catatan peristiwa masa lalu, tetapi lebih dari itu yaitu suatu penalaran kritis terhadap penomena/peristiwa sejarah sehingga ditemukan kebenaran dalam sejarah itu.

Ada empat unsur yang penting diketahui dalam memahami sejarah, yaitu waktu, peristiwa, pelaku dan daya kritis pengkaji sejarah. Pendekatan sejarah memiliki landasannya dalam Qur`an, “Qul, siru fi al-ardhi, fanzhuru kaifa kana ‘aqibatulladzina min qabl, la’allahum yarji’un” (Katakanlah, “Berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang sebelummu, mudah-mudahan kamu kembali kepada kebenaran”). Perintah “berjalan” dalam ayat itu, tentu bukanlah berjalan-jalan biasa. Makna yang dikandungnya tentu lebih dari itu yakni melakukan observasi dan penalaran yang cerdas, sehingga ditemukan nilai-nilai kebenaran dalam sejarah.

Banyak masalah umat Islam yang harus dicari jawabannya dalam sejarah. Misalnya masalah hubungan agama dan Negara. Apakah ada kemestian mendirikan negara agama (baca: Negara Islam)? Secara historis, kapan konsep daulah islamiyah atau islamic state itu muncul? Banyak orang Islam terjebak kepada justifikasi Negara Islam/ Khilafah Islamiyah dengan mengutip ayat atau hadits tanpa membaca sejarah Islam secara kritis. Pada hal, jika kita membaca secara kritis negara Madinah yang dibentuk Nabi pada abad ke-7 dan kekuasaan empat orang Khulafa’ al-Rasyidin sesudahnya,maka konseptualisasi tentang Negara dalam Islam sangatlah unik. Hal yang paling unik adalah Negara Madinah. Yaitu suatu Negara yang dilandaskan kepada konstitusi Madinah yang lazim disebut Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah). Nilai-nilai pada konstitusi Madinah itu sangat tepat dianalogikan dengan nilai-nilai pada konstitusi RI (UUD 1945), karena secara substansial kandungan nilai keduanya banyak yang mirip. Oleh karena itu, banyak pemikir Muslim berpendapat bahwa NKRI sesungguhnya suatu model kekhilafahan di era modern. Hal ini diperkuat oleh hasil ijtihad dan ijma` dua organisasi besar Islam Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah.

Pendekatan historis juga dibutuhkan dalam memahami nash Qur`an atau qaul (pendapat) ulama. Sebagai contoh, pendapat ulama klasik tentang hukum merokok. Secara historis akan diketahui bahwa alasan (‘illat) para ahli hukum dahulu menetapkan hukum merokok itu makruh karena dipersepsikan bahwa merokok sama dengan makan bawang. Jadi, indikator yang mereka pakai hanya bau bendanya. Belakangan diketahui bahwa unsur kimiawi bawang dan rokok itu berbeda. Jika dalam rokok ditemukan zat-zat beracun yang merusak kesehatan, justru di dalam bawang ditemukan zat-zat yang berguna bagi kesehatan. Oleh karena itu, indikator “bau” itu tidak tepat lagi dipertahankan. Bebarapa ahli hukum belakangan telah melihat dan menggunakan indikator  “racun” itu. Oleh karena indikatornya “racun”, maka hukum merokok adalah haram.

 

V.  Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam

Sosiologi berasal dari kata socius+logos. Socius artinya teman, sedangkan logos artinya ilmu. Jadi secara etimologi, sosiologi artinya ilmu tentang manusia yang berteman (berinteraksi), atau manusia yang bermasyarakat. Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.  

Kajian Islam memerlukan pendekatan sosiologis. Sebagai contoh, pemahaman terhadap hadits “khalifu al-musyrikina waffiru al-liha wa ahfu asy-sywarib” (selisihilah orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian, [Bukhari: 5442]). Di tempat lain, ditemukan pula hadits yang berisi perintah menyelisihi Yahudi terkait dengan menyemir rambut atau jenggot (Bukhari: 3203). Secara sosilogis dapat dipahami bahwa tunjukan utama perintah memanjangkan jenggot, mencukur kumis dan menyemir rambut atau jenggot sebenarnya agar Muslim berbeda kepribadiannya dengan Yahudi di masa itu. Jadi, dalam hubungan sosial, seorang Muslim harus membedakan kepribadiannya dengan non-Muslim. Memanjangkan jenggot dan lainnya itu adalah salah satu simbol pembedaan kepribadian antara Muslim dengan non-Muslim pada masa itu. Jika kita merujuk kepada Al-Qur`an sebagai sumber utama Islam, maka pembedaan kepribadian yang paling utama itu sesungguhnya adalah ketakwaan pribadi masing-masing Muslim (inna akramakum ‘indallahi atqakum, sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling takwa).

Banyak pula ayat al-Qur`an atau al-hadits yang harus dipahami dengan melihat latar historis dan sosiologisnya. Tanpa hal itu, maka kita tidak mungkin mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang ayat atau hadits itu. Terlebih pula kasus-kasus sosial umat Islam, misalnya konflik Muslim dengan non-Muslim, konflik internal umat Islam, dan sebagainya.

 

VI.   Studi Islam Terapan di Indonesia: Metodologi NU

Wawasan keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) adalah wawasan keagamaan yang ditransmisikan secara historis dari seorang ulama ke ulama lainnya. Transmisi ilmu ini berlangsung dalam mata rantai/sanad yang terpelihara dan terekam dalam kitab-kitab mu’tabarah. Kitab-kitab inilah kemudian yang menjadi materi pengajaran pada sebagian besar pondok-pondok pesantren NU di Indonesia, yang lazim disebut dengan kitab kuning.

Tradisi membaca dan memahami kitab kuning ini menjadi dasar pembentukan sekaligus alat pewarisan paham agama yang efektif. Tradisi ini kemudian secara natural melahirkan pelembagaan dan pembudayaan wawasan keagamaan. Inilah yang menjadi perwatakan atau corak paham keagamaan NU.

Dalam beragama, NU menekankan sikap bermazhab. Hal ini karena NU berpendapat bahwa hampir tidak mungkin bagi seorang ulama untuk melakukan ijtihad sendiri (menjadi mujtahid mutlak), karena berijtihad itu membutuhkan kemampuan istimewa.

Oleh karena berijtihad dalam pengertian ijtihad sebagaimana dilakukan oleh imam-imam mazhab tidak mungkin dilakukan, maka NU mengkategorikan orang yang merujuk kepada pendapat imam mazhab sebagai muqallid (orang yang taqlid). Menurut K.H. Ahmad Siddiq, bertaqlid tidak selalu identik dengan mengikut secara membuta-tuli (taqlid a’ma) tanpa sama sekali mempertimbangkan apakah pendapat yang diikuti itu benar atau sesat. Memang pada tingkat pertama, menurut beliau, semua orang pasti mengalami proses mengikut tanpa mengerti kekuatan pendapat yang diikuti. Tetapi setelah tingkat pertama ini terlampaui, maka harus diusahakan supaya pengetahuannya meningkat. Sewajarnya setiap Muslim harus mengetahui dan meyakini kebenaran pengetahuan yang diperolehnya dengan berusaha mengetahui dalil-dalilnya. Begitu pun, dengan mengetahui serba sedikit tentang dalil-dalil itu, tidaklah berarti dia sudah lepas dari tingkatan bertaqlid.

Dalam mengambil keputusan tentang masalah-masalah fiqhiyah, NU menyerahkannya kepada Lajnah Bahtsul Masa`il. Dalam forum ini, pengkajian terhadap suatu masalah tidak langsung merujuk kepada Al-Qur`an dan as-Sunnah, tetapi merujuk kepada qaul (pendapat) dalam kitab-kitab mu’tabarah. Hal demikian ini dilakukan, agar tidak terjebak kepada pemahaman (ijtihad) yang sembarangan. Jadi NU mengutamakan hasil-hasil ijtihad yang telah teruji pada setiap fase generasi  ulama terutama dalam mazhab Syafi’i. Menurut M.A. Sahal Mahfudz, sikap keilmuan yang demikian ini ditempuh sebagai wujud nyata pandangan NU bahwa dalam transmisi ilmu agama tidak boleh terputus mata rantai atau sanad-nya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Untuk menjaga keotentikan tradisi, maka harus ditelusuri mata rantai yang baik dan sah  pada setiap generasi.

Metode kajian masalah-masalah fiqhiyah dimaksud dilakukan dengan tiga cara yang penerapannya secara berjenjang (bertahap), yaitu:

1.        Metode Qauli

Metode ini dilakukan dengan cara mempelajari masalah agama yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab yang empat, dengan merujuk secara langsung bunyi teksnya. Atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup mazhab tertentu. Prosedur metode ini sebagai berikut:

a.         Jika jawaban terhadap suatu masalah dapat dicukupi dengan ‘ibarat kitab (ungkapan tekstual) dan di sana hanya terdapat satu qaul/wajah (qaul adalah pendapat imam mazhab, wajah adalah pendapat ulama mazhab), maka dipakai qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ‘ibarat kitab tersebut.

b.         Jika dalam ‘barat kitab terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i (penetapan kolektif) untuk memilih salah satu qaul/wajah.

Prosedur pemilihan qaul/wajah jika jawaban terhadap suatu masalah hukum dijumpai beberapa qaul/wajah, dilakukan dengan ketentuan berikut:

a.         Mengambil pendapat yang lebih maslahah dan/atau lebih kuat.

b.  Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar I tahun 1926, bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan cara berjenjang berikut ini:

1)        Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (Imam Nawawi dan Imam Rafi’i).

2)        Pendapat yang dipegang oleh Imam Nawawi

3)        Pendapat yang dipegang oleh Imam Rafi’i.

4)   Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama (selain imam mazhab, Nawawi dan Rafi’i).

5)        Pendapat ulama terpandai.

6)        Pendapat ulama paling wara’.

 

2.        Metode Ilhaqi

Metode ini diterapkan jika metode qauli tidak berhasil memberikan jawaban. Hal ini terjadi karena jawaban tekstual kitab mu’tabarah tidak ditemukan. Oleh karena itu dilakukan ilhaq masa’il bi nazhariha, yakni menyamakan/menganalogikan hukum suatu kasus yang belum diperoleh jawabannya dalam kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab. Metode ini mirip dengan metode qiyas (analogi).

3.        Metode Manhaji

Jika metode qauli dan ilhaqi menemui jalan buntu, maka ditempuh metode manhaji. Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah-masalah hukum agama dengan mengikuti metodologi penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab. Biasanya mengikuti kaedah penetapan hukum mazhab Syafi’i. Cara kerja metode ini, mula-mula mencari jawabannya dalam al-Qur`an. Jika jawaban tidak ditemukan, maka dicari dalam al-Hadits, dan begitu seterusnya, hingga akhirnya sampailah kepada jawaban dengan mempedomani kaidah fiqhiyyah. Metode terakhir ini adalah metode ijtihad dalam kerangka metodologi mazhab.

 

 

VII. Studi Islam Terapan di Indonesia: Metodologi Muhammadiyah

Untuk mengetahui metodologi Muhammadiyah dalam pemahaman agama, dapat dilihat pertama-tama tentang definisi ad-din pada buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah berikut ini: “Ad-din (agama) yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Qur`an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih (maksudnya sunnah al-maqbulah) berupa perintah-perintah, dan larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”. Defenisi lainnya, “Agama adalah apa yang disyari’atkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”.

Definisi di atas menegaskan bahwa ad-din (agama) bagi Muhammadiyah hanya bersumber kepada Al-Qur`an dan as-sunnah al-maqbulah  (Sunnah yang berkategori shahih dan hasan). Demikian pula, Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam bukanlah agama baru, tetapi kontinuitas (kelanjutan) risalah para nabi sebelumnya yang berakhir pada khatamunnabiyyin (penutup para nabi), yakni Muhammad Saw.

Tentang ‘ibadah, Muhammadiyah mendefinisikannya sebagai berikut: “Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Ibadah yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu”.

Sebagai kelanjutan pendefinisian ad-din dan al-‘ibadah, Muhammadiyah merumuskan metodologi pengkajian hukum agama sebagaimana kutipan berikut:

1.1. Bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah Al-Qur`an dan al-Hadits.

2. 2. Bahwa dalam menghadapi masalah-masalah yang telah terjadi, dan sangat dihajatkan  untuk diamalkan mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah, sementara jawabannya tidak terdapat pada nash sharih di dalam al-Qur`an atau Sunnah yang shahih (maksudnya as-sunnah al-maqbulah), maka dipergunakanlah metode ijtihad dan instinbath terhadap nash-nash yang ada melalui persamaan ‘illat (sebab hukum), sebagaimana dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.

Berdasarkan point-point penting di atas, maka dapat dipahami bahwa segala masalah agama bagi Muhammadiyah harus langsung merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah al-Maqbulah. Jadi tidak boleh menyandarkan pendapat hukum kepada pribadi ulama tertentu, meskipun pendapat ulama dimaksud diikuti oleh mayoritas ummat. Semboyan utama organisasi ini “ar-ruju’ ila al-qur`an wa as-sunnah” (kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah). Penyebutan as-Sunnah al-Maqbulah menegaskan pula bahwa Muhammadiyah tidak mendasarkan pemahaman agamanya kepada hadis-hadits yang dha’if, apa lagi yang maudhu’ (palsu). Dampaknya kemudian, dalam beberapa hal, Muhammadiyah tidak mengamalkan beberapa bentuk amalan yang telah menjadi tradisi mayoritas umat Islam. Dengan mode berpikir yang demikian, maka seluruh pemahaman atau pemikiran ulama dari dahulu sampai sekarang (apakah imam mazhab atau ulama lainnya) hanya diposisikan sebagai referensi dalam mengkaji masalah-masalah agama yang muncul di permukaan dengan menjadikan Al-Qur`an dan Sunnah sebagai pijakan utama. Konsekuensi pemahaman agama yang demikian, maka dalam Muhammadiyah tidak dibangun kesetiaan pribadi (taqlid) kepada seorang ahli hukum, bagaimana pun kehebatan dan kebesaran ulama dimaksud. Lebih jelasnya, Muhammadiyah tidak memiliki kesetiaan pribadi  kepada Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, atau ulama besar lainnya (misalnya Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, dll). Karya-karya mereka, sekali lagi, hanya dijadikan referensi dalam forum Majelis Tarjih dan Tajdid. Pemahaman atau pemikiran keagamaan para imam mazhab itu dapat dipakai sepanjang pemahaman dimaksud sejalan dengan al-Qur`an dan as-Sunnah al-maqbulah. Jika dalam kajian yang dilakukan, ternyata apa yang ditemukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid lebih rajih (kuat) dalilnya, lebih tepat analoginya dan lebih kuat maslahatnya dari pada yang dipegang oleh imam mazhab atau ulama lainnya dan atau yang ditradisikan umat Islam, maka Majelis Tarjih akan mengabaikan pendapat-pendapat seperti itu, lalu merumuskan pendapatnya sendiri. Inilah penjelasan pokok, mengapa Muhammadiyah disebut tidak bermazhab.

Secara nyata, bagi Muhammadiyah, pintu ijtihad tetap terbuka. Meski demikian, realitasnya Muhammadiyah juga menyadari bahwa berijtihad secara individual (ijtihad fardhiyyah) sangat sulit dilakukan. Itulah sebabnya, pekerjaan berijtihad di Muhammadiyah dilakukan secara bersama (ijtihad jama’i, ijtihad kolektif) melalui suatu wadah yang disebut dengan Majelis Tarjih dan Tajdid.

Metode, pendekatan dan teknik kajian hukum agama dalam Muhammadiyah sebagai berikut:

1.      Metode 

   a. Bayani (semantik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.

    b. Ta’lili (rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran.

    c. Istishlahi (filosofis), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan   kemaslahatan. 

2.      Pendekatan

       Pendekatan yang digunakan dalam penetapan hukum-hukum ijtihadiyah adalah:

       a.       At-tafsir al-ijtima’i al-mu’ashir (hermeneutik).

       b.      At-Tarikhi (historis)

       c.       As-susiuluji (sosiologi)

       d.      Al-anturubuluji (antropologi)

 3.      Teknik

                  Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah:

      a.       Ijma’ (konsensus, kesepakatan)

      b.      Qiyas (analogi)

      c.       Mashalih Mursalah (pencarian maslahat hukum dengan nalar kritis-filosofis)

      d.      ‘Urf (pengambilan nilai yang ma’ruf  [diakui, diketahui dan diterima] yang hidup dalam jiwa dan akal masyarakat yang melakukannya).

000OOO000 

Palopat PK, 09 Desember 2015

  Foto: Pantai Padang, 02 Agustus 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar