Pengamalan ibadah shalat melibatkan dimensi jasadiah/jismiyah (pisik) dan dimensi ruhiyah (spiritual). Dimensi pisik adalah berupa posisi badan dan gerakan-gerakan yang dilakukan dalam shalat. Sedangkan dimensi ruhiyah menyangkut keikhlasan, kekhusyukan dan kesungguh-sungguhan dalam shalat, yang lazim disebut hudhurul qalbi (menghadirkan hati). Siapapun tak dapat menyangkal bahwa untuk mencapai kesempurnaan shalat maka yang pertama-tama diperbaiki adalah dimensi jasadiah/jismiyah ibadah shalat. Tentang ini Nabi yang mulia mengingatkan:
صلوا كما رأيتمونى أصلى (رواه البخارى)
Artinya:
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat. (HR Bukhari).
Orang-orang yang langsung melihat dan mengamati secara empirik cara Nabi shalat hanyalah para sahabat beliau. Sedangkan selainnya, sebagaimana juga kita, hanya berusaha mengetahui cara shalat berdasarkan praktek yang dipelihara turun-temurun dan berdasarkan periwayatan hadis dari para sahabat yang terhimpun dalam kitab-kitab kumpulan hadis.
Oleh karena kita tidak pernah melihat secara langsung bagaimana Nabi Saw shalat, maka agar gerakan shalat yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan Nabi, maka kita perlu bersungguh-sungguh memahami penjelasan shalat dari hadis (berita) yang berasal dari atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk tujuan ini, dalam Persyarikatan Muhammadiyah secara resmi sejak 1929 M, telah disadari perlunya menjelaskan tata cara shalat yang benar sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW. Namun demikian, perlu disadari, oleh karena beragamnya hadis (berita dari Nabi), dan beragam pula persepsi tentang suatu hadis (suatu berita), maka konsekuensinya akan selalu ada keragaman-keragaman kecil dalam pelaksanaan ibadah shalat. Meskipun keragaman itu tidak mencolok. Contoh keragaman kecil misalnya tentang posisi yang benar-benar tepat peletakan tangan kanan di atas tangan kiri. Di suatu Daerah Muhammadiyah mungkin saja gerakan pisik shalat benar-benar dapat diseragamkan sebagaimana kerapian gerakan pisik dalam olah raga, tetapi pada Daerah lain kita akan menemukan keragaman kecil lainnya. Dan sejauh yang kita ketahui, Nabi SAW tidak memberi perhatian khusus untuk mengurus keragaman kecil itu. Tetapi jika ada suatu yang mencolok, beliau langsung memberi respon. Contoh respon beliau jika terjadi suatu hal mencolok sebagaimana hadis berikut. Diterima dari Jabir, katanya:
مرر رسول الله صلى الله عليه وسلم برجل وهو يصلى وقد وضع يده اليسرى على اليمنى فانتزعها, ووضع اليمنى على اليسرى (رواه أحمد و غيره, قال النووى: إسناد صحيح)
Artinya:
Rasulullah Saw lewat pada seorang laki-laki yang sedang shalat yang meletakkan tangan kiri di atas tangan kanannya. Maka tangannya itu ditarik oleh Nabi dan ditaruhnya tangan kanannya di atas tangan kirinya. (HR Ahmad dan lain-lain, dan menurut Nawawi isnadnya sah).
Pesan yang ingin kami sampaikan, jika muncul perbedaan-perbedaan kecil di antara kita, jangan sampai hal itu membuat kita jatuh kepada perdebatan yang tak berujung, apa lagi sampai berbantah-bantahan. Jika kita telah berusaha ittiba’ (mengikut) kepada Rasul, meskipun ada perbedaan kecil, maka kita telah berada dalam iktikad yang benar.
Dimensi RuhIah Ibadah Shalat
Kesempurnaan shalat tidak cukup hanya pada kesempurnaan gerak pisik. Justru aspek yang lebih penting adalah gerak hati (aspek ruhiyah/ruhaniah) dalam shalat. Salah satu kritik yang pernah disampaikan oleh seorang ulama pembaharu India, Syaikh Wahiduddin Khan, bahwa oleh karena terlalu memperhatikan aspek jasadiah/jismiyah dalam shalat, dampaknya sebagian umat Islam lebih fokus kepada gerakan pisik dari pada gerak hati ketika shalat. Akibatnya kemudian, shalat menjadi pekerjaan ibadah yang kaku atau rigid dan kehilangan dimensi ruhaniahnya. Padahal dimensi ruhaniah itulah sesungguhnya inti pokok ibadah shalat. Kritik yang sama juga pernah diutarakan oleh Hamka.
Kalau dimensi ruhaniah itu hilang, maka shalat akan kehilangan maknanya. Al-Qur`an sendiri lebih banyak memberi tuntunan tentang gerak hati dari pada gerak pisik/jism. Petunjuk Al-Qur`an tentang gerak pisik lebih bersifat pragmented, dari pada suatu penjelasan yang utuh. Misalnya, dalam suatu ayat di Al-Qur`an Allah SWT menyuruh rukuk, sementara di ayat lain menyuruh sujud.
Di antara ayat Al-Qur`an yang menuntun gerak hati misalnya surat Al-Baqarah/2: 45-46 yang terjemahnya sebagai berikut:
45. Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. 46. (yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (Al-Baqarah/2: 45-46).
Ayat ini menjelaskan bahwa mengerjakan shalat itu amat berat bagi orang yang tidak khusyuk. Sebaliknya akan terasa ringan dan lezat bagi mereka yang khusyuk. Secara bahasa, khusyu’ artinya tunduk, rendah, takluk. Khusyuk dalam shalat berarti menundukkan hati atau merendahkan hati kepada Allah SWT. Orang yang tunduk hati atau berendah hatilah yang merasa ringan melaksanakan shalat. Dalam ayat di atas disebutkan bahwa orang yang khusyuk adalah orang yang hatinya yakin bahwa ia akan menemui Tuhannya, dan akan kembali kepada-Nya. Keyakinan ini muncul jika seorang muslim telah benar-benar memasrahkan atau menundukkan dirinya kepada Allah SWT.
Di samping surat Al-Baqarah/2: 45-46 di atas, maka untuk lebih mendapatkan penjelasan Al-Qur`an tentang dimensi ruhaniyah ibadah shalat, dapat juga dilihat surat Al-An’am/6: 63, An-Nisa’/4: 43, Al-A’raf/7: 55, 56, 205, dan Al-Muzammil/73: 8. Sebagai contoh, pada surat Al-A’raf/7: 205, yang terjemahnya sebagai berikut:
Dan ingatlah Tuhan-mu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai. (Al-A’raf/7: 205)
Dalam ayat-ayat dimaksud, Allah SWT memberi petunjuk agar dalam berzikir dan berdo’a, terkhusus dalam shalat, hendaklah dilakukan dengan tadharru’ (rendah hati) dan khufyah (suara yang lembut), khaufan (rasa takut) dan thama’an (penuh harap), dunal jahri bilqaul (tidak mengeraskan suara). Ketika membaca ayat Al-Qur`an dalam shalat, Allah menuntun agar dibaca dengan tartil, yakni dibaca perlahan hingga meresap dihati. Jika shalat dilakukan dengan sikap hati yang tunduk, merendah, takut akan siksa Allah, penuh harap kepada-Nya, suara yang lembut, mengerti apa yang diucapkan, disertai bacaan ayat Al-Qur`an dengan tartil, maka kita akan dapat mencapai shalat khusyuk. Al-Ghazali dan Hamka mengatakan bahwa shalat yang demikian akan mengantarkan orang kepada kelezatan beribadah kepada Allah. Jika orang sudah merasakan kelezatan beribadah, maka ia akan merasakan shalat sebagai kebutuhan asasi, dan ia senantiasa dalam posisi menunggu tibanya waktu shalat. Ia tidak akan menyia-nyiakan shalat, karena hatinya rindu untuk shalat. Bahkan pada waktu-waktu yang panjang, misalnya antara Shubuh dengan Zuhur ia manfaatkan untuk shalat Dhuha, begitu pula antara Isya dan Shubuh ia manfaatkan untuk shalat Tahajjud. Orang yang demikian, sebagaimana disebut oleh Nabi yang mulia, senantiasa condong hatinya ke mesjid.
Menurut hemat penulis, shalat yang demikianlah yang sesuai dengan tuntunan Qur`an dan Sunnah, dan shalat yang demikian pulalah yang sebenarnya dihimbau oleh Persyarikatan Muhammadiyah. Shalat khusyuk sebagaimana dijelaskan di atas, akan menguatkan iman, memperkaya jiwa dan akan mencegah seorang muslim dari perbuatan keji dan munkar.
Gejala yang penulis amati di lapangan, ketika menjelaskan ibadah shalat, sebagian muballigh kita kurang banyak menyentuh aspek ruhaniah ibadah shalat ini. Penjelasan para muballigh lebih banyak berkutat di seputar aspek jasadiyah atau jismiyah. Pada hal Al-Qur`an memberikan penekanan agar beribadah dilakukan dengan khusyuk, tadharru’, khufyah, khauf, thama’an, dan tartil, bahkan dalam surat An-Nisa`/4: 43, Allah menekankan agar orang-orang yang beriman jangan shalat dalam keadaan akal tidak berfungsi (mabuk), karena orang mabuk tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Allah SWT menjelaskan pada dalam surat An-Nisa`/4 ayat 43 yang terjemahnya sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan… (An-Nisa`/4: 43).
Mengerti apa yang kita ucapkan dalam shalat sangatlah penting. Para ahli ilmu terdahulu telah sependapat bahwa memahami apa yang kita baca menjadi salah satu syarat didengarnya permohonan atau zikir kita oleh Allah SWT ketika melakukan ibadah shalat. Hamka mengatakan, adalah aneh jika orang bermohon sesuatu kepada Allah, tetapi ia tidak mengerti apa yang ia mohonkan. Di samping keharusan mengerti apa yang kita ucapkan, Allah SWT juga menuntun kita agar beribadah dengan penuh ketekunan. Dalam surat Al-Muzammil/73: 8, Allah SWT berfirman yang artinya sebagai berikut:
Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.
Kita tidak mungkin bisa tekun atau sungguh-sungguh jika hati kita tidak tunduk, tidak merendah, tidak takut kepada Allah. Demikian pula tidak mungkin beribadah dengan tekun jika kita tidak mengerti apa yang kita ucapkan.
Hal lain yang menjadi penekanan Al-Qur`an, agar dalam shalat jangan sampai hati kita lalai dari mengingat Allah (Al-A’raf/7: 205), karena shalat itu sendiri untuk mengingat Allah (Thaha/20: 14). Shalat adalah puncak zikir dan do’a kepada Allah, karena shalat adalah ibadah yang paling utama dari ibadah yang lain (Al-Ankabut/29: 45). Hati yang lalai akan membuat shalat yang kita lakukan tidak bermakna apa-apa. Oleh karena itu, ketika shalat, kita harus menjauhkan diri dari hal-hal yang mengganggu ketenangan beribadah. Nabi kita bahkan pernah mengembalikan baju Abu Jahm yang diterimanya, karena telah mengganggu hatinya ketika shalat. Nabi SAW bersabda:
إذهبوا بها إلى أبى جهم فإنها ألهتنى انفا عن صلاتي وائتوني بأنبجانية أبى جهم (رواه البخارى و مسلم عن عائشة)
Artinya:
Bawalah baju ini kembali kepada Abu Jahm, karena tadi telah mengganggu shalatku, dan tukarlah dengan gamis Abu Jahm sendiri. (HR Bukhari-Muslim dari ‘A`isyah).
Hal yang dilakukan Nabi sebagai usaha beliau agar pikiran dan hatinya fokus kepada ibadah shalat. Sebab dalam hadis lain disebutkan bahwa kualitas shalat seorang hamba hanyalah sekedar apa yang diingatnya daru shalatnya. Dalam hadis yang diterima dari Imar dan lain-lain, Nabi SAW bersabda:
... و إنما يكتب للعبد من صلاته ما عقل منها (رواه أبودود عن إمر و غيره)
Artinya:
…yang didapat hamba dari shalatnya sekedar apa yang diingatnya. (HR Abu Daud, dari Imar dan lain-lain).
Hadis ini sejalan dengan ayat-ayat Allah agar dalam shalat, kita benar-benar mengingat Allah, bersungguh-sungguh, penuh khusyuk, memahami apa yang diucapkan, dan sebagainya.
Penutup
Menurut hemat kami, pada dimensi jasadiyah/jismiyah ibadah shalat, kita telah berhasil kembali kepada Qur`an dan Sunnah, tetapi pada dimensi ruhiyah/spiritual masih diperlukan usaha yang terus-menerus dan bersungguh-sungguh. Oleh karena itu, para muballigh Muhammadiyah, perlu memfokuskan pengajian pada dimensi ruhaniyah ibadah ketika mengangkat topik pengajiannya tentang ibadah shalat. Kita juga perlu melakukan diskusi-diskusi tentang dimensi paling pokok ibadah shalat ini. Dengan demikian akan memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang shalat khusyuk. Perlu ditegaskan bahwa pada dimensi ruhiyah/batiniyah inilah terlatak jantung ibadah. Jargon kembali kepada Qur`an dan Sunnah, khususnya dalam bidang ibadah, akan terasa kaku, mekanistik dan kering, jika dimensi ruhaniah ibadah terabaikan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar