Sabtu, 30 April 2011

PROFIL DAN HAKIKAT GURU (PENDIDIK) MENURUT AL-QUR`AN






A.     Pendahuluan

Guru adalah subjek paling penting dalam keberlangsungan pendidikan. Tanpa guru, sulit dibayangkan bagaimana pendidikan dapat berjalan. Bahkan meskipun ada teori yang mengatakan bahwa keberadaan orang/manusia sebagai guru akan berpotensi menghambat perkembangan peserta didik, tetapi keberadaan orang sebagai guru tetap tidak mungkin dinafikankan sama sekali dari proses pendidikan.[1]

Realitasnya, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Secara umum, guru bisa siapa saja. Justru guru yang pertama kali dijumpai oleh setiap orang adalah orang-tuanya sendiri. Baru kemudian, guru pada pendidikan formal. Di tengah masyarakat, pimpinan masyarakat juga dapat berfungsi sebagai pendidik untuk masyarakatnya. Dalam pengertian yang luas seperti ini, maka siapa saja yang melakukan pekerjaan berupa proses transper pengetahuan dan internalisasi nilai kepada peserta didik, maka dapat disebut sebagai guru.

Peran guru demikian penting dan menentukan. Ia melakukan cetak biru generasi muda. Oleh karena itu, jika guru tidak memenuhi syarat-syarat kualitas dan kuantitas yang ideal, maka akan berakibat terhadap perkembangan intelektual, emosional, sosial dan kinestetis peserta didik.

Makalah ini akan menyoroti profil guru (pendidik) dalam perspektif Al-Quran. Namun, untuk menyajikan pembahasan yang utuh, maka penulis terlebih dahulu menjelaskan secara teoritis pemikiran para ahli tentang hakikat dan profil pendidik, baik ahli didik Islam maupun non-Muslim.




B.     Deskripsi Teoritis: Guru dan Profil Guru

1.      Guru (Pendidik)

Dalam syairnya, Ahmad Syauqi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Munir Mursi mengatakan bahwa pada diri guru ada kemuliaan. Hampir saja guru itu mendekati kerasulan.[2]

Secara institusional, guru memegang peranan yang cukup penting, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Dengan demikian, guru juga berperan melakukan evaluasi dan penyempurnaan kurikulum.[3]

Dalam Islam, istilah pendidik disebut dengan beberapa istilah seperti muaddib, murabbi dan mu’allim. Walaupun ketiga istilah itu masih terbedakan karena masing-masing memiliki konotasi dan penekanan makna yang agak berbeda, namun dalam sejarah pendidikan Islam ketiganya selalu digunakan secara bergantian.[4] Pertanyaan yang menggelitik kemudian, siapakah pendidik itu?

Dalam sebuah hadis tersebut bahwa Nabi bersabda:
أدبنى ربى فأحسن تأديبى

 “Tuhanku telah mendidikku, maka menjadi baiklah pendidikanku”.

Dalam penggalan hadis ini, maka nyatalah bahwa Allah SWT adalah Pendidik Agung bagi para Nabi dan seluruh alam semesta. Dja’far Siddik mengatakan, “Dialah Muaddib Agung, dan Dia pulalah Murabbi Agung yang telah mendidik para Nabi dan Rasul-Nya. Dia juga Mu’allim Agung yang telah membelajarkan Adam as, nenek moyang umat manusia tentang segala sesuatu.”[5]

Berdasarkan penjelasan di atas, maka Allah pulalah sesungguhnya pendidik agung manusia. Hanya saja dalam operasionalnya, Allah Swt tidaklah berinteraksi secara langsung dengan manusia. Dia mengutus para Rasul untuk mendidik manusia ke jalan yang diridai-Nya. Dengan demikian, para Rasul pulalah yang mengambil peranan sebagai pendidik bagi umat manusia.[6]

Dalam unit kehidupan sosial terkecil yakni keluarga, orang tua menjadi pendidik utama bagi anak dan keluarganya. Dalam surat at-Tahrim/66 ayat 6 Allah SWT mewajibkan setiap orang untuk mendidik dan memelihara diri pribadinya dan sekaligus membimbing keluarganya agar tidak tergelincir ke dalam api neraka.[7]

Dalam kehidupan sosial yang lebih luas, yang berperan sebagai pendidik adalah terutama para ‘ulama dan ahl al-zikr. Namun dalam konteks pendidikan yang lebih luas, maka pada diri setiap orang sesungguhnya melekat kewajiban untuk mendidik. Hanya saja ulama dan ahl zikir secara khusus diberi amanah sebagai pendidik.[8] Nabi Saw bersabda:
 العلماء ورثة الانبياء

Ulama adalah pewaris para Nabi.[9]

Berdasarkan penekanan khusus kepada para ulama dan ahl al-zikr tersebut, maka tidak mengherankan jika para pakar pendidikan Islam menetapkan syarat-syarat yang cukup ketat sebagai kriteria yang seyogianya dimiliki oleh pendidik. Criteria dimaksud seperti khasyyah, istiqamah, sabar, berilmu, cerdas dan terampil, penyantun, dan berbagai sifat terpuji lainnya yang menunjukkan kemuliaan dan beratnya beban tugas seorang pendidik.[10]

Selain itu, para ahli didik Muslim merumuskan berbagai pedoman lain yang menyangkut dengan sifat, sikap dan perbuatan yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang pendidik Muslim. An-Nahlawi misalnya mengemukakan sepuluh pedoman pokok pendidik Muslim, yaitu:[11]

  1. Mempunyai watak dan sifat rabbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola        pikirnya.
  2. Bersifat ikhlas, yakni sebagai orang berilmu dan profesi pendidik, ia hanya mencari keridaan
  3. Allah dan menegakkan kebenaran.
  4. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan.
  5. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
  6. Senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan diri untuk terus mengkajinya.
  7. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode.
  8. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan professional.
  9. Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.
  10. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa,
  11. keyakinan dan pola pikir peserta didik.
  12. Bersikap adil terhadap para pelajar.

