Senin, 06 September 2021

APAKAH JENGGOT MASALAH AGAMA ATAU BUDAYA?

Ada ragam pendapat soal memelihara jenggot. Ada yang berpendapat bahwa (1) memelihara jenggot itu masyru' (disyari'atkan). Dengan demikian hukumnya wajib. Mencukurnya berarti berdosa. (2) Pendapat lain mengatakan memelihara jenggot hukumnya hanya setingkat sunnah. Karenanya, mencukur jenggot tidak sampai berdosa. (3) Pendapat lainnya lagi, masalah jenggot bukan bagian dari syari'at tapi soal budaya berpenampilan.

Penulis lebih mengamini pendapat yang terakhir yang mengatakan bahwa soal jenggot ini lebih tepat dipahami sebagai soal budaya dalam Islam. Hukumnya setingkat mubah saja. Artinya, tindakan memelihara jenggot atau mencukurnya tidak memiliki konsekuensi hukum. Bagi yang suka, silakan. Bagi yang tidak suka silakan pula.

Beberapa alasan sebagian ulama yang penulis sependapat sebagai berikut:
1. Jika kita telusuri dan pikirkan dalam-dalam tentang ide pokok Al-Qur'an terkait ciri kepribadian mukmin, muslim dan muhsin tidak pernah menyebutkan hal-hal simbolik seperti jenggot, kumis dan pernak-pernik berpenampilan. Penciri mukmin, muslim dan muhsin selalu bersifat substantif dan esensial. Misalnya beriman, menolong, beribadah, berzakat, menepati janji, bersabar, dll. (Lihat misalnya Al-Baqarah ayat 177). Bahkan Nabi Saw., pernah menyebut bahwa pembeda pokok kaum beriman dan kaum kafir adalah shalat (al-farqu bainana wa bainahum as-shalah).

2. Nabi Saw., menegaskan bahwa Allah SWT tidak akan melihat tampilan/performan pisik (jasmani dan rupa) sebagai indikator dalam menilai kepribadian seorang Muslim. Allah malah hanya akan melihat hati dan ketakwaan kita. (Innallaha la yanzhuru ila ajsamikum wa la ila shuwarikum, walakin yanzhuru ila qulubikum wa taqwakum). Dengan demikian, kumis dan jenggot yang termasuk komponen jasmani manusia, tentu tidak akan dijadikan ukuran oleh Allah dalam melihat kepribadian Muslim.

3. Hadits tentang perintah Nabi untuk membedakan diri pribadi Muslim dengan Yahudi dan Nashrani (khaliful yahudi wan nashara), mesti dilihat dalam konteks sosial dan budaya berpakaian orang Arab masa itu. Secara keseluruhan, budaya berpakaian antara Muslim dan non Muslim pada masa itu tidak dapat dibedakan. Mereka sama-sama punya kebiasaan berjubah dan berserban. Naik unta dan menunggang kuda. Jika bertemu di tengah padang pasir, maka sulit membedakan apakah orang tersebut saudara seagama (Muslim) atau musuh (Kafir). Sementara kaum Muslimin harus waspada dan menjaga diri, keluarga dan masyarakatnya dari fitnah, intimidasi dan serangan musuh di mana saja mereka berada. Terutama dari kaum Musyrikin yang masih menguasai Makkah. Dalam konteks (situasi dan kondisi) seperti itulah Nabi berpesan, "Bedakan dirimu dengan Yahudi dan Nasrani. Cukur kumismu dan panjangkan jenggotmu". Secara sosiologis, perintah Nabi ini akan memudahkan bagi laki-laki Muslim masa itu untuk saling mengenali di mana saja berada.

4. Jika memanjangkan jenggot dan mencukur kumis disimpulkan termasuk penciri pokok seorang Muslim, dan berkonsekuensi dosa jika tidak diamalkan, maka kesimpulan ini akan bertentangan dengan ide pokok dan semangat utama Al-Quran dan Sunnah tentang bangunan dan karakter kepribadian yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Setidaknya, kepribadian yang dikehendaki Allah punya tiga penciri pokok yaitu Mukmin, Muslim dan Muhsin. Pribadi yang kokoh-kuat dengan iman-islam-ihsan (mukmin,  muslim, muhsin) disebut pribadi insan kamil. Insya Allah, persoalan kumis dan jenggot tidak akan menghalangi seseorang untuk mencapai kepribadian insan kamil dimaksud. 

Begitu pun, mari kita saling menghormati dalam pemahaman agama. Kecuali Nabi, tidak ada seorang pun yang boleh memandang bahwa pemahaman agamanya paling benar. Jika ada orang mengklaim pemahamannya paling benar maka sadar atau tidak, ia telah jatuh kepada kesombongan/keangkuhan ilmu. Ujungnya adalah absolutisme pemahaman. Sikap terakhir ini sama dengan menyembah pemahaman sendiri. Allahu a'lam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar