Selasa, 15 September 2015

ISLAM YANG SADZAJAH: CORAK BERISLAM MUHAMMADIYAH



Sebelum dijelaskan lebih lanjut tentang Islam sadzajah, mari kita baca kutipan berikut ini:

Muhammadiyah bergerak untuk tegaknya Islam, untuk kemenangan kalimah Allah, untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Hanya saja Islam yang digerakkan oleh muhammadiyah adalah Islam yang sadzajah, Islam yang lugu, apa adanya, Islam yang menurut al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Saw, dan menjalankannya dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai ruh Islam. (Lihat penjelasan Kepribadian Muhammadiyah dalam Manhaj Gerakan Muhammadiyah, hlm. 48).

Apa Islam sadzājah itu? Sadzājah semakna dengan sādzāj (jamaknya sudzdzaj), artinya bersahaja, tak ada ukiran (campuran). Jadi secara bahasa, Islam sadzājah, artinya Islam yang bersahaja, yang belum bercampur, masih murni atau asli. Makna lain yang sama dengan Islam sadzājah adalah Islam yang  fithrati (thabi’i, natural atau alami). Hal ini sejalan dengan penjelasan Al-Qur`an dalam surat Ar-Rum/30 ayat 30. Dalam ayat dimaksud dijelaskan bahwa ad-din hanif adalah fitrah Allah, yang menciptakan manusia menurut fitrah itu.  Jadi al-Islam adalah agama fitrah, yakni agama yang cocok dengan natur atau tabiat diri manusia.

 

Bagaimana Islam Sadzājah atau Fithrati itu?

Untuk keperluan pembahasan lebih lanjut, mari kita mulai dengan membaca surat Ali Imran/3 ayat 83:

uŽötósùr& Ç`ƒÏŠ «!$# šcqäóö7tƒ ÿ¼ã&s!ur zNn=ór& `tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÄßöF{$#ur $YãöqsÛ $\döŸ2ur Ïmøs9Î)ur šcqãèy_öãƒ ÇÑÌÈ  

Artinya:

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.

Ayat Allah di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di langit dan di bumi telah islam (berserah diri atau tunduk) kepada Allah SWT, dengan suka maupun terpaksa. Jadi hakikat ber-islam sebenarnya adalah ketundukan atau penyerahan diri kepada Allah SWT. Oleh karena seluruh makhluk atau benda-benda di alam tunduk kepada ketentuan Allah, maka makhluk atau benda-benda itu telah Islam (tunduk, pasrah) kepada Allah.

Sebagai kaum beriman, kita memilih untuk tunduk atau berserah diri kepada Allah SWT. Hal ini bermakna kita taat kepada hukum-hukum Allah. Ketaatan kita kepada hukum-hukum Allah (sunnatullah) samalah dengan ketaatan segala apa yang ada di langit dan di bumi kepada sunnatullah (hukum-hukum Allah) juga.

Taat kepada Allah, yang sudah tentu pula taat kepada Rasul-Nya, merupakan kebutuhan fitrati setiap manusia. Jika kita tidak taat kepada Allah, maka samalah artinya dengan makhluk atau benda di alam yang  tidak taat kepada hukum-hukum Allah. Hal yang akan terjadi adalah kerusakan atau kehancuran (fasad fil ardh). Bayangkan apa yang terjadi jika matahari tidak lagi tunduk kepada ketentuan Allah untuk terbit di Timur dan tenggelam di Barat. Tentu yang terjadi adalah kehancuran yang amat dahsyat.

Seorang manusia yang ingkar kepada hukum-hukum Allah, maka yang akan tejadi adalah kehancuran diri di dunia dan akhirat. Di dunia, seorang yang ingkar kepada Allah bahkan dapat jatuh kepada pribadi yang hina, perusak dan pelaku kebinasaan seperti Fir’aun, Namruz, dan lain-lain.

 

Islam Sadzājah: Islam yang Digerakkan Muhammadiyah

Sebagaimana kutipan di atas, Islam yang digerakkan Muhammadiyah adalah Islam sadzājah, Islam yang fithrati, lugu, apa adanya atau alami. Islam yang sadzajah itulah sesungguhnya Islam-nya Muhammad Rasulullah Saw. Bagaimana kealamian Islam-nya Rasulullah itu? Dalam bahasa yang simbolik, “Sebagaimana angin sepoi berhembus yang menebarkan kesejukan”. Kesejukan anginnya menjadi rahmat (kasih sayang) kepada siapa saja yang dikenainya.

Di bawah ini akan kita sebut beberapa contoh ajaran Islam yang alami (fithrati atau natural) itu:

1.      Tentang ibadah.

Mari kita lihat dan pahami misalnya ajaran Nabi Saw tentang menghadapi musibah kematian. Nabi mengajari kita agar melakukan tindakan atau amal yang sangat humanis. Dalam suatu hadits shahih dijelaskan bahwa ketika sampai kepada Nabi berita matinya Ja’far, maka beliau meminta supaya dibuatkan makanan bagi keluarga Ja’far karena keluarga ini sedang ditimpa sesuatu yang menyusahkan (musibah).

Tindakan yang dicontohkan Nabi lainnya terkait musibah kematian adalah menguatkan hati ahli musibah  dengan mengingatkan mereka supaya bersabar dan menerima ketentuan Allah dengan keimanan.

Jadi dalam bertakziah, ada dua hal yang mesti dilakukan: pertama, menyiapkan makanan bagi keluarga atau ahli musibah. Hal ini dapat juga dilakukan dengan mengumpul sejumlah uang bantuan kemalangan yang diperuntukkan kepada ahli musibah. Kedua, memberi nasehat agar mereka bersabar dan rida kepada ketentuan Allah SWT.

Ajaran ini sangat fitrati, humanis, natural atau alami. Jika ditambah-tambah atau dirusak, maka yang terjadi adalah nilai sadzajah agama akan hilang. Pada tingkat tertentu sebagaimana terjadi di beberapa tempat agama berubah menjadi beban yang membelenggu. Misalnya munculnya upacara-upacara kematian yang berbiaya mahal.

            Contoh lain adalah tentang shalat berjama’ah. Masjid Rasulullah di Madinah adalah masjid yang hening, adem, nyaman dari suara-suara yang dapat mengganggu orang di dalamnya atau lingkungan sekitarnya. Masjid Nabawi itu hanya mengganggu alam sekitarnya ― kalaupun dapat disebut mengganggu ― dengan suara yang kuat, hanya pada saat-saat adzan berkumandang pada lima waktu shalat. Tidak seperti kebanyakan masjid kaum muslimin saat ini. Dengan dalih memperdengarkan bacaan Qur`an dan mengingatkan waktu shalat, tape recorder dihidupkan dengan suara yang kuat hingga waktu shalat tiba. Diakui atau tidak, tidak semua orang akan nyaman dengan suara kaset itu. Apa lagi disekitar masjid ada non muslim. Sudah pasti mereka akan terganggu. Bandingkan dengan masjid Rasulullah. Sekiranya masjid itu bertetangga dengan Yahudi, Nasrani atau Majusi, maka mereka tidak akan sampai terganggu. Begitu pula ketika imam telah selesai mengimami shalat berjama’ah. Masjid Rasulullah juga tetap hening dan nyaman. Beliau berdzikir dengan sirr (suara berbisik). Sehingga, jika ada orang ketinggalan rakaat (masbuq), maka ia tidak akan terganggu dengan suara dzikir saat menyempurnakan rakaat yang tertinggal.

            Model masjid seperti inilah yang dicontoh oleh masjid-masjid Muhammadiyah dan hendak diwariskan kepada generasi umat Islam. Suatu model penyelenggaraan ibadah yang fitrati, sadzajah atau natural.

 

2.      Tentang hubungan dengan tetangga.

Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) kita dituntun agar mengedepankan akhlakul karimah dalam bertetangga. Tidak saja kepada tetangga yang muslim, tetapi juga kepada tetangga non muslim. Mari kita baca kutipan berikut ini:

Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama, seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya, masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan, baik dengan sesama Muslim maupun dengan non-Muslim, dalam hubungan ketetanggaan. Bahkan Islam memberikan perhatian sampai ke area 40 rumah yang dikategorikan sebagai tetangga yang harus dipelihara hak-haknya.

Setiap keluarga dan anggota Muhammadiyah harus menunjukkan keteladanan dalam bersikap baik kepada tetangga, memelihara kemuliaan dan memuliakan tetangga, bermurah hati kepada tetangga yang ingin menitipkan barang atau hartanya, menjenguk bila tetangga sakit, mengasihi tetangga sebagaimana mengasihi keluarga/diri sendiri...

Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberikan makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan agama Islam. (Baca Manhaj Gerakan Muhammadiyah hlm. 128-9).

 

Dalam pedoman bermuhammadiyah itu kita juga dituntun agar bertetangga baik dengan non muslim. Salah satu hadits yang dikutip dalam PHIMW (Manhaj..., hlm. 190) adalah berikut ini:

Bahwasanya Abdullah bin Amr disembelihkan untuknya seeokor domba oleh keluarganya. Ketika sampai, ia berkata, “Apakah kalian telah memberikan (daging domba) kepada tetangga kita Yahudi itu? Apakah kalian telah memberikan (daging domba) kepada tetangga kita Yahudi itu? Rasulullah bersabda, “Jibril senantiasa berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku mengira, tetangga akan mendapat bagian dari harta waris.” (Sunan Abu Daud No. 4485 dan Sunan at-Tirmidzi No. 1866).

Jadi seorang muslim, apalagi warga persyarikatan, akan berupaya berbuat baik kepada tetangganya, meskipun tetangganya itu Yahudi, Nasrani atau Majusi. Jadi siapa saja yang bertetangga dengan Pengikut Muhammad, maka mereka akan damai, nyaman dan tenteram bertetangga dengannya. Pengikut Muhammad itu akan menjadi rahmat bagi tetangga dan lingkungannya, sebagaimana Nabi yang diikutnya adalah rahmatan lil’alamin.

Jadi, seorang Pengikut Muhammad itu akan bersungguh-sungguh meneladani Nabinya dalam bertetangga. Oleh karena Nabi yang mulia tidak pernah menyakiti, menghinakan atau merendahkan tetangga (muslim atau non muslim), maka ia pun akan melakukan hal mulia itu sekuat daya dan tenaganya.

Seorang Pengikut Muhammad akan terjauh dari sikap-sikap radikal atau intoleran. Ia juga akan jauh dari perilaku terorisme. Bahkan ia sangat membencinya. Karena radikalisme, terorisme dan sikap-sikap anti kemanusiaan lainnya amat bertentangan dengan akhlak yang dituntunkan dan diteladankan oleh Nabi ikutannya, Muhammad Rasulullah Saw.

Nabi Muhammad Saw memang keras kepada orang kafir (asyidda` ‘alal kuffar), yakni keras dalam meyatakan dan mempertahankan keyakinannya (keimanannya), tetapi tidak pernah mati kasih-sayangnya kepada siapa pun, meskipun kepada non-muslim. Sebagai bukti-bukti yang mencengangkan dan mempesonakan, mari kita baca hadits atau tarikh bagaimana beliau bertetangga dan berhubungan dengan non-muslim.

 

 

3.      Tentang cara menyampaikan Islam.

Rasulullah Saw juga telah menuntunkan dan meneladankan bagaimana menyampaikan Islam atau menyeru manusia kepada Islam dengan cara-cara yang sangat humanis. Dalam penjelasan Kepribadian Muhammadiyah tersebut kalimat seperti ini:

Dengan demikian, perlu difahamkan kepada warga Muhammadiyah, apakah Muhammadiyah itu sebenarnya dan bagaimana cara membawa /menyebarluaskannya. Menyebarkan faham Muhammadiyah itu pada hakikatnya menyebarluaskan Islam yang sebenar-benarnya, dan oleh karena itu, cara menyebarluaskannya pun kita perlu mengikuti cara-cara Rasulullah saw menyebarkan Islam pada awal pertumbuhannya. (Manhaj..., hlm. 48-9).

Dengan demikian, dalam langkah dan aktifitas dakwah, maka Muhammadiyah menempuh cara-cara yang humanis, fitrati atau natural. Dalam penjelasan Pokok Pikiran ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar dinyatakan bahwa dalam menyebarkan faham agama Muhammadiyah kepada umat Islam dan non-Muslim, dilakukan dengan cara-cara dakwah yang sifatnya tabsyir (menggembirakan), tajdid (pembaruan/pemurnian), dan islah (membangun).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dakwah Muhammadiyah harus mencontoh bagaimana Rasulullah Saw menyeru manusia pada mula-mula pertumbuhan Islam. Kita semua tahu bahwa Nabi Saw dalam berdakwah menekankan sifat uswatun hasanah, berlemah-lembut, bijaksana,  dan sangat manusiawi (humanis). Tidak akan kita temukan bahwa Nabi Saw pernah memaksa atau menekan orang untuk menerima Islam. Justru perlakuan beliau yang fitrati atau alami dalam menyampaikan Islam itulah yang menjadi salah satu magnit bagi manusia menerima Islam.

            Allah SWT menuntunkan bahwa ajaran Islam tidak boleh dipaksakan kepada orang lain, karena tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah/2 ayat 256). Rasulullah dituntun oleh Allah agar menyadari posisinya hanya sebagai penyampai agama (kebenaran). Dalam Ali Imran/3 ayat 20 kita jumpai ayat yang terjemahnya demikian:

Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan Katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.

Bimbingan Allah lainnya dapat kita lihat surat An-Nahl/16 ayat 125-127. Dalam ayat ini Allah SWT mengingatkan Nabi Saw dan kita, agar dalam mengajak umat manusia kepada jalan Allah (al-Islam) agar dilakukan dengan cara-cara hikmah, pengajaran yang baik, dengan dengan argumentasi (cara membantah) yang lebih baik. Terkait dengan sikap diri dalam aktifitas dakwah, Allah menenuntun supaya bersabar, jangan bersedih karena pembangkangan mereka dan jangan bersempit dada menghadapi tipu daya para penolak kebenaran (kaum kafir).

Sikap humanis lainnya sebagaimana tuntunan Allah dalam surat Fushshilat/41 ayat 34:

Ÿwur ÈqtGó¡n@ èpoY|¡ptø:$# Ÿwur èpy¥ÍhŠ¡¡9$# 4 ôìsù÷Š$# ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& #sŒÎ*sù Ï%©!$# y7uZ÷t/ ¼çmuZ÷t/ur ×ourºytã ¼çm¯Rr(x. ;Í<ur ÒOŠÏJym ÇÌÍÈ  

Artinya:

Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Jika antaramu dengan dia ada permusuhan, seolah-olah dia teman yang sangat setia.

Surat Fushshilat ayat 34 ini secara nyata mengingatkan agar menyampaikan Islam dengan humanis. Bahkah, meskipun respon yang kita terima bersifat negatif, kita tetap berupaya agar hubungan kemanusiaan kita tetap damai, sejuk, harmonis, dan bersahabat.

Ajaran Islam wajib disampaikan kepada siapa saja, tetapi orang (objek dakwah) tidak boleh berada dalam posisi tertekan atau terpaksa menerima Islam. Kemerdekaannya untuk menetapkan pilihan, apakah menerima atau menolak Islam mesti dihormati. Jadi orang mesti berada dalam posisi bebas dan sadar dalam menerima Islam. Point inilah yang menjadi salah satu prinsip dakwah Rasulullah Saw,  yang perlu kita teladani dalam menjalankan dakwah persyarikatan Muhammadiyah.

Penutup

Berdasarkan pernyataan pada penjelasan Kepribadian Muhammadiyah dan telaahan yang sungguh-sungguh terhadap pedoman ber-Muhammadiyah, maka dapatlah dipahami bahwa Islam yang digerakkan oleh persyarikatan adalah Islam yang sadzajah, yang lugu, apa adanya. Istilah lain untuk corak Islam seperti ini adalah Islam yang fithrati, natural, thabi’i atau alami. Corak seperti inilah Islam-nya para Nabi hingga Nabi penutup, Muhammad Rasulullah Saw.

Corak berislam radikalis, teroris dan liberalis tentu berbeda secara diametral dengan corak Islam sadzajah sebagaimana dikembangkan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Wallahu a’lam.

Padangsidimpuan, 22 Februari 2015



1 komentar:

  1. TIDAK SEMUA ORANG YANG DAPAT MENERIMA PENDAPAT SESAORANG, WALAUPUN IA BERLANDASKAN FIRMAN DAN SABDA. AKIBATNYA IA SANGGUP MENYALAHI ORANG LAIN YANG TIDAK SEHARUSNYA IA LAKUKAN. SEANDAINYA IA BERSIKAP ADIL. KEBENCIAAN NYA BERDASARKAN KEBODOHAN..!!! WASSALATU WASSALAAM..!!!

    BalasHapus