Negara yang bagaimana sesungguhnya dikehendaki Islam? Adakah konsep Negara Islam (Islamic State) dalam al-Qur`an sebagaimana disebut-sebut oleh para pendukung konsep ini? Inilah yang menjadi topik renungan singkat kita.
Sejauh yang kita tahu, secara literal tidak ditemukan istilah daulah islamiyah atau khilafah islamiyah (atau istilah: negara Islam) dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah. Istilah ini muncul ---menurut sebagian pakar--- justru pada era belakangan saja (era modern), yakni ketika Barat telah menguasai hampir seluruh negeri-negeri Muslim. Kemunculan konsep daulah islamiyah atau khilafah islamiyah lebih dipicu oleh persoalan politik dari pada persoalan akademis atau teoritis-ilmiah, yakni kebutuhan konseptual terhadap penegasan identitas kekuasaan umat Islam yang sedang “cerai-berai” sebagai akibat kolonialisme Barat.
Jika kita melihat jauh ke belakang, tidak diragukan lagi bahwa pasca Khulafa` al-Rasyidin, bentuk pemerintahan umat Islam jatuh kepada monarki-hereditis. Poros kekuatan politik monarki ini berada pada suatu bani (clan atau suku). Bani ini memerintah turun-temurun sampai kekuasaannya berakhir (hancur dalam perjalanan sejarah). Setelah kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir (khalifah keempat dari Khulafa` al-Rasyidin), muncullah dalam sejarah pemerintahan Daulah Bani Umaiyah, Daulah Bani Abbasiyah, Daulah Fathimiyah, Daulah Murabithun, Daulah Muwahhidun, dan sebagainya.
Sejak kekuasaan politik umat Islam jatuh kepada monarki hereditis, praktis dimulailah pemisahan kekuasaan agama dari negara. Khalifah yang berkuasa tidak lagi menjadi pemimpin agama. Adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang memulai pemisahan agama dari negara ini. Kekuasaan agama secara natural jatuh kepada ahli-ahli agama yang bertebaran di seantero wilayah.
Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat tersebar di berbagai pelosok dunia Islam. Umumnya mereka menduduki posisi kepemimpinan keagamaan dan intelektual. Mereka menjadi tempat bertanya orang-orang di daerahnya untuk dimintai keputusan berkaitan dengan berbagai persoalan.[1]
Terdapat perbedaan yang mencolok gaya dan tipe kepemimpinan Khulafa` al-Rasyidin dengan para khalifah Bani Umaiyah, Abbasiyah dan dinasti penerusnya. Para khalifah monarki hereditis ini --- kecuali sebagian kecil dari mereka--- mencontoh cara berkuasa raja-raja Persia dan Romawi yang pragmatis dan hedonis. Di antara sahabat shalih yang masih hidup seperti Abu Dzar al-Ghiffari meresahkan dan mengeritik keras gaya hidup khalifah Bani Umaiyah yang mempertontonkan kemewahan dan karakter raja-raja non-Muslim.
Kepemimpinan Khulafa` al-Rasyidin penuh kesahajaan dan kesederhanaan. Mereka adalah sahabat setia Nabi yang tidak mengejar kemewahan duniawi. Mereka adalah contoh pemimpin penerus Nabi yang sungguh-sungguh berkhidmat bagi rakyatnya.
Berdasarkan survey singkat ke sejarah masa lalu, maka dapatlah dinyatakan bahwa masa ideal pemerintahan dalam Islam itu adalah masa Nabi Saw., dan empat khalifah rasyidah sesudah beliau.
Pertanyaannya kemudian, dapatkah dikatakan bentuk pemerintahan masa Nabi dan khulafa` al-rasyidin sebagai bentuk pemerintahan Negara Islam? Tentu terlalu simplistik jika disimpulkan demikian. Jawaban yang paling realistis ---sepanjang yang penulis ketahui--- adalah Nabi Muhammad Saw tidak pernah menyebut pemerintahan pada masa beliau sebagai Daulah Islamiyah, atau nama lain yang secara konseptual dapat disamakan dengan istilah Negara Islam. Suatu hal yang menarik, justru Nabi Saw menukar Yatsrib (Yetroba, dalam bahasa Yunani kuno) dengan nama Madinah. Istilah madinah biasa diartikan “kota” sebagai lawan dari a’rab (orang Arab badui atau dusun). Madinah juga bermakna beradab. Sedangkan a’rab atau badui adalah belum beradab. Dengan demikian, Nabi Saw membangun suatu negeri yang beradab atau madani. Dalam upaya membangun landasan kehidupan yang madani bagi warga Madinah, Nabi Saw kemudian membuat regulasi yang dikenal dengan nama Mitsaq al-Madaniyyah (Piagam Madinah). Piagam Madinah ini dipandang oleh para ahli sejarah sebagai konstitusi pertama yang menjunjung tinggi hak-hak sipil di dunia. Jadi, Nabi Saw tidaklah memperlakukan al-Qur`an sebagai konstitusi negara, sebagaimana yang dipahami secara sempit oleh sementara orang. Semangat Piagam Madinah itu adalah semangat rekonsiliasi dan rekonstruksi kehidupan sosial-politik warga Madinah yang plural. Piagam Madinah itu dapat dilihat sebagai objektifikasi nilai-nilai al-Qur`an dalam kehidupan sosial politik Madinah, sehingga merupakan hukum positif yang mengikat warga Madinah. Namun, sangat disayangkan kemudian, warga Yahudi dan Nasrani menghianati Piagam ini, hingga mereka terpaksa diusir dari Madinah. Pengusiran warga Yahudi dan Nasrani pada masa itu adalah pilihan yang mesti dilakukan, karena pembangkangan kedua komunitas ini akan sangat potensial merusak kohesivitas sosial umat Islam yang baru terbentuk.