Dalam pelaksanaan tugas keguruan terutama dalam pembelajaran, menurut Mulyasa, guru harus kreatif, professional, dan menyenangkan dengan memposisikan diri sebagai berikut:[12]

  1. Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya.
  2. Teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.
  3. Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuaiminat, kemampuan dan bakatnya.
  4. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahuipermasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.
  5. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.
  6. Membiaskan peserta didik untuk saling berhubungan (bersilaturrahmi) dengan orang lainsecara wajar.
  7. Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antarpeserta didik, orang lain dan lingkungannya.
  8. Mengembangkan kreativitas.
  9. Menjadi pembantu ketika diperlukan.

2.      Profil Guru

Dalam bahasa Inggris, kata benda profile artinya tampang/raut muka, riwayat.[13] Profil yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tampilan atau penampakan kualitatif seorang guru (pendidik) berupa pikir, sikap dan laku/perbuatan guru. Dalam istilah kependidikan, tampilan atau penampakan kualitatif dimaksud setidaknya dapat bermakna karakteristik, kinerja, profesi, kompetensi dan etika guru.[14] Kelima istilah ini sebenarnya saling berkaitan. Inti pokoknya menurut hemat penulis berada pada kompetensi profesional guru.

Oleh karena itu, pembicaraan tentang profil guru pada hakikatnya adalah pembicaraan tentang kompetensi profesional guru. Secara lebih spesifik, kompetensi dimaksud dapat dilihat dari kriteria profesional jabatan guru mencakup fisik, kepribadian, keilmuan dan keterampilan. Dalam pengembangannya kemudian berupa kemampuan dasar (kepribadian), kemampuan mengajar, dan kemampuan keterampilan. Secara lebih rinci sebagai berikut:

  1. Kemampuan Dasar Guru (Kepribadian) berupa: beriman dan bertakwa, berwawasan Pancasila, mandiri penuh tanggung jawab, berwibawa, berdisiplin dan berdedikasi, bersosialisasi dengan masyarakat, dan mencintai peserta didik dan peduli terhadap pendidikannya. [15]
  2. Kemampuan umum guru (kemampuan mengajar): menguasai ilmu pendidikan dan keguruan,[16] menguasai kurikulum,[17] menguasai didaktik metodik umum,[18] menguasai pengelolaan kelas,[19] melaksanakan monitoring dan evaluasi peserta didik,[20] kemampuan pengembangan dan aktualisasi diri.[21]
  3. Kemampuan khusus (pengembangan keterampilan mengajar), meliputi: keterampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas, dan mengajar kelompok kecil dan perorangan.[22]
Secara operasional, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (1999) sebagaimana dikutip oleh Hamzah B. Uno telah membakukan kompetensi guru sebagai berikut:[23]
  1. Mengembangkan kepribadian.
  2. Menguasai landasan kependidikan.
  3. Menguasai bahan pelajaran.
  4. Menyusun program pengajaran.
  5. Melaksanakan program pengajaran.
  6. Menilai hasil dalam PBM yang telah dilaksanakan.
  7. Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
  8. Menyelenggarakan program bimbingan.
  9. Berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat.
  10. Menyelenggarakan administrasi sekolah.
Penjelasan tentang profil guru tidak akan sempurna jika meningglkan pembahasan tentang etika guru. Etika guru merupakan salah satu subyek yang turut memberikan gambaran menyeluruh tentang guru. Terlebih lagi, pendidik atau guru yang berhasil pasti ditopang oleh suatu etika yang baik, dinamis dan progresif. Oleh karena itu, seorang guru professional akan melandasi ruh dan pelaksanaan tugasnya dengan etika yang demikian. Di bawah ini, akan dijelaskan kode etik pendidik di Indonesia sebagaimana kutipan berikut:[24]
  1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan Negara.
  3. Menjungjung tinggi harkat dan martabat peserta didik.
  4. Berbakti kepada peserta didik dalam membantu mereka mengembangkan diri.
  5. Bersikap ilmiah dan menjunjung tinggi pengetahuan, ilmu, teknologi dan seni sebagai wahana dalam pengembangan peserta didik.
  6. Lebih mengutamakan tugas pokok dan atau tuga negara lainnya dari pada tugas sampingan.
  7. Bertanggung jawab, jujur, berprestasi, dan akuntabel dalam bekerja.
  8. Dalam bekerja berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan ilmu pendidikan.
  9. Menjadi teladan dalam berprilaku.
  10. Berprakarsa.
  11. Memiliki sifat kepemimpinan.
  12. Menciptakan suasana belajar atau studi yang kondusif.
  13. Memelihara keharmonisan pergaulan dan komunikasi serta bekerja sama dengan baik dalam pendidikan.
  14. Mengadakan kerja sama dengan orang tua siswa dan tokoh-tokoh masyarakat.
  15. Taat kepada peraturan perundang-undangan dan kedinasan.
  16. Mengembangkan profesi secara kontinu.
  17. Secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.

C.     Profil Guru (Pendidik) dalam Perspektif al-Quran
Setelah sebelumnya dibahas panjang lebar tentang hakikat dan profil guru, yang berfungsi untuk mempertajam pisau analisis dalam melihat aspek tersurat dan isyarat ayat al-Quran tentang profil guru, maka pada bagian ini akan dintujukkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki makna yang sarih  atau isyarat tentang guru dan profil guru menurut al-Quran. Untuk memudahkan analisis, pertama-tama akan dihimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan keguruan, kemudian menjelaskan makna kosa katanya, setelah itu akan diakhiri dengan analisis tematik (maudu’i) profil guru (pendidik) dalam perspektif al-Quran.

Dalam operasionalnya, guru yang dimaksud dalam kajian ini adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan mendidik dalam arti luas, yakni segala usaha memanusiakan manusia (humanisasi) yakni dalam bentuk internalisasi nilai dan transper pengetahuan dan keterampilan. Dalam pengertian lain, yakni segala usaha yang bermakna pendewasaan manusia. Di samping itu, Islam menambahkan, juga segala bentuk penjagaan, pencegahan dan pelarangan manusia terhadap kemungkaran (destruksi dunia-akhirat).

1.      Ayat-ayat al-Quran yang memiliki kosa kata yang mengandung makna guru (pendidik).

Ayat-ayat ini akan penulis susun secara kronologis dengan memperhatikan nomor surat, begitu juga aspek makkiyah dan madaniyah. Kronologi ini disusun berdasarkan mushaf Usmani.

Lebih ringkas ayat-ayat dimaksud sebagaimana ditunjukkan pada table berikut:
NoKosa kataNama/nomor surat

dan nomor ayat
Kelompok ayat
1Ahl az-ZikrAn-Nahl/16: 43Makkiyah
2Mubasysyir wa nazirAl-Isra`/17: 105Makkiyah
Al-Furqan/25: 57Makkiyah
3Ulama`As-Syu’ara`/26: 197Makkiyah
Fathir/35: 28Makkiyah
4Al-Muwa’izAs-Syu’ara`/26: 136Makkiyah
Luqman/31: 13Makkiyah
Al-Baqarah/2: 231Madaniyah
An-Nisa`/4   :63Madaniyah
5Uli al-NuhaTaha/20: 54, 128Makkiyah
6Mu’allimAl-Baqarah/2: 31,129, 151Madaniyah
Ar-Rahman/55:2,4Makkiyah
7MurabbiAli Imran/3: 79Madaniyah
8Al-muzakkiAl-Baqarah/2: 129Madaniyah
Al-Baqarah/2: 151Madaniyah
Al-Baqarah/2: 174Madaniyah
Al-Jumu’ah/62: 2Madaniyah
9Al-rasikhuna fi al-‘ilmiAli Imran/3: 7Madaniyah
An-Nisa`/4: 162Madaniyah
10Ulul albabAli Imran/3: 190Madaniyah
11FaqihAt-Taubah/9: 122Madaniyah
12Da’iAn-Nahl/16: 125Makkiyah
Yusuf/12: 108Madaniyah
13Uli al-AbsarAl-Hasyr/59: 2Madaniyah

2.      Analisis Ayat

Dengan memperhatikan tabel di atas, maka susunan kosa kata yang bermakna pendidik (guru) dari yang pertama sampai yang terakhir di dalam al-Quran adalah: ahl al-zikr, mubassyir wa nazir, ‘ulama, al-muwaiz, uli al-nuha, mu’allim,  al-muzakki, murabbi, al-rasikhuna fi al-‘ilm,  ulul  albab, faqih, da’i dan uli al-absar .

Kosa kata yang secara eksplisit mengandung makna melakukan tugas mendidik adalah mubasysyir wa nazir, muwaiz, mu’allim, murabbi, muzakki, dan da’i. Sementara kosa kata lainnya yang mengandung makna keunggulan atau kualitas personal atau kompetensi yang dimiliki seorang pendidik adalah ahl al-zikr, ‘ulama, uli al-nuha, al-rasikhuna fi al-‘ilm, ulul albab, faqih, dan ulil al-absar..

Berdasarkan penelitian terhadap ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas (sarīh) tentang pekerjaan mendidik adalah mubasysyir wa nazir, al-muwa’iz, mu’allim, murabbi, muzakki, dan da’i. Jika ayat-ayat yang mengandung kosa kata tersebut dilihat dalam konteks pendidikan, maka seorang pendidik adalah orang yang mendidik dan mengajar orang lain untuk memanusiakan manusia (mensucikannya) dengan menginternalisasikan nilai-nilai kepada kepribadian peserta didik terutama nilai-nilai tauhid, akhlak, ibadah dan mengajarkan pengetahuan tentang berbagai hal. Sehingga dengan ilmu pengetahuan seperti itu peserta didik akan terbimbing kepada jalan Tuhan. Bimbingan tersebut dilaksanakan dengan hikmah, mauizah dan jidal al-ahsan.[25] Sementara pengetahuan yang dibimbingkan itu jika dikelompokkan dapat berbentuk pengetahuan tentang ayat-ayat tanzili dan pengetahuan tentang ayat-ayat kauni.[26]

An-Nahlawi, sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, berdasarkan al-Baqarah/2 ayat 129 yang berisi kosa kata muzakki, menjelaskan bahwa seorang pendidik mempunyai tugas pokok yaitu: (1) Tugas Pensucian, yakni mengembangkan dan membersihkan jiwa peserta didik agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjauhkannya dari keburukan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrahnya. (2) Tugas pengajaran, yakni menyampaikan berbagai pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik untuk diterjemahkan dalam tingkah laku dan kehidupannya.[27]

Perlu juga disebutkan, bahwa berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat tersebut, subjek yang melakukan pendidikan adalah Allah, malaikat, rasul dan manusia biasa. Tiga serangkai ini bersifat struktur vertikal, yakni Allah sebagai pendidik utama, malaikat adalah penyambung, rasul adalah orang yang diberi tugas khusus oleh Allah mendidik manusia, dan manusia (‘ulama) sebagai pewaris (penerus) risalah (baca: misi pendidikan) untuk mendewasakan manusia dan membangun masyarakat etik  (masyarakat berakhlak mulia).

Dalam salah satu surat kelompok Madaniyah yakni ar-Rahman/55 ayat 1-4 secara eksplisit disebutkan bahwa Ar-Rahman (Allah SWT) sebagai pendidik utama, yang telah mengajarkan al-Quran dan kepandaian berbicara kepada Muhammad SAW. Dalam al-Qur`an disebutkan:
الرحمن() علم القران() خلق الانسان() علمه البيان()

(Allah) Yang Maha Pengasih. Yang telah mengajarkan al-Qur`an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.[28]

Kosa kata lainnya yakni ahl al-zikr, ‘ulama, uli al-nuha, al-rasikhuna fi al ‘ilmi, ulul albab dan al-faqih. Ayat-ayat al-Quran yang mengandung kosa kata yang disebut terakhir menginplisitkan berbagai kualitas atau kecerdasan yang dimiliki pendidik. Kualitas-kualitas dimaksud seperti pengetahuan yang dalam tentang agama,[29] pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial-humaniora dan pengetahuan kealaman.[30] Sebutan-sebutan berupa penamaan kualitatif tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan khas mereka dengan ilmuan lain pada umumnya. Kekhasan mereka terletak pada kesepaduan ilmu yang dimilikinya, yakni integrasi antara ilmu kewahyuan dan sains dalam bangunan zikir dan pikir mereka. Secara aksiologis, proses pekerjaan ilmiah mereka berada dalam arah yang jelas yakni ma’rifatullah. Itulah sebabnya dalam surat Fathir/35 ayat 28 disebut bahwa manusia yang takut (khasyyah) kepada Allah hanyalah ulama (mereka yang berilmu). Dalam al-Qur`an disebutkan:
...ayat...
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.[31]

Hasan al-Turabi, menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, membuat pengertian ulama yang sangat menarik. Ma’arif menejelaskan:

Dalam artikelnya yang dimuat dalam John L. Esposito (ed.) Voice Resurgent Islam (1983) pada halaman 245, ia menulis: “Apa yang saya maksudkan dengan ulama? Secara histories, perkataan ini bermakna mereka yang punya kepakaran dalam hal warisan ilmu agama. Akan tetapi, ilmu (‘ilm) tidak hanya bermakna itu. Ia bermakna siapapun yang mengetahui secara dalam tentang sesuatu yang dikaitkan dengan Tuhan. Karena semua ilmu adalah bercorak ilahiah dan agamis. Seorang ahli kimia, insinyur, ekonom, atau seorang yuris, semuanya adalah ulama. Maka ulama dalam pengertian yang luas ini, apakah mereka ilmuan sosial atau ilmuan kealaman, pemimpin pendapat umum, atau filosof haruslah mencerahkan masyarakat.” Tegasnya, dapat kita katakan bahwa seorang alim adalah seorang yang punya bekal ilmu yang cukup untuk mencerahkan masyarakat, agar masyarakat menjadi kritis dan kreatif untuk merealisasikan pesan-pesan kemanusiaan Islam.[32]

Apa yang dijelaskan oleh Ma’arif dengan mengutip al-Turabi di atas menurut hemat penulis terinspirasi dari ayat al-Quran surat Fatir/35 ayat 28.

Dalam ayat, terlebih dahulu Allah menjelaskan penomena kealaman (manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan bintang-binatang ternak yang bermacam-macam warnanya), yang juga menjadi objek pengetahuan manusia, baru kemudian Allah memberi penegasan bahwa hanya ulama (orang-orang yang berilmu) yang takut kepada Allah.

Pendapat yang mengatakan bahwa istilah ulama pada Fatir/35: 28 di atas adalah “yang berpengetahuan agama”, bila ditinjau dari segi penggunaan bahasa Arab, menurut Quraish Shihab tidaklah mutlak demikian. Siapapun yang memiliki pengetahuan, dan dalam disiplin apapun pengetahuan itu, maka ia dapat dinamai ‘alim. Dari konteks ayat ini pun, diperoleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh ulama adalah ilmu yang berkaitan dengan penomena alam.[33]

Ulul albab dan uli al-nuha[34] juga memiliki muatan keilmuan yang sama dengan ulama. Isyaratnya cukup jelas dalam al-Quran bahwa ulul albab dan uli al-nuha juga menjadikan alam (khalq as-samawati wa al-ard), makhluk hewani dan sejarah kebinasaan umat terdahulu[35] sebagai objek pengetahuan. Karakter ulul albab adalah senantiasa zikr Allah (dapat dibaca: pengetahuan ilahiyah) dan tafakkar (menggali pengetahuan) kealaman. Zikir dan pikir, adalah dua aktifitas yang menyatu pada diri seorang muslim. Pengetahuan yang diperoleh daru dua aktifitas ini akan mengantarkan ulul albab kepada kesadaran akan kebesaran Allah dan ketauhidan yang tinggi serta ketakutan kepada azab neraka.[36] Dalam surat Ali Imran/3: 190-191 disebutkan:
...ayat...
Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.

Pada surah al-Mulk/67 (Makkiyah) ayat 1-4 yang secara kronologis lebih duluan diturunkan dari surat Ali Imran (Madaniyah) disebutkan terjemahnya sebagai berikut:

1.  Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, 2.  Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, 3.  Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? 4.  Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.

Dengan demikian, pengetahuan tentang alam (ayat-ayat kauniyah) yang juga menjadi objek pengetahuan mengantarkan manusia kepada puncak pencarian ilmu yaitu Allah Swt (ma’rifatullah).

Ahl al-zikr dan al-rasikhuna fi al-‘ilm dalam al-Quran sesungguhnya juga memiliki kandungan makna yang sama dengan ‘ulama dan ulul alba dan uli al-nuha.  Namun secara khusus, ahl al-zikr disebutkan dalam konteks pengetahuan kewahyuan, yakni tidak saja pengetahuan material wahyu, tetapi juga pengetahuan kesejarahan tentang pewahyuan (informasi tentang Nabi dan Rasul).[37] Jadi yang disebut terakhir memiliki karakteristik ilmu yang khusus yang membedakannya dengan  ‘ulama, ulul alba dan uli al-nuha, yaitu kedalaman pengetahuan  atau ilmu keilahian (baca: spiritualitas).[38] Dalam surat an-Nahl/16 ayat 43 disebutkan:
...ayat...
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Untuk memperkuat argumen ini, frase zikr Allah (mengingat Allah) muncul  dalam banyak tempat di al-Quran, misalnya pada al-Ahzab/33: 21, al-A’la/87: 15, Ali Imran/3: 135, asy-Syu’ara`/26: 227, dan sebagainya.

Oleh karena itu, dalam kaitan ini, Allah menjadi objek pengetahuan kognitif (karena Ia disebut-sebut/ zukira Allah kasira) dan sekaligus pengetahuan spiritual (yakni penyebutan Allah dengan menghadirkan qalb).

Sedangkan al-rasikhuna fi al-‘ilm secara khusus disebutkan sebagai orang-orang yang yang sangat mendalam ilmunya. Ke dalaman ilmu yang disebut terakhir adalah kapasitas mereka yang bahkan mampu menangkap isyarat-isyarat mutasyabihat dalam al-Quran. Dalam surat Ali Imran/3 ayat 7, al-rasikhuna fi al-‘ilm disepadankan dengan ulul albab.  Ayat tersebut sebagai berikut:
...ayat...
Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur`an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur`an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.[39]

Perlu ditegaskan kembali bahwa ulul albab disebut oleh Allah sebagai orang yang memiliki kesadaran ilahiyah yang tinggi sebagai perwujudan dari zikir yang tidak pernah lekang dan fikir yang terus-menerus. Al-rasikhuna fi al-‘ilm adalah mereka yang memiliki karakteristik khusus sebagai puncak usaha yang sepadu antara zikir dan fikir.

Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat al-Quran yang mengandung kosa kata sebagai pendidik dapat disimpulkan bahwa kosa kata ahl al-zikr, ‘ulama, al-muwaiz al-waizin, uli al-nuha, mu’allim,  al-muzakki, murabbi, al-rasikhuna fi al-‘ilm, ulul  albab dan ulu al-absar sesungguhnya memiliki makna yang saling kait atau berjalin kelindan. Sebagaimana ditunjukkan di atas, terdapat beberapa kosa kata yang memiliki makna hampir sama, tetapi ada pula kosa kata dengan penekanan makna yang khusus. Dengan demikian, kosa kata yang beragam tersebut tidak mungkin diperlakukan sendiri-sendiri atau parsial. Perlakuan yang seperti ini akan menyebabkan makna yang dikandung oleh berbagai kosa kata tersebut tidak akan terpahami secara utuh.

Secara garis besar, ayat-ayat yang berisi beragam kosa kata tersebut menegaskan bahwa seorang pendidik memerlukan berbagai kualitas dan dengan kualitas itu ia bekerja melakukan misi mendidik. Misi ini berasal dari Allah sebagai pendidik utama, yang oleh Allah menugaskan kepada para Rasul untuk merealisasikannya, dan para pendidik muslim lainnya berperan sebagai pewaris Nabi untuk melanjutkan tugas pendidikan manusia sehingga tercipta individu dan masyarakat yang berakhlak mulia.[40]

3. Konseptualisasi Profil Guru Perspektif al-Quran

Dalam analisis terhadap ayat-ayat di atas, meskipun masih berserakan sesungguhnya telah tergambarkan juga profil pendidik (guru) menurut al-Quran. Namun untuk memudahkan pemahaman bagi pembaca, maka pada bagian ini penulis mencoba lebih sistematis menjelaskan profil guru perspektif al-Quran.

Di bagian awal tulisan ini dijelaskan bahwa secara sederhana profil guru dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek pola sikap, pola pikir dan pola laku pendidik. Dalam istilah lain adalah aspek akhlak/moral, aspek intelektual dan aspek skill/keterampilan pendidik. Dalam bahasa pendidikan modern adalah aspek kompetensi pribadi (personal), kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (paedagogik ).[41]

Menurut al-Quran, secara personal seorang pendidik adalah orang yang memiliki kecerdasan spiritual, karena ia senantiasa zikir (mengingat) Allah dalam keadaan apapun. Sebagai ahl al-zikr, ia memiliki pengetahuan sejarah para Nabi (sirah) dan sejarah social umat terdahulu. Selain itu, seorang pendidik adalah juga seorang ulama[42], yakni orang yang kapabilitas keilmuannya bersepadu antara ilmu-ilmu ukhrawi dan duniawai. Ilmunya utuh. Ia tidak mengenal dualisme keilmuan. Pengetahuannya tentang kealaman, baik mikro atau makro kosmos disinari oleh pengetahuan keilahiannya. Sebagai uli al-nuha ia memiliki spektrum pengetahuan yang luas. Tidak hanya kealaman tetapi juga sejarah dan sosial. Penamaan lainnya seperti al-muzakki, al-rasikhuna fi al-‘ilm, ulul albab, dan ulil al-absar juga menegaskan kompetensi personal, juga kapasitas dan kapabilitas serta misi propetis (nubuwwah) seorang pendidik.[43]

Secara khusus penulis perlu menyebutkan bahwa, berdasarkan inspirasi dari penjelasan Hamka bahwa sebagai muzakki, seorang pendidik adalah orang yang bersih dari kebodohan dan kerusakan akhlak, kotoran kepercayaan dan kemusyrikan. Dengan kualitas seperti ini menurut Hamka, seorang muzakki diberi gelar sebagai umat yang menempuh jalan tengah (moderat, pen.) di tengah umat-umat lain yang  misinya mengajarkan kepada manusia Kitab dan Hikmah, dan juga hal-hal (perkara-perkara) yang selama ini tidak diketahui.[44]

Seorang pendidik yang juga dalam al-Quran diberi gelar rasikh fi al-‘ilm, senantiasa memperdalam pengetahuannya dan berkonsistensi mengamalkannya.[45] Hamka menjelaskan bahwa seorang yang rasikh dalam ilmu semakin hari akan semakin mengetahui hakikat ilmu, karena ia juga senantiasa membersihkan dirinya dengan beribadah.[46] Secara khusus, Hamka menjelaskan bahwa al-rasikhuna fi al-‘ilm adalah:

… orang yang telah rasikh ilmunya, artinya telah dalam, telah berurat, telah dianugerahi Tuhan segala kunci-kunci ilmu. Maka menurut kebiasaannya, apabila orang yang telah amat mendalam ilmunya, mengakuilah dia akan kekurangannya. Sebagaimana Imam Syafi’i yang termasuk barisan orang rasikh, pernah berkata: Kullamā zādanī ‘ilman zādanī fahman bijahlī. “Tiap-tiap Tuhan menambah ilmuku, bertambahlah aku faham akan kejahilanku.”[47]

Al-Quran yang juga sumber ilmu, menurut Hamka merupakan jamuan yang secara metodologis dalam memahaminya memerlukan kekuatan dan ketekunan intelektual yang dalam dan pemikiran yang bersungguh-sungguh. Dengan cara demikian, seorang ulama’ akan dapat menjadi warasat al-anbiyā`.[48]

Sebagai al-muwaiz al-waizin,  mu’allim, murabbi, seorang pendidik memiliki kompetensi paedagogik untuk membimbing, mengarahkan bahkan menurut al-Quran menjaga peserta didik agar menjadi manusia-manusia yang  muslimin, mu’minin, muhsinin, muttaqin, sabirin, mutawakkilin, muqsitin, mukhlisin, at-tawwabin, mutatahhirin, muflihin, dan lain-lain. Menurut ahli didik Muslim, profil ideal kepribadian Muslim yang menjadi tujuan akhir pendidikan Islam adalah insan kamil.[49]

Berdasarkan penelusuran terhadap makna ayat yang mengandung kosa kata  al-muwaiz al-waizin,  mu’allim, dan murabbi, maka dapat dirumuskan bahwa guru harus memiliki kompetensi paedagogik yang:
  1. Mendidik dan mengembangkan kecerdasan iman dan takwa (spiritual) peserta didik.
  2. Mendidik dan mengembangkan kecerdasan akal-budi (intelektual) peserta didik.
  3. Mendidik dan mengembangkan sikap ihsan (kecerdasan sosial) peserta didik.
  4. Mendidik dan mengembangkan ketangkasan beramal (kecerdasan emosional) peserta didik.
  5. Mendidik dan mengembangkan prilaku hidup sehat dan bersih (kecerdasan kinestetis) peserta didik.
  6. Menjaga peserta didik dari berbagai hal yang destruktif yang mengundang murka Allah SWT.

D.    Penutup

Secara umum, profil seorang pendidik muslim dapat dilihat dari dua dimensi utama manusia, yakni dimensi ruhaniah dan dimensi jasadiah. Dimensi ruhaniah berupa aspek-aspek akal-budi manusia, yakni intelek, kemauan dan perasaan. Sedangkan dimensi jasadiah berupa aspek perbuatan dan tingkah laku.

Berdasarkan kerangka dasar seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa profil pendidik muslim adalah:
  1. Benar-benar manusia tauhid, yakni beriman dan berakidah murni (mukhlisina lahu ad-din).
  2. Beribadah dengan taat kepada Allah.
  3. Gemar membaca atau mencari ilmu pengetahuan (ilmu duniawi dan ukhrawi).
  4. Memiliki bangunan keilmuan yang utuh antara ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan ilmu keagamaan.
  5. Gemar melakukan karya-karya konstruktif (amal saleh) sebagai manifestasi tugas kekhalifahan, terutama pada tugas-tugas profesinya sebagai pendidik.
  6. Tidak berpuas diri dalam ilmu (rasikh fi al-‘ilm) dan berorientasi keunggulan (fastabiq al-khairat).
  7. Senantiasa mencari keridaan Allah dalam tugas-tugas profesi dan di  luar tugas profesi, yang dibuktikan dengan tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi sebagai pendidik.
  8. Memandang profesi pendidik sebagai bagian dari tugas kerisalahan dalam mengajak manusia (da’wah) kepada jalan Allah (Islam).
  9. Senantiasa meneladani Rasulullah dan berupaya menjadikan dirinya sebagai teladan bagi anak didiknya.
  10. Memiliki pikiran yang luas dan lapang dada menerima kritik.
  11. Memiliki kesadaran sebagai warasat al-anbiyā`.
  12. Berpola hidup bersih dan sehat.
Wallahu a’lam.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Afnibar, Memahami Profesi dan Kinerja Guru, (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2005
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Konsep Pendidikan Islam. Cet. Ke-4. Bandung: Mizan, 1992.
Al-Gazali. Ihya` ‘Ulum ad-Din.Terj. Maisir Thaib dan A. Thaher Hamidy. Medan: Pustaka Indonesia, 1966.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-Baiti wa al-Madrasah wa al-Mujtama’. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
As-Sajastani, Sulaiman bin al-Asy’ats Syidad bin  ‘Umaru al-Azdiy Abu Daud. Sunan Abi Daud,Juz 11. India: Mathba’ Naul Kisywar, 1305 H.
As-Suyuti, Jalaluddin. Safwah al-Bayan li al-Ma’ani al-Qur`an.
-------. Jami’ al-Ahadis, Juz 2.
Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya. Cet. ke-5. Bandung: CV Diponegoro, 2007.
Echols, John M dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Cet. XX. Jakarta: PT Gramedia, 1992.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz II. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.
-------. Tafsir al-Azhar, Juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.
-------. Tafsir al-Azhar, Juz IV, Cet. 3. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002.
-------. Tafsir al-Azhar, Juz XVII. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
Ma’arif, Ahmad Syafii. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesi.Bandung: Mizan, 1993.
Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional. Cet. Ke-9. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
Mursi, Muhammad Munir. At-Tarbiyat al-Islamiyah: Usuluha wa Tatwiruha fi al-Bilad al-’Arabiyah. Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1982.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. 7.  Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Pidarta, Made, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia,Cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Praja, Juhaya S. “Paradigma Pengembangan Universitas Islam Negeri (Harapan dan Masa Depan UIN Malang),” dalam A. Malik Fadjar, dkk., Horizon BaruPengembangan Pendidikan Islam Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global. Malang: UIN Malang Press, 2004.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Volume 7. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
-------. Tafsir al-Misbah, Volume 11. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Siddik, Dja’far. Konsep Dasar Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Cita Pustaka Media, 2006.
Uno, Hamzah B. Profesi Kependidikan. Cet. 4. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Padang, 29 Oktober 2010.









*Makalah telah dipresentasekan pada seminar mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan dalam al-Quran pada program doktor (S.3) Prodi Pendidikan Islam PPs IAIN Imam Bonjol Padang dibawah bimbingan Prof.Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A., dan Prof. Dr. H. Rusydi AM, Lc., M.A., pada tanggal 09 Oktober 2010.
[1]Adalah Rousseau yang berpendapat bahwa keberadaan orang lain (termasuk dalam hal ini guru) di sisi perserta didik dapat berpotensi menghambat perkembangan bakat-bakat alamiah anak. Ia berpendapat  bahwa alamlah yang berhak memberikan pendidikan kepada anak secara bebas dan alamiah. Pendapat ini dikemukakannya karena ia menekankan tujuan pendidikan untuk membentuk manusia bebas dan merdeka dari tekanan maupun ikatan serta tidak untuk tujuan tertentu, apakah itu menjadikan peserta didik menjadi orang beragama atau menjadikan warga masyarakat dan warga negara yang baik, juga tidak untuk suatu jabatan, melainkan menjadi seorang individu yang bebas. Dja’far Siddik, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006), h. 39.
[2]Muhammad Munir Mursi, At-Tarbiyat al-Islamiyah: Usuluha wa Tatwiruha fi al-Bilad al-’Arabiyah, (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1982), h. 167.
[3]E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Cet. Ke-9 (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 3.
[4]Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Ahadits, Juz 2, h. 88.
[5]Dja’far Siddik, h. 78.
[6]Ibid.
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya,Cet. ke-5 (Bandung: CV Diponegoro, 2007), h. 560.
[8]Lihat surat an-Nahl/16: 43 dan al-Anbiya`/21: 7.  Ibid., h. 272 dan 322.
[9]Sulaiman bin al-Asy’ats Syidad bin  ‘Amru al-Azdiy Abu Daud al-Sajastaniy, Sunan Abi Daud,Juz 11 (India: Mathba’ Naul Kisywar, 1305 H), h. 34.
[10]Dja’far Siddik, h. 78.
[11]Abdurrahman an-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-Baiti wa al-Madrasah wa al-Mujtama’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 239.
[12]Mulyasa, h. 36.
[13]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Cet. XX (Jakarta: PT Gramedia, 1992), h. 449.
[14]Bandingkan dengan Afnibar, Memahami Profesi dan Kinerja Guru, (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2005).
[15]Mulyasa, h. 190.
[16]Penguasaan ilmu pendidikan dan keguruan mencakup 1) psikologi pendidikan, 2) teknologi pendidikan, 3) metodologi pendidikan, 4) media pendidikan, dan 5) penelitian pendidikan. Mulyasa, h. 191.
[17]Penguasaan kurikulum mencakup: 1) Mampu menganalisis kurikulum, merencanakan pembelajaran, mengembangkan silabus, dan mendayagunakan sumber belajar. 2) Mampu melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode, kegiatan, dan alat bantu pembelajaran yang sesuai. 3) Mampu menyusun program perbaikan (remedial) bagi peserta didik yang kurang mampu. 4) Mampu menyusun program pengayaan (enrichment) bagi peserta didik yang pandai. Mulyasa, h. 191.
[18]Penguasaan didaktik metodik umum berupa 1) mampu menggunakan metode yang bervariasi secara tepat, 2) mampu mendorong peserta didik bertanya, dan 3) mampu membuat alat peraga sederhana. Mulyasa, h. 191.
[19]Menguasai pengelolaan kelas meliputi: 1) menguasai pengelolaan fisik kelas, 2) menguasai pengelolaan pembelajaran, 3) menguasai pengelolaan dan pemanfaatan pajangan kelas. Mulyasa, h. 191.
[20]Hal dimaksud meliputi 1) kemampuan menyusun instrument penilaian kompetensi peserta didik dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, 2) kemampuan menilai hasil karya peserta didik, baik melalui tes maupun non tes (observasi, jurnal, portofolio), 3) kemampuang menggunakan berbagai cara penilaian, baik tertulis, lisan, maupun perbuatan. Mulyasa, h. 191.
[21]Kemampuan ini meliputi 1) kemampuan bekerja dan bertindak secara mandiri untuk memecahkan masalah, dan mengambil keputusan, 2) kemampuan berprakarsa, kreatif, dan inovatif, dalam mengemukakan gagasan baru, dan mempelajari, serta melaksanakan hal-hal baru, 3) kemampuan meningkatkan kualitas diri melalui kegiatan membaca, menulis, seminar, lokakarya, melanjutkan pendidikan, studi banding, dan berperan serta dalam organisasi profesi. Mulyasa, h. 192.
[22]Mulyasa, h. 192.
[23]Hamzah B. Uno, h. 20.
[24]Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, Cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 285-286.
[25]Kata al-mau’izah terambil dari kata wa’aza, yang berarti nasihat. Mau’izah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. Sedangkan kata jidal bermakna diskusi atau bukti-bukti yang dapat mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan. Didapati bahwa mau’izah hendaknya disampaikan dengan baik/hasanah, sedangkan jidal disampaikan dengan ahsan/yang terbaik. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 7, h. 387.
[26]Al-Kindi menyebutnya pengetahuan ilahi dan insani (‘ilm ilahi dan ‘ilm insani). Al-Gazali menyebut ilmu dengan kategori farui ‘ain dan fardu kifayah.  Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,Cet. 7  (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 15; Al-Gazali, Ihya` ‘Ulum ad-Din,Terj. Maisir Thaib dan A. Thaher Hamidy (Medan: Pustaka Indonesia, 1966), h.  50-56.
[27]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 97.
[28]Departemen Agama RI, Al-Qur`an, h. 531.
[29]Sebagai penguat argumentasi ini, berikut dipaparkan dengan singkat penjelasan Quraish Shihab tentang ahl al-zikr. Ia mengatakan bahwa oleh banyak ulama frase ahl al-zikr dipahami sebagai para pemuka agama Yahudi dan Nasrani. Mereka adalah orang-orang yang dapat memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul. Ada juga yang memahami istilah ini dalam arti sejarawan, baik muslim maupun non muslim. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Volume 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 236-237.
[30]Ayat al-Qur`an surat Taha/20: 53-54 yang mengandung kosa kata uli al-nuha mengisyaratkan dengan kuat bahwa uli al-nuha memiliki  pengetahuan tentang ilmu kealaman terutama tentang astronomi, pertanian, dan peternakan. Baca Quraish Shihab, Volume 8, h. 315-316.
[31]Departemen Agama RI, Al-Qur`an, h. 437.
[32]Ahmad Syafii Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h. 124-125.
[33]Quraish Shihab, Volume 11, h. 466-467.
[34]As-Suyuti mengartikan istilah uli al-nuha dengan ashab al-‘uqul wa al-basa`ir,  yaitu seseorang yang memiliki akal dan kemampuan memandang dengan mata batin terhadap berbagai fenomena alam dan social. As-Suyuti, Safwah al-Bayan li al-Ma’ani al-Qur`an, h. 315.
[35]Dalam surat Thaha/20 ayat 54 dan 128 disebutkan:  54. Makanlah dan gembalakanlah hewan-hewanmu. Sungguh pada yang demikian itu , terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (uli al-nuha). 128. Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (orang-orang musyrik) berapa banyak (generasi) sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal mereka melewati (bekas-bekas) tempat tinggal mereka (umat-umat itu)? Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal (uli al-nuha).
[36]Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV, Cet. 3 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 196-197.
[37]Hamka menjelaskan bahwa ahl al-zikr secara bahasa orang yang ahli peringatan, atau orang yang lebih tahu, atau juga orang yang kuat ingatannya. Kebanyakan ahli tafsir menyebutnya sebagai ahlul kitab yang terdahulu dari kalangan yahudi dan Nasrani. Tetapi Sufyan bin Uyainah berpendapat bahwa sebutan ahl al-zikr ialah karena mereka ingat akan kabar berita Nabi-Nabi yang terdahulu. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 17 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 16.
[38]Al-Qur`an dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Dep. Agama RI mengartikan ahl al-nuha sebagai orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan Kitab-kitab. Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Al-Qur`an, tth), h. 272.
[39]Departemen Agama RI, Al-Qur`an, h. 50.
[40]Sebagai pewaris Nabi, maka pendidik tentu harus mewarisi apa yang ada pada Beliau, termasuk tugas-tugas yang diembannya, yakni memelihara keselamatan dan menjadi rahmat di muka bumi. Dalam rangka melaksanakan tugas sebagai pewaris (warisat al-anbiya`), para pendidik hendaklah bertolak pada amar ma’rif nahi munkar, dalam arti menjadikan tauhid  sebagai pusat penyebaran misi iman, islam dan ihsan, dan kekuatan rohani pokok yang dikembangkan oleh pendidik yakni individualitas, sosialitas, dan moralitas (nilai-nilai agama dan moral). Ramayulis, h. 97.
[41]Hamzah B. Uno, h. 18.
[42]Muhammad Munir Mursi, At-Tarbiyat al-Islamiyah: Usuluha wa Tatwiruha fi al-Bilad al-,’Arabiyah, (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1982), h. 165.
[43]Juhaya S. Praja menyebutnya sebagai kompetensi manusia tarbiyah ulul albab, yaitu:  1) bertauhid, 2) mengedepankan zikir, pikir dan amal saleh, 3) memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan semangat serta jiwa pejuang, 4) melaksanakan fungsi kepemimpinan sebagai khalifah, 5) berorientasi hidup mencapai rida Allah, 6) sehat jasmani dan rohani, 7) berbuat ihsan, 8) terbebas dari berbagai penyakit ruhani, 9) mendekatkan diri kepada Allah. Juhaya S. Praja, “Paradigma Pengembangan Universitas Islam Negeri (Harapan dan Masa Depan UIN Malang),” dalam A. Malik Fadjar, dkk., Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global, (Malang: UIN Malang Press, 2004), h. 80.
[44]Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 23.
[45]Muhammad Munir Mursi, h. 165.
[46]Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 111.
[47]Ibid., h. 110.
[48]Ibid., h. 111.
[49]Lihat Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam,Cet. Ke-4 (Bandung: Mizan, 1992), h. 84. Juhaya S. Praja menyebut manusia ulul albab


5 komentar:

  1. luar biasa.... konsep yg harus teris dikampanyekan.

    BalasHapus
  2. thanks........dear ^-^

    BalasHapus
  3. [...] http://anharnst.wordpress.com/2011/04/30/profil-guru-menurut-al-quran/ [...]

    BalasHapus
  4. mohon share

    BalasHapus