Islam dan Keindonesiaan
Usaha Nabi SAW dalam menerjemahkan nilai-nilai al-Qur`an dalam kehidupan sosial politik Madinah menjadi contoh yang sangat baik bagi kita dalam mengukuhkan semangat keindonesiaan.
Disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara oleh seluruh komponen bangsa, menurut Nur Cholish Madjid, dapat dipandang sebagai suatu kalimatun sawa’ (common platform) bagi bangsa ini. Mitsaq al-Madaniyah dapat dianalogkan dan dipandang sebagai referensi historis bagi dasar dan falsafah Negara.
Usaha formalisasi Islam sebagai dasar dan falsafah negara, tidak saja bertentangan dengan semangat kebhinnekaan atau pluralitas bangsa, tapi justru akan mereduksi Islam yang tinggi itu begitu rendah hingga sejajar dengan hasil-hasil pemikiran manusia.
Islam (baca: al-Qur`an dan Sunnah) harus tetap diposisikan sebagai sumber perumusan falsafah dan dasar negara, begitu juga menjadi sumber perumusan hukum. Islam mesti diobjektifikasi dalam kehidupan sosial-politik bangsa, hingga setiap warga bangsa ---apa pun latar belakang agama dan sukunya--- akan merasakan rahmat dari objektifikasi Islam dalam kehidupan publik bangsa ini.
Dengan demikian, usaha cerdas yang kita butuhkan adalah substansialisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan cara seperti ini, maka secara natural “islamisasi” bangsa ini akan berjalan tanpa harus berbenturan dengan nilai-nilai kebinekaan atau pluralitas bangsa.
Pengalaman masa lalu bangsa kita, bahwa usaha sebagian umat Islam yang hendak memformalisasi ajaran Islam dalam konsep Negara Islam justru hampir saja membuat bangsa ini bubar. Oleh karena itu ---sekali lagi--- yang kita butuhkan saat ini adalah usaha cerdas umat Islam untuk melakukan substansialisasi nilai-nilai Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian yang kita butuhkan sekarang bagaimana agar bangsa ini terkukuhkan dengan nilai-nilai Islami, sehingga dapat dengan mantap menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Pendekatan yang cerdas dilakukan adalah pendekatan kultural, sebagaimana yang telah berlangsung selama ini. Pendekatan struktural, sebagaimana yang ingin dipaksakan oleh perwakilan umat Islam pada sidang-sidang konstituante masa orde lama, sudah cukup menjadi pelajaran berharga bagi kita. Jika juga hari ini masih dilakukan, maka sama saja dengan membenturkan kepala ke tembok.
Diakui atau tidak, dengan bentuk negara seperti saat ini ---meskipun belum dapat dikatakan sebagai bentuk paling ideal--- setiap Muslim dapat dengan bebas mengekspresikan keislamannya. Kebebasan berkeyakinan atau beragama ---sebagai sesuatu yang substansial dalam ajaran Islam--- dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Diakui bahwa masih banyak nilai-nilai Islam yang belum terdaratkan dalam kehidupan berbangsa. Kenyataan seperti ini, harus kita sikapi sebagai tantangan dalam berfastabiqul khairat dengan umat agama lain dalam membangun bangsa.
Kecerdasan, kearifan dan ketinggian moral umat Islam dalam melakukan peran-peran konstruktif, insya Allah nilai-nilai Islam akan semakin kukuh dan mantap menjadi penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam.
Penutup
Negara-bangsa (nation state) yang berfalsafah Pancasila saat ini dapat dipandang sebagai bentuk negara yang paling cocok untuk zaman kita. Dengan bentuk negara seperti ini kita bebas mengekspresikan kehidupan keagamaan kita. Kita dapat membangun kehidupan bersama dengan umat agama lain dalam semangat fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) sebagaimana semangat hidup bersama yang pernah dibangun oleh Nabi Saw di Madinah pada abad ke-7. Dengan bentuk negara yang ada saat ini, umat Islam sebagai warga mayoritas bangsa ditantang untuk membangun kehidupan masyarakat madani. Wallahu a’lam.
[1]Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Cet. Ke-2, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar